Jumat, 29 April 2016

DEFINISI DAN FUNGSI SOSIO-KULTURAL BUDAYA POP: SEBUAH SINTESA


Budaya Pop dan Kapitalisme
Pada dasarnya, budaya pop merupakan produk dari revolusi industri. Revolusi industri membentuk “sesuatu” menjadi tren/popular yang didukung oleh teknologi media massa. Media massa mengenalkan, menyebarkan, dan menggandakan, serta membuat “sesuatu” itu menjadi popular di kalangan masyarakat. Baudrillard menggambarkan situasi ini dengan istilah implosion di mana media massa menyatukan manusia dan membiarkannya meledak dalam batas-batas kultural, geografis, ideologi, bangsa, kelas, bahkan agama. Hal ini mengakibatkan kaburnya identitas nasional yang utuh, sehingga masyarakat yang terseret dalam ledakan itu seolah menjadi serpihan-serpihan kecil yang tidak dapat membedakan batas di mana sekarang dia berada dan di mana seharusnya dia berada. Pikiran masyarakat seperti di-handle oleh media, sehingga apa yang dipikirkan masyarakat mengenai lingkungannya tidak sepenuhnya fakta. Media mengkonstruk pikiran masyarakat dengan berbagai informasi dari sudut pandangnya dan sesuai kepentingannya sendiri. Televisi dan film pasti memiliki dampak/konsekuensi terhadap audiens. Untuk orang yang tidak memiliki kesempatan traveling, “pengetahuan” tentang luar negeri seringkali diperoleh dari tayangan di layar kaca tersebut, dan mereka cenderung mengekspresikan dirinya dengan apa yang ditontonnya.

Selain media, konsumsi merupakan hal yang sangat populer dan meledak dalam masyarakat. Media memegang peranan sentral dalam mengenalkan dan mempopulerkan barang-barang komoditi. Ini merupakan bagian dari kapitalisme konsumsi. Dalam hal ini terjadi homogenitas (penyeragaman) dalam pengkonsumsian barang komoditi, sehingga sebagian orang (Adorno dan para pengikutnya) menganggap bahwa budaya pop mematikan kreativitas masyarakat karena di sana-sini tampak hal yang serupa. Misalnya McDonald yang merupakan produk dari Amerika. Untuk menikmati makanan cepat saji ini, orang tidak perlu jauh-jauh datang ke Amerika, karena McDonald dapat ditemui di banyak tempat di seluruh dunia. Menjamurnya McDonald ini menunjukkan bahwa budaya pop tidak hanya berkembang pada aspek tingkah laku dan teknologi, namun juga merambah ke aspek lainnya, termasuk kuliner. Budaya pop yang lahir dari rahim kapitalis bertolak dari sektor ekonomi, di mana kaum kapitalis ingin meraup untung sebesar mungkin dalam setiap industri yang dikembangkannya. 

Ekonomi adalah sektor sentral dan vital dalam kehidupan manusia, sehingga apabila sektor ekonomi bergerak, maka semua sektor ikut bergerak ke arah pergerakan ekonomi itu. Hal ini seperti ketika lempeng bumi bergerak, maka daratan di atasnya juga ikut bergerak, salah satunya terbukti pada Pulau Sulawesi yang dahulunya tidak membentuk huruf “K”, karena pergerakan lempeng akhirnya menyatu dan membentuk huruf “K”. Begitu pula dengan ekonomi. Ekonomi menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat. Kembali pada homogenitas/penyeragaman yang dianggap sebagai “pembunuhan kreativitas”, jika dipikirkan lebih jauh dan mendalam, sebenarnya justru akan melahirkan kreativitas dalam masyarakat. Budaya pop dalam beberapa hal melahirkan homogenitas, namun budaya pop juga menciptakan heterogenitas, misalnya “budaya ngopi”. Kegandrungan masyarakat akan kopi pada akhirnya memicu orang-orang kreatif untuk mengkreasikan kopi dengan berbagai varian rasa, sehingga dapat dinikmati masyarakat. Budaya pop tidak mematikan kreativitas. Sebaliknya, budaya pop melahirkan kreasi, inovasi, dan modernisasi yang baru, yang dapat diarahkan untuk budaya kaum elite, umum/massa, maupun keduanya.

