Jumat, 21 April 2017

PARIWISATA, GLOBALISASI, DAN PERUBAHAN BUDAYA

Pariwisata merupakan suatu hal yang kuat dan unik untuk perubahan masyarakat. Tulisan ini menggarisbawahi dampaknya terhadap ekonomi, sosial dan budaya kehidupan. Antropolog telah berusaha untuk melihat berbagai elemen masyarakat terintegrasi secara holistik, untuk menyoroti saling ketergantungan mereka. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa pariwisata adalah bisnis yang sangat kompleks, dan terdiri dari berbagai kelompok dengan kepentingan yang berbeda. Banyak konflik mengenai sumber daya yang disediakan oleh pariwisata. Dalam beberapa cara, pariwisata telah ditekankan dan menempatkan tekanan pada celah dalam lanskap sosial setempat. Kepentingan politik secara khusus terbagi atas rencana pembangunan yang diusulkan untuk pantai - dan protes besar-besaran, disertai dengan liputan media yang luas, yang dipimpin oleh walikota dan para pendukungnya. Pariwisata menjadi bagian yang sangat penting dari agenda politik.

Globalisasi, Perubahan, dan Agen
Pada intinya, globalisasi melibatkan pertukaran dan aliran ekonomi dan intelektual item dalam hal barang, pengetahuan, nilai-nilai dan gambar, serta orang-orang, pada skala global (lihat Featherstone, 1990a, b; Featherstone & Lash, 1995). Globalisasi sebagai sebuah konsep dan pengalaman tidak selalu harus dibatasi pada waktu tertentu atau tempat, tetapi harus dilihat sebagai: (a) menyiratkan upaya kelompok untuk homogenisasi lingkungan ‘global’ mereka, dan (b) pengembangan melalui komunikasi dan perdagangan dari jaringan yang luas. Kedua pengertian tersebut didasarkan pada pandangan dunia budaya berpartisipasi aktor. Pariwisata dianggap sebagai bagian dari proses globalisasi. Para wisatawan telah digambarkan sebagai 'orang dengan waktu luang yang mengunjungi tempat yang jauh dari rumah dengan tujuan untuk mengalami perubahan' (Smith, 1989c: 2). Dianggap bahwa wisatawan memiliki waktu luang, diskresioner pendapatan dan sanksi lokal yang positif, semua fitur yang mencirikan gaya hidup yang ideal dalam masyarakat industri kebarat-baratan. Dunia global dari komunikasi, iklan dan travel memungkinkan pelanggan untuk berpartisipasi sebagai wisatawan. Gambar, mimpi dan harapan yang 'dijual' untuk konsumsi masa depan sebagai media menarik klien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh wisatawan terhadap masyarakat lokal dengan menggunakan konsep-konsep tertentu termasuk 'peran'. Peran ini bukan seperti yang dibayangkan oleh kaum fungsionalis (lihat Linton, 1936) yang mengasosiasikan mereka dengan status sosial dan penerimaan aktor pasif (kualitas statis), melainkan peran yang beragam dan berubah, dengan aktor pembuat perubahan yang disengaja untuk mereka dan tindakan sosial yang mempengaruhi dan mengembangkan mereka. Bersama dengan peran, konsep 'agen' digunakan: tindakan aktif dan kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu. Orang-orang dianggap sebagai aktor dalam peran sosial atau sebagai pribadi yang membuat keputusan mereka sendiri. Hal ini memungkinkan untuk penjelasan orang sebagai membuat kesan mereka sendiri pada lingkungan umum, sadar diri dalam bertindak. Perbedaan antara cara spekulan bisnis, wisatawan, dan nelayan dalam melihat pantai memberi kita petunjuk mengenai pentingnya pengalaman, budaya, latar belakang, dan aktivitas saat ini dalam kaitannya berinteraksi dengan lingkungan mereka.

