Minggu, 04 Desember 2016

PARIWISATA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI


Pariwisata menjadi fakta sosial penting di dunia. Para ahli antropologi lambat dalam meletakkan studi pariwisata dalam agenda antropologi. Bagi antropolog, pariwisata dapat dilihat sebagai bagian dari perubahan sosial-budaya. Studi pariwisata dalam antropologi sendiri dimulai ketika para peneliti yang peka terhadap perubahan menemukan bahwa pariwisata berimplikasi pada pembangunan dalam masyarakat yang ingin mereka pelajari. Harrell-Bond, seorang ahli antropologi, mengkritisi pembangunan pariwisata dengan memberi gambaran dari orang-orang Gambian. Menurut Harrell-Bond, kalkulasi keuntungan langsung dan tidak langsung dalam rencana para ahli adalah kepalsuan semata. Tidak ada perputaran alami antara sektor pariwisata dengan sektor pertanian. Pekerjaan pariwisata tidaklah banyak dan bahkan berada pada posisi terbawah. Harrel-Bond juga menitikberatkan pada persoalan sosial yang tidak dapat dielakkan, seperti permohonan, pencurian dan prostitusi, yang menurutnya akan terkait dengan pariwisata, dimana kemudian terdapat relasi antara kepentingan kapitalis dengan rencana pembangunan yang akan dipromosikan.  

Studi dalam pembangunan pariwisata menyumbangkan pemahaman umum dari subjek-subjek kepariwisataan, dimana terdapat kecondongan untuk menyerang dan mengkritisi tentang konsekuensi yang terjadi pada masyarakat lokal, sikap yang tepat untuk bidang politik dan moral dengan pemikiran yang lebih maju. Para ahli antropologi mengasumsikan bahwa elemen-elemen dalam sistem sosial-budaya saling berkaitan, sehingga apabila satu elemen berubah, maka cepat atau lambat akan mengubah elemen lainnya. Murdock (1949) mengusulkan sistem kekerabatan sebagai elemen kunci. Perkawinan antarkelompok akan memperbesar jaringan kekerabatan, sehingga akan terjadi mobilitas dan integrasi sosial. Perkawinan dengan kelompok kekerabatan lain akan mempertemukan dua kebudayaan yang berbeda, sehingga terjadilah percampuran kebudayaan yang melahirkan kebudayaan baru, yang disebut “akulturasi” apabila tetap mempertahankan unsur-unsur kebudayaan lama, dan disebut “asimilasi” apabila memiliki unsur-unsur yang baru tanpa mempertahankan unsur-unsur lama. Kebudayaan baru ini perlu melalui proses sosialisasi dan internalisasi agar diterima oleh masyarakatnya. Ketika proses tersebut berhasil dilalui, maka dengan lahirnya kondisi sosial-budaya yang baru, akan mempengaruhi perubahan pariwisata di lingkungan masyarakat itu.

Dann menyatakan bahwa berbagai pendekatan etnografi yang digunakan ahli-ahli antropologi, sejarah, dan ilmu pengetahuan sosial tidak memberi nilai tinggi dalam persoalan pariwisata. Hal ini menandakan bahwa terdapat kenaikan persoalan duniawi mengenai pariwisata sebagai penyebab perubahan masyarakat lokal, namun dari situ dapat kita lihat penyebaran metodologinya dan seberapa baik konsentrasi spesifikasi antropologi, seperti memberi pandangan terhadap “others” yang dipelajari, melihat relasi masing-masing elemen kultural, menemukan relevansi kontekstual tindakan yang diobservasi dan mencoba melakukan perbandingan. Bagaimanapun, diskusi pandangan teoritis dalam antropologi pariwisata tidak dapat dilakukan. Dann (1988) menyatakan bahwa dengan satu atau dua pengecualian, tidak ada teori yang tepat sebagai pertimbangan. Terlalu banyak deskripsi (kemungkinan dibarengi dengan pengadilan moral) dalam menggali subjek antropologi. Hal ini juga menjadi faktor kelambatan penerimaan studi pariwisata dalam disiplin ilmu. 

Dengan melihat fenomena perkembangan pariwisata saat ini, menurut saya perspektif Marxis sangat tepat digunakan sebagai pisau analisa. Marxis dengan analisa materialisnya mampu menjelaskan mengapa sektor pariwisata kini lebih diutamakan pengembangannya, bagaimana cara mempromosikannya, siapa-siapa saja pihak yang berkepentingan dalam pengembangannya, hingga berapa keuntungan yang dihasilkan dari pengembangan pariwisata tersebut. Dengan kata lain, perspektif Marxis tidak hanya menjelaskan sebatas berdasarkan materi, namun juga dapat membuka tabir penyebab pengembangan sektor kepariwisataan dimana di dalamnya terdapat pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk meraih keuntungan, baik itu dari pihak perencana maupun pihak pengelolanya. Pariwisata yang semakin maju dan dikenal publik akan menarik pengunjung yang semakin banyak, sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah dan memungkinkan untuk mengadakan pembangunan daerah. Meskipun demikian, perspektif Marxis ini hanya mampu menjelaskan dinamika pariwisata dilihat dari sudut pandang ekonomi dan tidak mampu menjelaskan bagaimana perubahan itu terjadi secara kultural. Perspektif Marxis menggunakan pandangan secara top-down, yakni dari para kapitalis, bukan secara bottom-up, sehingga kurang meng-cover kondisi sosial-budaya masyarakat di lingkungan pariwisata.