Budaya pop bertentangan dengan budaya kaum elite. Budaya pop menjadi budaya khalayak, umum, dan mungkin terlihat “kampungan dan norak”. Budaya pop merupakan budaya yang digemari mayoritas masyarakat dan sifatnya fleksibel. Berbeda dengan budaya kaum elite yang terkesan eksklusif dan hanya dikonsumsi oleh sedikit masyarakat. Budaya kaum elite bersifat kaku karena mengagungkan keeksklusifannya agar tidak terkesan “ecek-ecek”. Jika budaya pop dianggap “budaya kampung”, budaya kaum elite ini dianggap “budaya kota”. Contohnya dalam dunia musik. Musik dangdut yang saat ini di Indonesia sedang “naik daun”, untuk sebagian orang dianggap sebagai budaya pop yang “kampungan” dan bercita rasa rendah. Sedangkan musik jazz yang sedikit peminatnya dianggap sebagai budaya kaum elite nan eksklusif dengan cita rasa tinggi. Dengan kata lain, budaya pop adalah budaya rendahan (low culture) milik kaum pinggiran, sebaliknya budaya kaun elite adalah budaya tinggi (high culture) milik kaum borjuis.

Secara sederhana, budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan setinggi mungkin. Budaya massa adalah budaya populer yang diproduksi untuk pasar massal. Perkembangan budaya massa memberi artian bahwa segala budaya yang tidak menghasilkan uang akan semakin sempit ruangnya, seperti kesenian dan budaya rakyat. Budaya massa bersifat materialistik, yang akan mencekik budaya-budaya yang tidak menguntungkan secara materi dan tidak dapat diproduksi secara massal. Menurut MacDonald, sifat homogen budaya massa menjadi sebuah ancaman besar karena kapasitasnya dalam menurunkan atau merendahkan segala kebudayaan, dan menciptakannya kembali dengan pencitraannya sendiri. Kedudukan intelektual elite sebagai pengadil selera kultural dipandang menjadi ancaman bagi demokratisasi yang dimunculkan oleh budaya massa. Terkadang, budaya massa menolak untuk tetap berada di tempatnya dan melekat dengan massa, serta tidak mau mengakui hierarki selera kultural, walaupun datangnya dari kelas atas. Budaya massa cenderung mengancam kedudukan budaya tinggi dalam hierarki kultural dalam masyarakat.

Dominic Strinati mengemukakan bahwa ciri konsepsi budaya massa adalah merepresentasikan budaya yang turun nilainya, remeh, hanya di permukaan, artifisial dan baku, sebuah kebudayaan yang menyedot kekuatan budaya rakyat dan budaya tinggi, serta menantang penilaian intelektual selera kultural. Suatu posisi elite mengasumsikan bahwa budaya massa hanya bisa dipahami dari sudut yang menguntungkan yang diberikan oleh budaya tinggi dari prinsip-prinsip yang diturunkan dari estetika dan “selera” kaum elite kultural dan intelektual. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum dianggap mampu menilai berbagai budaya yang ada karena kesahihan dan otorisasinya yang tinggi.

Budaya massa yang lahir dari produksi dan konsumsi komoditi massal, membentuk kesimpulan bahwa Amerika adalah pusat budaya massa karena kaum kapitalis sangat erat kaitannya dengan proses produksi dalam industri. Apabila budaya massa yang identik dengan Amerika dianggap sebagai suatu ancaman, maka Amerikanisasi pun dianggap sebagai ancaman kultural. Produk-produk Amerika dapat ditemukan di berbagai tempat di seluruh belahan dunia ini, misalnya makanan cepat saji, pakaian, make up, aksesoris, film, hingga life style yang liberal. Di Indonesia saja, khususnya di daerah perkotaan, gaya hidup liberal Amerika sudah sangat kental hidup dan berbaur dengan budaya ketimuran. Seks bebas dianggap hal yang biasa dan wajar, terutama bagi kalangan generasi muda, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa gaya hidup kalangan tertentu di Jakarta mengadopsi gaya hidup orang-orang Amerika. Namun ketika membaca buku “Jakarta Undercover”, orang akan tahu betapa mengerikannya kehidupan seks para eksekutif muda (eksmud), pejabat, bahkan sejumlah selebritis tanah air. Buku “Jakarta Undercover” merupakan kisah nyata yang didasarkan pada pengalaman pribadi penulis yang juga merupakan seorang wartawan. Buku itu berisi kumpulan cerita tentang kehidupan seks di Jakarta. Salah satunya adalah “pesta bugil” di mana para tamu undangan berada dalam satu ruangan tanpa sehelai benang pun, baik pria maupun wanita. Di sana mereka berpesta pora, di mana alkohol dan seks menjadi jamuan utama. Para pria diperbolehkan untuk meniduri wanita manapun yang diinginkannya di kamar yang sudah disediakan, karena para wanita di sana adalah wanita-wanita panggilan dari berbagai penjuru dunia. Sungguh suatu hal yang sangat bertentangan dengan budaya Timur.