Identitas, Keaslian, dan Pandangan
Pada akhirnya, identitas dalam hal informasi publik secara sosial dibangun dan industri pariwisata merupakan bagian dari pembentukan dan pemasaran identitas, sama halnya dengan kepentingan politik dan hubungan sejarah dalam pengakuan identitas untuk tempat dan kelompok. Konsentrasi pada identitas sebagai alat penelitian membantu kita untuk memahami perilaku dan reaksi orang-orang dan kelompok. Graburn (1989) berpendapat bahwa liburan dalam masyarakat sekuler setara dengan festival keagamaan tradisional: profan atau, dalam kasus liburan, pengalaman non-biasa menggantikan pengalaman suci. Touring kontemporer juga telah disamakan dengan 'pencarian semangat profan’, di mana spesifikasi nilai-nilai budaya menentukan tujuan perjalanan. Gagasan ini memungkinkan Graburn untuk menempatkan pariwisata dalam konteks kegiatan ritual manusia sejarah, dengan slotting menjadi lebih antropologis diterima dalam manifestasi budaya universal. Aspek-aspek ini tergantung pada wisatawan dengan motivasi yang pasti sangat bervariasi dan memiliki sejumlah alasan yang berbeda berlibur. Salah satu aspek dari ini adalah bahwa liburan mungkin pencarian kebenaran pribadi, kesempatan untuk menjauh dari pekerjaan dan tekanan sosial untuk menemukan kembali atau memulihkan ruang pribadi seseorang dan ketenangan pikiran. Wisatawan sering menyelesaikan masalah pribadi, menemukan jawaban untuk kesulitan dalam kehidupan mereka dan membuat keputusan sulit selama periode liburan. Pertimbangan dari berbagai pendangan membawa kita ke salah satu isu utama, yakni: dampak pariwisata bagi wisatawan untuk bercampur dengan masyarakat setempat, berkomunikasi dengan mereka, bertemu dengan sederajat tingkat mereka (bukan pelanggan untuk hamba), mengeluarkan uang untuk layanan yang disediakan oleh masyarakat lokal (yang tidak dimiliki oleh bisnis besar) dan masuk ke dalam hubungan emosional dengan mereka. Hal ini bertentangan langsung dengan pandangan Smith (1989c: 14) dan Graburn (1989: 35) yang menyatakan bahwa atribut piagam massa wisatawan memiliki dampak terbesar karena jumlah dan kekuatan ekonomi mereka lebih besar dan kecenderungan untuk mengharapkan fasilitas Barat-nya. Tentu saja, ini adalah generalisasi dan akan selalu ada contoh yang bertentangan dengan mereka, tetapi penelitian ini menunjuk ke sebuah kelalaian yang serius atas nama banyak penulis pada pengembangan dan dampak pariwisata yang tidak mempertimbangkan konsekuensi dari komunikasi antara mengunjungi orang dan penduduk setempat. Juga, beberapa tidak menghargai dampak ekonomi yang berbeda dari berbagai jenis pariwisata pada penduduk pribumi yang menyediakan layanan bagi mereka.

Pulau dan Pariwisata
Pariwisata sering membentuk elemen proporsional lebih besar atau lebih signifikan dari perekonomian pulau. Hal ini juga mungkin memiliki dampak yang lebih luas di sebuah masyarakat pulau karena ukuran masyarakatnya yang kecil dan, karenanya, lebih tinggi tingkat interaksi sosial budaya. Pariwisata biasanya didasarkan pada wisata alam pulau (sering menjadi terpencil, pemandangan yang menarik dan satwa liar) serta pada warisan budaya yang berbeda. Kepulauan sering menghadapi cacat struktural karena mereka terisolasi, serta ukuran daerah dan populasinya yang kecil. Mereka memiliki basis sumber daya yang terbatas, pasar domestik kecil, skala ekonomi rendah, miskin aksesibilitas, infrastruktur terbatas dan mekanisme kelembagaan, serta tingginya ketergantungan pada kekuatan eksternal (Ioannides et al., 2001). Ketidakuntungan tersebut telah dilihat sebagai alasan untuk memberikan kompensasi khusus penduduk (diskon wisata, impor, dan sebagainya). Permasalahan yang dihadapi oleh pulau-pulau umumnya terkait dengan sumber daya terbatas yang menimpa pada keberlanjutan ekonomi pariwisata.