Jumat, 25 November 2016

TRADISI RASULAN DI GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA DALAM BINGKAI FUNGSIONALISME MALINOWSKI


Pendahuluan
Indonesia merupakan bangsa yang terkenal akan keberagaman etnis dan juga memiliki beragam budaya. Dari sekian banyak budaya yang ada, salah satu yang menarik untuk dibahas adalah mengenai upacara tradisional/upacara adat/ritual. Menurut Koentjaraningrat (Soedarsono, 1989), upacara ritus/adat/tradisional merupakan rangkaian tindakan manusia yang diatur oleh adat yang berlaku dalam masyarakat yang berkaitan dengan kepercayaan. Hal ini terjadi karena adanya dorongan perasaan manusia untuk melakukan tindakan dalam mencari hubungannya dengan dunia gaib. Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian dari para ahli antropologi, yaitu: tempat upacara keagamaan dilakukan, saat-saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat upacara, dan orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara (Koentjaraningrat, 1990).

Dalam kehidupan masyarakat Jawa, ritual berkaitan dengan mitos. Mitos dimengerti sebagai suatu cerita yang beredar di kalangan masyarakat tertentu, yang mengesampingkan metode ilmiah namun diyakini kebenarannya. Dalam konteks religius, mitos dan ritus merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar ungkapan mengenai sesuatu yang lain. Keduanya merupakan kekuatan dinamis yang melahirkan kenyataan suci dan membuat manusia religius menghayati kenyataan tersebut dalam dirinya. Suatu mitos religius lebih merupakan orientasi dan spiritual yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Manusia religius menyadari bahwa alam semesta ini, maupun tata tertib manusia di dalamnya berasal dari tindakan Illahi dan para makhluk gaib.
 
Upacara-upacara tradisional/ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa mengandung unsur-unsur religi dan masih berlangsung sampai sekarang. Ritual tersebut tidak terpisahkan dari filosofi/pandangan hidup orang Jawa yang selalu menghubungkan antara sesuatu yang bersifat transenden dan sesuatu yang bersifat imanen, yang ditujukan untuk menyeimbangkan komposisi hidup atau yang mereka sebut sebagai manunggaling kawula Gusti. Biasanya yang masih sering dilakukan oleh orang Jawa adalah ritual bersih desa dengan menggelar wayang kulit dan ruwatan (Soedarsono, 1989). Di daerah Gunungkidul, Yogyakarta terdapat sebuah ritual yang disebut sebagai Rasulan. Kata rasulan sendiri tidak selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang erat hubungannya dengan peringatan terhadap suatu momen hidup Nabi Muhammad SAW, seperti Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj. Namun, Rasulan bagi masyarakat Gunungkidul merupakan suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh para petani setelah masa panen tiba. Rasulan di tempat lain dikenal dengan nama bersih dusun/desa atau merti dusun/desa. Rasulan merupakan wujud rasa syukur petani kepada Sang Pencipta atas limpahan hasil panen selama setahun.

Mengapa pembahasan mengenai tradisi Rasulan ini penting? Hal ini dikarenakan makna tradisi Rasulan sebagai ritus dalam kepercayaan masyarakat semakin meluntur, terlebih bagi para generasi muda. Meskipun masih dilaksanakan, namun tidak jarang dari mereka yang tidak memahami makna di balik pelaksanaan ritus tersebut. Tidak heran jika dewasa ini ritus hanya menjadi sebuah formalitas dan tidak dimaknai secara simbolik, bahkan nilai-nilai budaya maupun nilai-nilai karakter di dalamnya pun tidak lagi dipahami secara utuh. Di samping itu, seiring dengan perkembangan zaman dan semakin modernnya zaman, orang sudah tidak percaya pada hal-hal yang sifatnya gaib. Hal-hal yang di luar nalar dan logika lambat-laun tersingkirkan, sehingga ritus hanya dipandang sebagai sebuah tradisi, warisan, atau kebiasaan tanpa makna.
Tulisan ini melihat sisi yang berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu. Tulisan ini memandang tradisi Rasulan di Gunungkidul, Yogyakarta sebagai sebuah sistem yang saling berkaitan, serta melihat bagaimana tradisi Rasulan dapat bertahan di tengah derasnya arus modernitas dengan melihat relasi peran dan kedudukannya di dalam sistem sosial. Tidak seperti penelitian-penelitian terdahulu yang tidak mendialogkan data dengan teori, tulisan ini melihat tradisi Rasulan menggunakan bingkai teori fungsionalisme Malinowski.  

Pendekatan Teoritik 
Tulisan ini mengadopsi teori fungsionalisme Malinowski. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap. Dalam hal ini, Malinowski membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Sarmini, 2011: 30-31), yaitu:
  1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
  2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial  atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata untuk mencapai maksudnya.
  3. Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Malinowski sebagai penganut teori fungsional selalu mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan untuk keperluan masyarakat. Menurut Malinowski, segala aktivitas dari unsur kebudayaan tersebut bermaksud untuk memenuhi kebutuhan manusia serta untuk memuaskan segala kebutuhan manusia. Fungsi dari satu unsur budaya adalah untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa nyaman (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan itu sendiri.
 
Metodologi 
Dengan meminjam istilah Malinowski, tulisan ini merupakan suatu bentuk thick description, yang menggambarkan fenomena sosial-budaya dengan menghubungkan relasi-relasinya dalam bingkai teori. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi literatur. Jangka waktu tradisi Rasulan tidak menentu (tidak terjadwal), sehingga tidak memungkinkan saya menggunakan metode observasi partisipan. Tulisan ini berfokus pada fungsi tradisi Rasulan di Gunungkidul, Yogyakarta. Dengan menggunakan teori Malinowski, diharapkan dapat ditemukan apa fungsi tradisi Rasulan bagi individu-individu dalam masyarakat, khususnya masyarakat Gunungkidul, Yogyakarta.
 