Ironisnya, Amerikanisasi justru dianggap hal yang biasa bagi kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan terkadang, mereka tidak sadar bahwa budaya nasional sedikit demi sedikit tergeser oleh Amerikanisasi. Lihat saja, banyak orang memilih untuk melihat film Hollywood dibandingkan dengan film dalam negeri. Secara tidak sadar, masyarakat – khususnya daerah perkotaan – mengkonsumsi komoditi Amerika dalam kehidupan sehari-harinya. Kapasitas pemakaian internet, televisi, handphone, dan sarana komunikasi lainnya yang dilakukan secara simultan telah mendarah daging dan menjadi budaya yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat. Melihat hal sedemikan itu, apakah kita masih bisa berkata bahwa bangsa Indonesia benar-benar merdeka? Mungkin kita memang telah bebas dari penjajahan secara fisik, namun kita tampaknya semakin terjajah dalam ideologi, kultural, bahkan intelektual. Ada beberapa masalah internal dalam masyarakat pada umumnya, di mana kerangka kerja intelektual telah banyak dimodifikasi dalam era pembangunan bangsa dan modernisasi. Dalam beberapa kasus, banyak aspek material dan isu-isu konseptual mengenai modernisasi, pembangunan bangsa, ekonomi, agama, peperangan, atau korupsi yang semuanya itu terjadi akibat ulah manusia.

Immanuel Wallerstein mengingatkan kita akan kalimat 'jika tidak ada imbalan pribadi'. Wallerstein menegaskan bahwa meskipun logika kapitalisme menuntut abstemious puritanisme, psiko-logika kapitalisme untuk tampilan kekayaan dan konsumsi mencolok. Sebagian besar keuntungan berasal dari ledakan ekonomi yang masuk ke konsumerisme berlebihan daripada investasi produktif. Apa yang datang dengan mudah, hilang dengan mudah. “Keasyikan” baru muncul saat kapitalis Indonesia tidak lagi berpikir bagaimana menjadi kaya dan mempertahankan kekayaan, tetapi bagaimana untuk memaksimalkan kenikmatan dan memperluas cakupan dari apa yang bisa dibeli dengan uang. Di antara beberapa eksekutif muda juga melakukan konsumsi yang melampaui logika utilitas atau ekonomi. Pembentukan identitas kelas menengah baru dan pembentukan paralel dari hegemoni kapitalis di Indonesia kontemporer beroperasi di beberapa bidang. Pertama, melalui debat intelektual di mana ada advokasi yang cukup terbuka liberalisme, pro–pasar sentimen dan milik pribadi. Kedua, negara memberlakukan serangkaian langkah-langkah ekonomi untuk memperbaiki keluhan atas ketidakseimbangan ekonomi mengkhawatirkan dalam bantuan keuangan, pinjaman dan kemitraan perusahaan. Ketiga, dan yang lebih anehnya, adalah baru-baru ini populer dan telah menjadi tren yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana tokoh-tokoh bisnis terkemuka membaca puisi dan bernyanyi lagu-lagu populer yang khusus dipersiapkan untuk kinerja dalam pertemuan publik yang serius.

Konsumsi selalu membuat pernyataan sosial, kadang-kadang lebih dan terkadang kurang dari sekedar menunjukkan daya beli konsumen dan selera pribadi. Selain itu, pesan-pesan yang berasal dari praktik konsumsi mungkin belum dimaksudkan oleh konsumen individu. Pesan ini menjadi lebih penting dan kompleks di daerah perkotaan kontemporer, di mana konsumsi semakin berubah menjadi 'konsumerisme' (tindakan signifikan bergaya konsumsi), sebagai bagian dari gaya hidup. Batas yang memisahkan konsumsi dari konsumerisme sering kabur.