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK HERBERT BLUMER

Herbert Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksi simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Menurut Craib (dalam Sarmini, 2002: 50), asumsi teori interaksi simbolik Blumer adalah sebagai berikut.
  1. Manusia bertindak terhadap sesuatu dasar asumsi internilai simbolik yang dimiliki sesuatu itu (kata, benda, atau isyarat) dan bermakna bagi mereka.
  2. Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia.
  3. Makna-makna yang muncul dari simbol-simbol yang dimodifikasi dan ditangani melalui proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan benda-benda dan tanda-tanda yang dipergunakan.
Sesuatu ini tidak mempunyai makna yang intrinsik karena makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis. Bagi Blumer, “sesuatu” itu bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Menurut Blumer, sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental, seperti: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Pemberian makna tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut.

Tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar”, tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam”, tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut sebagai self-indication. Proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sesuai dengan pemaknaan atas tindakan itu. 

Blumer mengatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons (Kamanto, 2000: 185). Makna dari simbol-simbol merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat. Individu dan masyarakat merupakan aktor dalam interaksi simbolik yang tidak dapat dipisahkan. Tindakan individu tidak ditentukan oleh individu itu sendiri, juga tidak ditentukan oleh masyarakat, namun oleh pengaruh keduanya. Dengan kata lain, tindakan seseorang adalah hasil dari “internal dan eksternal stimulasi” (Sarmini, 2002: 53).

Referensi
Kamanto, Sunarto. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sarmini. 2002. Teori-Teori Antropologi. Surabaya: Unesa University Press.

Rabu, 05 April 2017

ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL MASYARAKAT JAWA


Arsitektur tradisional Jawa terbagi menjadi lima tipe, yaitu: Tajug, Joglo, Limasan, Kampung, dan Panggang-pe (Prijotomo (1995: 5). Untuk tipe tajug sebenarnya tidak digunakan sebagai rumah tempat tinggal, namun digunakan sebagai rumah ibadah. Kelima tipe tersebut memiliki bentuk yang berbeda, yang dilihat dari bentuk atapnya. Prijotomo (1995) menyebutkan bahwa keempat tipe rumah tradisional Jawa, yakni: panggang-pe, joglo, limasan, dan kampung merupakan pengembangan dari tipe dasar, yaitu tipe tajug, yang kemudian digunakan untuk hal yang sakral seperti rumah orang mati dan masjid. Dari satu “bentuk dasar” inilah kemudian muncul tipe rumah lainnya. 

Perkembangan varian bentuk rumah Jawa antara lain karena faktor kemampuan ekonomi dan status sosial pemiliknya. Bentuk limasan banyak ditemukan pada rumah yang pemiliknya bisa dikatakan ekonominya cukup, sedangkan rumah bentuk kampung pada umumnya dimiliki orang-orang yang ekonominya pas-pasan (Subiyantoro, 2009: 227-228). Di sini saya secara khusus akan membahas rumah tradisional Jawa tipe joglo karena bangunan ini merupakan induk (“babon”) dari seluruh tipe bangunan Jawa yang ada (Prijotomo, 1995). Nama sesungguhnya dari joglo adalah “Jug-loro (juloro)” yang berasal dari “Tajug-loro” (dua Tajug). Dengan demikian kata Joglo berasal dari pengurangan suku kata“Jug-loro”, nama yang diberikan karena tipe joglo ini mengambil dasar ukurannya dari dua buah tajug yang dirapatkan, lalu dihilangkan “mustaka”-nya diganti dengan kayu memanjang kearah horizontal (“molo”) (Prijotomo, 1995). Perkembangan joglo bermula pada bentuk bangunan panggang-pe, yaitu bentuk bangunan yang hanya terdiri dari satu sisi atap saja yang biasanya miring. Pada tingkatan berikutnya berkembang menjadi bentuk kampung yang terdiri daru dua sisi atap rumah, di mana bagian puncak merupakan pertemuan kedua ujung atap. Kemudian berkembang menjadi bentuk limasan, jumlah atap sudah empat, ada sisi depan belakang dan sisi kiri dan kanan secara berpasangan. Sedangkan joglo merupakan bentuk rumah yang biasa dimiliki kaum ningrat atau bangsawan, yang terdiri dari empat sisi lengkap dengan mala yang ada di antara ujung empat sisi atap (Subiyantoro, 2009: 83).