Prosesi Tradisi Rasulan 
Rasulan adalah suatu tradisi atau ritual tahunan yang sudah lama diselenggarakan oleh masyarakat Gunungkidul. Kata rasulan sendiri bukanlah suatu kegiatan yang berhubungan dengan peringatan terhadap suatu momen hidup Nabi Muhammad SAW, seperti Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj. Tradisi ini disebut dengan Rasulan karena dalam tradisi ini, salah satu tokoh yang paling dihormati adalah Nabi Muhammad yang telah menjadi panutan manusia, khususnya bagi umat muslim.

Tradisi Rasulan bagi masyarakat Gunungkidul merupakan suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh para petani sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rejeki hasil panen yang melimpah, serta sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri atau Dewi Padi dan dhanyang (roh-roh halus) penunggu tempat-tempat keramat. Tradisi Rasulan biasanya dilaksanakan di setiap pedesaan ataupun di padukuhan dan dengan waktu yang berbeda-beda, sesuai dengan pelaksanaan panen masing-masing desa. 

Belum ada catatan resmi mengenai sejak kapan Rasulan ini dilaksanakan (Samsuni, http://jogjatrip.com/id/601/Rasulan, diakses tanggal 30 Mei 2015). Namun yang pasti bahwa tradisi ini sudah berlangsung sejak lama dan merupakan warisan dari nenek moyang masyarakat Gunungkidul, yang dilaksanakan oleh masyarakat Gunungkidul dari ujung barat, yakni Kecamatan Panggang dan sampai yang paling timur, yakni Kecamatan Girisobo, serta daerah sekitarnya. Di tempat lain, biasanya tradisi Rasulan dinamakan bersih dusun. Disebut bersih dusun karena dalam ritus ini terdapat hal-hal seperti: kerja bakti, gotong royong, merapikan tempat-tempat umum, tempat makam, selamatan, kendurian, dan di lanjutkan dengan mengirim doa kepada leluhur masyarakat tersebut, yang bertujuan meminta kemakmuran, kesehatan, terhindar dari bencana kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.     

Ada beberapa rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan tradisi Rasulan. Tradisi Rasulan diawali dengan gugur gunung (gotong royong/kerja bakti) membersihkan lingkungan, seperti: memperbaiki jalan, membuat atau mengecat pagar pekarangan, membersihkan makam, membersihkan sungai, dan membersihkan tempat persemayaman dhanyang. Karena itu, tradisi Rasulan ini biasa juga disebut dengan istilah merti deso atau bersih dusun. Tradisi rasulan juga dimeriahkan dengan berbagai macam kegiatan, seperti adanya perlombaan sepak bola antardusun, volley, dan ada juga berbagai macam pertunjukan dan tontonan, seperti reog, jathilan, kethoprak, dan sebagainya. Dalam tradisi Rasulan, seluruh masyarakat menyiapkan hidangan yang istimewa untuk saudara atau tetangga yang ingin bersilaturrahmi, dengan menu yang sangat komplit. Makanan yang tidak pernah tertinggal adalah peyek. Peyek merupakan makanan yang terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan kacang tanah dan digoreng dengan tipis-tipis. Penyajian hidangan ini dilakukan untuk bersyukur kepada Allah dan menyisihkan sebagian rejekinya kepada orang lain. Tradisi Rasulan dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat, baik itu orang kaya maupun orang miskin melakukan hal yang sama dalam upacara tradisional ini.
 
Tradisi Rasulan Dalam Bingkai Fungsionalisme Malinowski  
Tradisi Rasulan pada hakekatnya merupakan manifestasi pandangan hidup orang Jawa, yaitu simbolisasi akan ke-Tuhan-an, sebagai upaya menghubungkan dunia transenden dengan dunia imanen, menghubungkan sesuatu yang gaib dengan yang nyata, sehingga diharapkan manusia bisa menjadi manunggaling kawula Gusti. Tradisi Rasulan sebenarnya dapat dilihat sebagai upaya mendekatkan diri dengan Tuhan, agar manusia tidak lupa bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan, dan selalu membangun relasi dan komunikasi dengan penciptanya.

Tradisi Rasulan ini diikuti seluruh warga masyarakat tanpa terkecuali, baik perangkat desa maupun warga desa terlibat di dalamnya. Meskipun secara struktural sosial kedudukan mereka berbeda, namun dalam kaitannya dengan tradisi Rasulan kedudukan mereka sejajar. Dengan kata lain, kedudukan seluruh warga masyarakat dari segi kultural dipandang secara horizontal. 

Berbicara masalah fungsi, tradisi Rasulan memiliki beberapa fungsi. Di sini saya membagi fungsi tradisi Rasulan menjadi 4 (empat) fungsi utama, yaitu: fungsi budaya (ritus), fungsi sosial, fungsi hiburan, dan fungsi pendidikan. 

Fungsi budaya (ritus). Sebagai ritus, tradisi Rasulan merupakan suatu bentuk ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada seluruh warga, atas hasil panen yang melimpah, serta sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri atau Dewi Padi dan dhanyang (roh-roh halus) penunggu tempat-tempat keramat. Dengan melaksanakan tradisi ini, warga berharap hasil panen juga akan melimpah pada musim berikutnya, serta dijauhkan dari segala macam bencana.