Sejak zaman kolonial, Barat telah menjadi model yang menarik untuk lifestyling dan keinginan konsumen di Asia Barat, dan terus menarik orang Asia pada taraf kemakmuran, sehingga konsumerisme dan Westernisasi sudah sering dianggap satu dan menjadi hal yang sama. Restoran cepat saji yang menjadi target ekspor budaya Amerika kini bisa berubah menjadi sesuatu yang menarik, seperti yang terjadi di Singapura. Salah satu iklan di Singapura dimulai dengan judul The Sounds of Singapore, dan dari pertama adegan seseorang melihat bahwa itu dirancang untuk membangkitkan sentimen nasionalistis, di mana anak sekolah yang berada di luar ruangan dengan bendera dikibarkan di bawah langit biru tropis. Mereka menyanyikan kesetiaan mereka kepada Singapura: "Ketika matahari bersinar atas tanah kami", dan itu menunjukkan bahwa Amerikanisasi dapat diubah menjadi nasionalisme.

Fungsi Sosio-Kultural Budaya Pop 
Budaya pop yang digandrungi masyarakat dan menjadi sebuah trend tidak melulu menimbulkan efek negatif semata. Tidak ada suatu hal pun di dunia ini yang tercipta tanpa memiliki fungsi, begitu pula dengan budaya pop. Budaya pop dengan “soft power”-nya mampu memberdayakan jagad kreativitas, kultural, dan intelektual. Seperti yang tertulis di atas bahwa homogenitas yang timbul akibat adanya budaya pop pada akhirnya akan menjadi surga bagi para kreator. Sebagian besar dari mereka mengilhami budaya pop untuk menjadi sebuah maha karya yang kreatif dan inovatif. Pemberdayaan budaya pop yang semula menjadi konsumsi massa, di tangan para kreator dapat disulap menjadi suguhan eksklusif bagi kalangan elite. 

Dalam industri tekstil, misalnya, batik yang merupakan corak khas Indonesia dan menjadi populer sejak Malaysia mengklaim bahwa batik adalah milik Malaysia, dipakai oleh berbagai kalangan di Indonesia, mulai dari level rendah, menengah, hingga level atas. Batik yang dahulunya mungkin terkesan eksklusif karena hanya segelintir orang yang mengenakannya, sekarang sudah menjadi trend bagi masyarakat Indonesia, bahkan telah meluncur ke negara-negara lain. Batik memang menjadi budaya massa saat ini, namun para pemikir yang kreatif mencari cara bagaimana “batik massa” berbeda dengan “batik eksklusif” untuk membedakan strata sosial. Danar Hadi dan Batik Keris merupakan contoh brand “batik eksklusif”, yang harganya tidak bisa dijangkau oleh lower class. Bahan, corak, dan desain yang khas dari kedua brand tersebut sengaja diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas. Sedangkan untuk kalangan bawah hanya mampu menjangkau pasar-pasar tradisional atau di pusat grosir agar mendapatkan harga yang sudah pasti jauh berbeda. Begitulah budaya pop bekerja, ia bagaikan suatu sistem holistik yang saling berkaitan namun tetap mengenal strata sosial. Orang berkata bahwa budaya pop berbeda dengan budaya eksklusif, namun mereka tidak menyadari satu hal, yaitu bahwa budaya eksklusif yang mereka agung-agungkan sesungguhnya populer di kalangan mereka sendiri. 

Bukan hanya bidang ekonomi, sosial, dan budaya semata, bahkan budaya pop membidik dunia pendidikan menjadi “intelektual populer”. Misalnya saja program beasiswa, tanpa disadari kaum intelektual telah menyeret dunia pendidikan dalam pusaran budaya pop. Lihat saja, pertumbuhan penawaran beasiswa yang semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik itu beasiswa dalam negeri maupun luar negeri. Banyak universitas bahkan perusahaan asing yang menawarkan beasiswa bagi kaum intelektual Indonesia. Program ini baik disadari ataupun tidak akan membawa budaya asing masuk ke dalam budaya lokal. Para intelektual yang belajar di luar negeri, apabila kembali ke dalam negeri akan membawa pengaruh budaya asing. Misalkan mereka belajar di Jepang, ketika kembali ke Indonesia, maka pemikiran dan budaya Jepang tersebut akan dibawa ke Indonesia. Dengan kata lain, program beasiswa yang diberdayakan pemerintah dalam negeri dan luar negeri dapat dijadikan alat propaganda yang sangat “soft” dan “unconscious” bagi para audiens/konsumennya.

0 komentar:

Posting Komentar