Perkembangan sejarah joglo tidak terlepas dengan bangunan purba yang disebut "punden berundak", sebuah bangunan suci di mana struktur dan bentuk bersusun memusat semakin ke atas semakin kecil (Sunarningsih, 1999: 32). Bangunan lain yang turut mempengaruhi susunan dan bentuk rumah joglo adalah candi, yang tersusun menjadi tiga bagian, yaitu: bagian atas dinamakan arupadhatu sebagai alam Dewa, bagian tengah dinamakan rupadhatu sebagai dunia manusia, dan bagian bawah dinamakan kamadhatu (Subiyantoro, 2009: 78). Bentuk bangunan candi Hindu bagian atas yang semakin mengecil menyerupai gunungan jika dicermati sama dengan bentuk atap rumah joglo. Subiyantoro (2009: 79) menduga bahwa rumah joglo adalah bentuk transformasi dari candi. Menurut Subiyantoro (2009), bentuk rumah joglo yang banyak menggunakan kayu jati adalah bentuk perkembangan dari rumah sebelumnya yang dibuat dari batu sebagaimana pula untuk membuat candi. 

Bangunan rumah tradisional dapat dilihat dari dua skala, yaitu skala horizontal dan skala vertikal (Djono dkk, 2012). Skala horizontal membicarakan tentang pembagian ruangan, sedangkan skala vertikal membicarakan pembagian bangunan yang terdiri atas: bagian dasar atau kaki (lantai), bagian tengah atau tubuh (tiang, dinding), dan bagian atas atau kepala (atap). Skala horizontal merupakan simbol dari dunia manusia, sedangkan skala vertikal merupakan simbol dari dunia ke-Tuhanan. Dengan kata lain, rumah tradisional Jawa merupakan simbolisasi dari hubungan antara yang nyata dan yang gaib, antara yang bawah dan yang atas, antara bumi dan langit. Rumah merupakan pertemuan antara ke-Tuhanan (transenden) dengan kehidupan duniawi (imanen). Masyarakat Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan sebutan omah yang merupakan bentukan dari dua kata, yaitu: om, yang diartikan sebagai angkasa dan bersifat kebapakan; dan mah yang bersifat keibuan (Mangunwijaya, 1992). Rumah dan bangunan yang dirancang oleh masyarakat Jawa dimaknai sebagai simbolisasi dari jagad manusia yang terdiri dari Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana, 2011).

Mengutip tulisan Djono dkk (2012) bahwa dalam skala vertikal, joglo terdiri dari tujuh tataran dari bawah ke atas berturut-turut, yaitu: pondasi, bebatur, saka guru, sunduk kili, tumpangsari, ander, dan mala. Sedangkan dalam skala horizontal, pembagian ruang joglo terdiri lima ruang, yaitu: pendhapa, pringgitan, dalem, gadri, dan pawon. Ruang dalem posisinya tepat di tengah, diapit bagian depan oleh ruang pendhapa-pringgitan, dan diapit bagian belakang oleh ruang gadri–pawon. Sementara bagian kiri dan bagian kanan ruang dalem terdiri ruang gandhok kiri dan gandhok kanan. Struktur ini merupakan transformasi dari struktur alam (kosmologi) berupa empat arah mata angin, yaitu: (U) utara, (S) selatan, (T) timur dan (B) barat, dan satu titik pusat di tengah, yang merupakan persinggungan keempat arah mata angin tersebut. Dalam terminologi Jawa struktur ini disebut papat kiblat lima pancer.

Rumah tradisional Jawa bukan sekedar tempat untuk berteduh (fungsi praktis), melainkan juga dimaknai sebagai bentuk perwujudan dari cita-cita dan pandangan hidupnya atau fungsi simbolis (Santosa, 2000: 68). Rumah tradisi Jawa memiliki beberapa ruangan yang simetris dan terdapat hierarki ruang di dalamnya. Dari luar terdapat ruang publik yang bersifat umum, semakin ke dalam ruangan yang ada bersifat pribadi (private) (Djono, 2012: 274).