Fungsi sosial. Tradisi Rasulan dimaknai sebagai hari raya ketiga selain Idul Fitri dan Idul Adha oleh masyarakat Gunungkidul. Ritus ini mirip dengan tradisi lebaran, di mana seseorang datang ke tempat kerabatnya untuk bersilaturrahmi dan menikmati hidangan spesial yang disediakan oleh tuan rumah. Penyajian makanan spesial untuk para tamu ketika hari “H” tradisi Rasulan ini menjadi salah satu wadah bagi masyarakat Gunungkidul untuk memupuk semangat kekeluargaan dan mempererat tali persaudaraan antarwarga. Sebagian warga memaknai tradisi yang mengandung unsur agama Hindu ini sebagai pengingat untuk bersih diri atau bersih jiwa guna menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Semangat kebersamaan dan gotong royong juga terlihat dalam tradisi Rasulan. Hal ini mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan orang lain. Rasulan yang merupakan hajat bersama tentu segala kebutuhannya juga ditanggung bersama. Masyarakat Gunungkidul bersedia mengamalkan senasib sepenanggungan, sehingga rasa kebersamaan ini mampu mengalahkan segalanya termasuk beban biaya dalam perayaan tradisi Rasulan. Hal inilah yang turut mendukung tradisi Rasulan dapat terus berjalan hingga sekarang. Tradisi Rasulan tidak semata-mata berbakti kepada Tuhan, melainkan juga merupakan bentuk dari kegiatan sosial yang dapat meningkatkan solidaritas antarwarga masyarakat.

Fungsi pendidikan. Tradisi Rasulan mengandung fungsi pendidikan yang berupa nilai-nilai budaya dan karakter. Nilai-nilai tersebut terdapat pada rangkaian prosesi tradisi Rasulan, misalnya: nilai kesatuan yang disimbolkan dengan adanya sesaji yang digunakan dalam tradisi Rasulan; nilai keluhuran yang terdapat dalam kegiatan gugur gunung/gotong royong; atau nilai tanggung jawab yang terdapat dalam setiap rangkaian prosesi tradisi Rasulan. Tradisi Rasulan berisi nilai, norma, dan etika yang dapat digunakan sebagai pedoman warga setempat dalam beraktivitas.

Fungsi hiburan. Tradisi Rasulan juga berfungsi sebagai sarana hiburan dengan adanya pertunjukan kesenian, seperti: jathilan, reog, kethoprak, dan sebagainya, serta perlombaan olahraga, seperti sepak bola, volley, dan sebagainya. Manusia membutuhkan hiburan untuk merasa santai dan nyaman. Dengan adanya hiburan, maka orang dapat melepaskan penat dan meregangkan otot-ototnya yang kaku akibat terlalu bekerja keras. Hiburan juga bermanfaat bagi kesehatan, sehingga setidaknya dengan adanya tradisi Rasulan ini, warga bisa sejenak bersenang-senang, mengurangi stress, dan me-refresh tubuhnya.

Melihat fungsi-fungsi yang terdapat dalam tradisi Rasulan di atas, dapat dikatakan bahwa institusi yang disebut Rasulan itu sebenarnya berbasis pada kebutuhan dasar individu (basic human need). Tradisi Rasulan memenuhi kebutuhan pokok warga, seperti: kebutuhan akan Tuhan (religi), makanan, kenyamanan, kesantaian, dan ilmu pengetahuan. Tradisi Rasulan merupakan perwujudan dari institusi, yang di dalamnya terdapat nilai, norma, dan etiket sosial, yang diperlukan untuk menata sistem kerja sama agar tidak menimbulkan konflik atau pertikaian. Aturan-aturan yang terdapat dalam tradisi Rasulan inilah yang kemudian dapat digunakan sebagai pedoman dalam berperilaku bagi masyarakat setempat.     

Melalui tradisi Rasulan ini, individu-individu bekerja sama dalam satu kelompok dan menghilangkan egonya. Oleh karenanya, tradisi Rasulan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengintegrasikan atau mengharmonisasikan masyarakat pemiliknya dengan menyatukan kebutuhan-kebutuhan dasar masing-masing individu dalam satu wadah, yaitu ritus/tradisi Rasulan. 

Simpulan
Jika ditilik dari sudut pandang fungsionalisme Malinowski, tradisi Rasulan memiliki beberapa fungsi. Selain fungsi budaya (ritus), sosial, hiburan, dan pendidikan, tradisi Rasulan ternyata juga memiliki fungsi wisata. Bagi masyarakat Gunungkidul, tradisi ini merupakan sarana untuk memupuk semangat kekeluargaan, serta menjadi salah satu wadah untuk melestarikan kesenian daerah Gunungkidul. Tradisi Rasulan mampu menjaga harmonisasi internal masyarakat, sehingga menjadi sarana/wadah yang efektif untuk mewujudkan adanya integrasi sosial. Sedangkan bagi masyarakat luar, terutama wisatawan asing, selain menyajikan tontonan yang menarik, ritus sekaligus even budaya ini menjadi salah satu sarana untuk mengetahui dan mengenal kesenian dan kebudayaan masyarakat Gunungkidul. Tradisi Rasulan seiring dengan perkembangannya menjadi atraksi wisata budaya yang menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Samsuni. “Rasulan”. (online), (http://jogjatrip.com/id/601/Rasulan, diakses tanggal 30 Mei 2015).

Sarmini. 2002. Teori-Teori Antropologi. Surabaya: Unesa University Press.

Soedarsono, R. M. 1989. Seni Pertunjukan Jawa Tradisional dan Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Senin, 31 Oktober 2016

KISAH CINTA JAKA KEMBANG KUNING DAN DEWI SEKARTAJI DALAM WAYANG BEBER PACITAN

Wayang Beber Pacitan terdiri atas enam gulung dan setiap gulung berisi empat adegan (jagong). Secara keseluruhan, cerita pakem Wayang Beber Pacitan itu menggambarkan perjalanan cinta Dewi Sekartaji dan Panji Asmara Bangun, yang dalam versi Wayang Beber Pacitan dirangkum dalam cerita Jaka Kembang Kuning.

Gulungan 1 Adegan Pertama
Prabu Brawijaya (raja dari Kerajaan Kediri) memanggil para pembantunya, termasuk Patih Prawira Arya Deksa Negara. Patih Arya Deksa yang saat itu sedang membahas keamanan negara dengan para bawahannya segera menghadap sang raja dengan tergesa-gesa. Raja mengatakan kepada Patih Arya Deksa bahwa tujuannya memanggil sang patih adalah untuk memberitahu bahwa putrinya, Dewi Sekartaji, telah melarikan diri dari istana. Dewi Sekartaji melarikan diri karena menolak untuk menikah dengan Raden Klana Sewandana dari Kerajaan Seberang. Rupa-rupanya, Dewi Sekartaji telah memiliki tambatan hati sendiri. Raja akan mengadakan sayembara bagi siapa saja yang dapat menemukan Dewi Sekartaji, tanpa memandang derajat atau pangkat, kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata, apabila dia perempuan akan dijadikannya saudara dari Dewi Sekartaji dan apabila laki-laki akan dijadikannya suami dari Dewi Sekartaji. Patih Arya Deksa kemudian mengumumkan sayembara tersebut kepada seluruh penduduk.

Gulungan 1 Adegan Kedua
Beberapa waktu kemudian, ada seorang pemuda yang menghadap raja untuk mengikuti sayembara tersebut. Raja heran melihat kesaktian pemuda itu, karena banteng yang ada di alun-alun tunduk seakan memberi hormat kepadanya. Raja bertanya-tanya: “Siapakah gerangan pemuda ini?”. Raja menanyakan hal itu kepada Patih Arya Deksa. Nama pemuda itu adalah Jaka Kembang Kuning, utusan dari Ki Demang Kuning. Raja memerintahkan untuk memanggil Jaka Kembang Kuning. Raja menanyakan kesanggupan Jaka Kembang Kuning untuk mencari Dewi Sekartaji. Jaka Kembang Kuning tidak diperbolehkan kembali ke Kerajaan Kediri sebelum menemukan Dewi Sekartaji. Jaka Kembang Kuning menyanggupi permintaan raja untuk mencari Dewi Sekartaji yang tidak lain adalah kekasihnya sendiri.
 
Gulungan 1 Adegan Ketiga
Jaka Kembang Kuning mohon diri untuk segera mencari keberadaan Dewi Sekartaji bersama dua orang abdinya, yaitu Ki Tawang Alun dan Ki Naladerma. Dalam perjalanan mencari Dewi Sekartaji, Jaka Kembang Kuning bertemu dengan tiga orang ksatria, yaitu: Ganggawercitra, Jaladara, dan Gendrayuda. Ketiga ksatria ini mengajukan keinginannya pada Jaka Kembang Kuning agar dirinya dijadikan sebagai abdi. Jaka Kembang Kuning mengetahui bahwa sebenarnya ketiga kesatria itu adalah pengikut Raden Klana Sewandana yang disuruh untuk memata-matai Jaka Kembang Kuning yang dapat mengancam keselamatan jiwanya. Jaka Kembang Kuning menolak keinginan ketiga ksatria itu dan menyarankan agar mengabdikan diri pada Raden Gandarepa salah satu putra Prabu Brawijaya di Kerajaan Kediri. Saran Jaka Kembang Kuning diterima dan masing-masing melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, Ki Tawang Alun menyarankan Jaka Kembang Kuning cara untuk mencari Dewi Sekartaji, yaitu dengan mengadakan pertunjukan Barong Terbang (semacam kesenian terbangan) di Pasar Katumenggungan. Pertunjukan Barong Terbang adalah pertunjukan yang sangat digemari Dewi Sekartaji. 

Dewi Sekartaji yang melarikan diri dari istana ternyata menuju ke kediaman Ki Tumenggung di Katumenggungan Paluamba. Pada saat itu, Nyi dan Ki Tumenggung sedang berdebat masalah mimpi Nyi Tumenggung yang kejatuhan wahyu kembar. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan Dewi Sekartaji. Nyi dan Ki Tumenggung takut jika nanti dituduh menyembunyikan Dewi Sekartaji. Akhirnya Dewi Sekartaji dimarahi Nyi dan Ki Tumenggung. “Kamu itu jangan keluar-keluar dari Keputren. Kalau dilamar Raden Klana itu kamu harusnya tidak menolak.”, kata Nyi Tumenggung. “Tidak, mbok. Saya tidak mau. Saya hanya mencintai Jaka Kembang Kuning. Kalau memang tidak mengijinkan saya di sini, saya akan pergi.”, kata Dewi Sekartaji. Akhirnya Dewi Sekartaji pergi.

Gulungan 1 Adegan Keempat
Saran Ki Tawang Alun untuk mengadakan pertunjukan Barong Terbang segera dilakukan oleh Jaka Kembang Kuning. Jaka Kembang Kuning menyamar sebagai pengamen dan mengadakan pertunjukan Barong Terbang di pasar. Dewi Sekartaji yang pada saat itu berada di pasar dan melihat pertunjukan Barong Terbang, akhirnya bertemu dengan Jaka Kembang Kuning. “Dewi Sekartaji, kamu di sini?”, tanya Jaka Kembang Kuning. “Kakang, kamu di sini?”. Dewi Sekartaji terkejut melihat Jaka Kembang Kuning menyamar sebagai pengamen. Jaka Kembang Kuning berpesan kepada Dewi Sekartaji untuk merahasiakan pertemuan antara Jaka Kembang Kuning dengan Dewi Sekartaji. Jaka Kembang Kuning kembali ke kediamannya, Kademangan Kuning. Sedangkan Dewi Sekartaji kembali ke Katumenggungan Paluamba.

Gulungan 2 Adegan Pertama
Setelah sampai di kediamannya, Jaka Kembang Kuning menghadap sang ayah, Ki Demang Kuning. “Bagaimana? Kamu disuruh apa di Kediri?”, tanya Ki Demang Kuning. “Saya disuruh mencari Dewi Sekartaji.”, jawab Jaka Kembang Kuning. “Sudah ketemu?”, tanya Ki Demang Kuning. “Sudah.”, jawab Jaka Kembang Kuning. Jaka Kembang Kuning menceritakan kepada sang ayah bagaimana dia bisa menemukan Dewi Sekartaji. Jaka Kembang Kuning kemudian mengutus Ki Tawang Alun untuk menghadap Prabu Brawijaya dan memberitahukan bahwa Jaka Kembang Kuning telah menemukan putrinya, Dewi Sekartaji. Sedangkan Ki Naladerma diutus untuk memberikan cincin tunangan kepada Dewi Sekartaji ke kediaman Ki Tumenggung Paluamba sebagai bukti bahwa Jaka Kembang Kuning sudah menemukan Dewi Sekartaji.

Gulungan 2 Adegan Kedua
Retno Mindoko beserta beberapa orang abdi sedang menenun kain di Keputren. Tiba-tiba datanglah rombongan perempuan utusan dari Raden Klana Sewandana untuk melamar Dewi Sekartaji. Rombongan itu dipimpin oleh Retno Tenggaron. Retno Tenggaron bersama para abdinya membawa seserahan dari Raden Klana Sewandana untuk melamar Dewi Sekartaji. Raetno Mindoko menolak lamaran tersebut karena Dewi Sekartaji menghilang dari Keputren.

Gulungan 2 Adegan Ketiga
Retno Tenggaron tidak terima karena lamaran Raden Klana Sewandana ditolak oleh Retno Mindoko. Akhirnya, terjadi pertempuran antara Retno Mindoko dan para abdinya melawan Retno Tenggaron dan para abdinya. Dalam pertempuran ini, Retno Tenggaron kalah dan akhirnya mundur ke Raden Klana Sewandana.

Gulungan 2 Adegan Keempat
Di teratebang (depan kerajaan), Raden Gandarepa dan Patih Sedahrama sedang berbincang-bincang. Lalu, datanglah Ki Tawang Alun. Raden Gandarepa mengantarkan Ki Tawang Alun ke hadapan Prabu Brawijaya. Ki Tawang Alun menceritakan apa yang terjadi kepada Raden Gandarepa dan Prabu Brawijaya. Ki Tawang Alun menjelaskan bahwa Jaka Kembang Kuning berhak memperistri Dewi Sekartaji. Tiba-tiba datanglah Raden Klana Sewandana yang mengatakan akan memboyong Dewi Sekartaji untuk menjadi istrinya, sehingga terjadilah adu mulut antara Ki Tawang Alun dan Raden Klana Sewandana.

Gulungan 3 Adegan Pertama
Ki Naladerma menghadap Jaka Kembang Kuning. “Bagaimana lamaranku?”, tanya Jaka Kembang Kuning. “Dewi Sekartaji menerimanya, Raden.” Ki Naladerma menjawab. Jaka Kembang Kuning riang gembira setelah mengetahui bahwa lamarannya diterima oleh Dewi Sekartaji.

Gulungan 3 Adegan Kedua
Pertemuan antara Raden Klana Sewandana dan Patih Kebo Lorodan, di markas tentara Raden Klana Sewandana. Raden Klana Sewandana dan Patih Kebo Lorodan membicarakan perihal tantangan untuk mengalahkan Ki Tawang Alun sebagai salah satu syarat untuk dapat memperistri Dewi Sekartaji. Tidak lama kemudian, datang Retno Tenggaron melaporkan bahwa dirinya telah dipermalukan oleh Retno Mindoko karena lamaran Raden Klana Sewandana ditolak. Raden Klana Sewandana marah dan akan menuntut balas atas perlakuan pada adiknya. Untuk memenuhi tantangan Prabu Brawijaya, Patih Kebo Lorodan diminta untuk maju ke medan perang melawan Ki Tawang Alun. Patih Kebo Lorodan menyanggupinya.

Gulungan 3 Adegan Ketiga
Di Kademangan Kuning, Jaka Kembang Kuning mohon diri pada Ki Demang Kuning untuk menyusul Ki Tawang Alun yang telah beberapa waktu belum kembali dari Kerajaan Kediri. Jaka Kembang Kuning memberitahukan kepada Ki Demang Kuning bahwa di Kerajaan Kediri sedang terjadi perang tanding untuk memperebutkan Dewi Sekartaji. Ki Demang Kuning mengijinkan permintaan Jaka Kembang Kuning. Jaka Kembang Kuning dan Ki Naladerma menyusul Ki Tawang Alun ke Kerajaan Kediri.

Gulungan 3 Adegan Keempat 
Di alun-alun Kerajaan Kediri, Patih Kebo Lorodan bertarung melawan Ki Tawang Alun dengan disaksikan oleh para punggawa dan prajurit Kerajaan Kediri, serta pengikut Raden Klana Sewandana. Pada pertarungan itu, Ki Tawang Alun kalah. Ki Tawang Alun terluka parah.

Gulungan 4 Adegan Pertama
Ki Naladerma membawa Ki Tawang Alun ke kediaman Ki Tumenggung dan Ki Tawang Alun disembuhkan oleh Dewi Sekartaji.

Gulungan 4 Adegan Kedua
Jaka Kembang Kuning yang melihat Ki Tawang Alun dikalahkan oleh Patih Kebo Lorodan akhirnya mengambil alih posisi Ki Tawang Alun. Patih Kebo Lorodan bertarung dengan Jaka Kembang Kuning. Pada pertarungan ini, Patih Kebo Lorodan mati. Raden Klana Sewandana mundur, mengatur kekuatan untuk menyerang Kerajaan Kediri.
   
Gulungan 4 Adegan Ketiga
Raden Gandarepa beserta abdinya datang ke Kademangan Kuning untuk bertemu dengan Jaka Kembang Kuning dan menyampaikan pesan dari Prabu Brawijaya, bahwa Prabu Brawijaya dan Raden Gandarepa memiliki rencana untuk mengalahkan Raden Klana Sewandana yang licik. Raden Gandarepa menceritakan rencananya kepada Jaka Kembang Kuning. Jaka Kembang Kuning menyetujui rencana tersebut.

Gulungan 4 Adegan Keempat
Raden Gandarepa menemui Ki Tawang Alun dan menyampaikan pesan Prabu Brawijaya, yaitu mengutus Ki Tawang Alun: “Hai, Tawang Alun. Kalau kamu sudah sembuh, akan kuberi pusaka dari kerajaan. Bunuh Raden Klana!” Ki Tawang Alun diminta untuk membunuh Raden Klana Sewandana dan yang membunuh Raden Klana Sewandana haruslah Ki Tawang Alun.

Gulungan 5 Adegan Pertama
Di kediamannya, Raden Klana Sewandana meminta adiknya, Retno Tenggaron, untuk merubahnya menjadi Raden Gandarepa palsu. Tidak ada yang tahu mana yang Raden Klana Sewandana dan mana yang Raden Gandarepa. Hanya Ki Tawang Alun lah yang tahu, sehingga yang harus membunuh Raden Klana Sewandana adalah Ki Tawang Alun.

Gulungan 5 Adegan Kedua
Raden Klana Sewandana berubah menjadi Raden Gandarepa palsu untuk melamar Dewi Sekartaji. Di Tamansari Kerajaan Kediri, Dewi Sekartaji yang baru saja kembali dari Katumenggungan Paluamba menerima kedatangan Raden Gandarepa (tiruan). Karena gerak geriknya yang mencurigakan, Dewi Sekartaji menolaknya. “Kamu bukan Raden Gandarepa. Kamu Raden Klana Sewandana.”, kata Dewi Sekartaji. Raden Gandarepa (asli) datang, “Kamu menyamar sebagai saya!”. Akhirnya terjadi peperangan. Raden Klana Sewandana segera lari ke alun-alun Kerajaan Kediri.

Gulungan 5 Adegan Ketiga 
Di alun-alun Kerajaan Kediri, Raden Klana Sewandana yang dikejar Raden Gandarepa menemui para pengikutnya. Sementara Jaka Kembang Kuning dan Ki Tawang Alun telah siap melakukan pertarungan melawan Raden Klana Sewandana dan pengikutnya. Akhirnya, terjadilah perang besar-besaran.

Gulungan 5 Adegan Keempat 
Raden Klana Sewandana akhirnya dibunuh oleh Ki Tawang Alun dengan menggunakan Keris Pasopati. Setelah Raden Klana Sewandana mati, kemenangan ada di tangan Jaka Kembang Kuning dan Ki Tawang Alun.

Gulungan 6 Adegan Pertama 
Jaka Kembang Kuning memboyong para tawanan putri, termasuk Retno Tenggaron, ke hadapan Prabu Brawijaya di Keraton Kerajaan Kediri. Prabu Brawijaya menerima para tawanan dan laporan tentang berbagai kejadian sejak hilangnya Dewi Sekartaji sampai terbunuhnya Raden Klana Sewandana.

Gulungan 6 Adegan Kedua 
Jaka Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji  meminta doa restu kepada Prabu Brawijaya, disaksikan oleh adiknya, Raden Gandarepa, Ki Naladerma dan Ki Tawang Alun.

Gulungan 6 Adegan Ketiga
Kemudian dilaksanakan pernikahan Jaka Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji, dan akan dirias oleh Mbok Dipa Kilisada.

Gulungan 6 Adegan Keempat
(Adegan ini tidak dibuka untuk pertunjukan karena dianggap tabu. Adegan keempat dalam gulungan 6 ini merupakan adegan persenggamaan antara Jaka Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji)

SEJARAH WAYANG BEBER PACITAN

Wayang Beber adalah wayang tertua di Indonesia. Wayang Beber di Indonesia terdapat di dua tempat, yaitu di Kabupaten Pacitan (yang disebut sebagai Wayang Beber Pacitan) dan di daerah Gunung Kidul Yogyakarta (yang disebut sebagai Wayang Beber Wonosari). Perbedaan antara kedua Wayang Beber ini terletak pada tingkat keasliannya. Wayang Beber Pacitan tidak mengalami perubahan, baik dari segi ritual, bentuk, lakon, maupun gendhing (iringan). Wayang Beber Pacitan terjaga keasliannya, tanpa diubah sedikit pun. Sedangkan pada Wayang Beber Wonosari tidak demikian. Menurut Rudhi Prasetyo (Dalang Wayang Beber Pacitan ke-14), Wayang Beber Wonosari telah mengalami perubahan, yakni dalam hal gendhing dan bahasanya.

Wayang Beber yang ada di Pacitan adalah asli dari Kerajaan Majapahit, yaitu berada di Dusun Karangtalun Desa Gedompol Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. Wayang Beber tersebut dibawa oleh Ki Naladerma sebagai imbalan dari sayembara yang diadakan oleh Prabu Brawijaya (Raja Majapahit) karena telah menyembuhkan putri raja yang sakit. Pada saat itu, raja Majapahit dikhawatirkan oleh putrinya yang menderita sakit parah dan tidak kunjung sembuh. Oleh sebab itu, sang raja mengadakan sayembara bagi siapa pun yang mampu menyembuhkan putrinya yang sakit. Ki Naladerma yang mendengar berita tersebut tergugah hatinya untuk mengikuti sayembara. Ki Naladerma ingin menjajal kesaktiannya untuk menyembuhkan putri raja karena Ki Naladerma kerap menyembuhkan penyakit orang-orang di desanya. Maka, berangkatlah Ki Naladerma dari Dusun Karangtalun Desa Gedompol itu ke Kerajaan Majapahit dengan berjalan kaki selama tujuh hari tujuh malam. Sesampainya di Kerajaan Majapahit, Ki Naladerma dihadang oleh para hulubalang dan diancam bahwa apabila Ki Naladerma gagal menyembuhkan sang putri, maka Ki Naladerma akan dipenggal kepalanya.

Pada akhirnya, Ki Naladerma diijinkan untuk memasuki Kerajaan Majapahit dan mengikuti sayembara tersebut. Sang raja dengan senang hati menerima Ki Naladerma untuk mencoba menyembuhkan putrinya yang sakit. Sebelum mencoba menyembuhkan sang putri, Ki Naladerma meminta ijin kepada raja untuk melakukan semedi. Setelah melakukan semedi selama satu malam, Ki Naladerma mengobati sang putri dengan mantranya. Pada keesokan harinya, sang putri sembuh dari sakitnya tanpa sedikit pun meninggalkan bekas luka. Sang raja heran sekaligus bahagia melihat kesembuhan putrinya, maka dipanggillah Ki Naladerma ke hadapannya. Raja menawarkan hadiah kepada Ki Naladerma, yaitu sebagai Tumenggung di Keraton. Namun, hadiah itu ditolak oleh Ki Naladerma karena merasa dirinya buta huruf dan buta ilmu pemerintahan. Raja lalu menawarkan pada Ki Naladerma untuk membawa uang sekuatnya, namun Ki Naladerma menolak dengan alasan uang akan membahayakan dirinya dalam perjalanan pulang karena khawatir akan adanya perampok.

Penolakan Ki Naladerma membuat sang raja menjadi bingung, hingga pada akhirnya raja menawarkan Wayang Beber kepada Ki Naladerma. Hadiah tersebut diterima Ki Naladerma dengan senang hati. Menurutnya, Wayang Beber merupakan hadiah yang tidak ternilai harganya karena dapat diwariskan kepada keturunannya. Raja mengajari cara memainkan Wayang Beber kepada Ki Naladerma. Setelah Ki Naladerma mampu menguasainya dengan baik, maka Ki Naladerma kembali ke Dusun Karangtalun dengan membawa hadiah dari raja.

Wayang Beber Pacitan diwariskan turun-temurun menurut garis keturunan secara vertikal. Dalang Wayang Beber Pacitan haruslah seorang laki-laki. Pemilik pertama Wayang Beber Pacitan adalah Ki Naladerma, kemudian diwariskan kepada anaknya yang bernama Nalangsa, yang kemudian mendapat julukan sebagai “Sanala”. Dari Nalangsa (Sanala), diwariskan kepada Citrawangsa, yang dijuluki sebagai “Nayangsa”. Dari Citrawangsa (Nayangsa), diwariskan kepada anak laki-lakinya yang bernama Gandayuta, yang kemudian mendapat julukan “Gandayuda”. Dari Gandayuta (Gandayuda), diturunkan kepada Singa Nangga, kemudian digantikan oleh Trunadangsa. Trunadangsa mewariskan Wayang Beber kepada anaknya yang bernama Gandalesana. Dari Gandalesana diturunkan kepada Palesana yang dijuluki “Setralesana”. Palesana (Setralesana) tidak memiliki anak laki-laki, sehingga Palesana (Setralesana) mewariskan Wayang Beber kepada cucu laki-lakinya (nunggak semi) yang bernama Dipalesana. Dipalesana kemudian dijuluki sebagai “Gandalesana II” karena cara mendalangnya mirip dengan kakek buyutnya. Dipalesana (Gandalesana II) mewariskan Wayang Beber kepada anaknya yang bernama Palesana. Kemudian pada tahun 1900, Wayang Beber diwariskan kepada  anak laki-laki dari Palesana yang bernama Pasetika dan dijuluki sebagai “Gunakarya”. Pada tahun 1940, kepemilikan  Wayang Beber diambil alih oleh Sarnen, yang kemudian mendapat julukan “Gunacarita”. 

Pada tahun 1980, Sumardi (anak laki-laki Sarnen/Gunacarita) menjadi dalang Wayang Beber yang ke-13 dan mendapat julukan “Gunautama”. Sumardi (Gunautama) tidak memiliki anak laki-laki, sehingga Sumardi (Gunautama) harus mewariskan Wayang Beber kepada cucu laki-lakinya agar terjadi nunggak semi. Kala itu, Handoko (cucu Sumardi) masih kecil, sehingga belum bisa menjadi dalang. Namun, mengingat usianya yang sudah renta dan khawatir akan kepunahan pertunjukan Wayang Beber sepeninggalnya, maka Sumardi (Gunautama) berpikir untuk meregenerasi dalang, yaitu melanggar adat turun-temurun dengan menunjuk orang lain sebagai dalang. Akhirnya, Sumardi (Gunautama) menunjuk Rudhi Prasetyo sebagai dalang. Rudhi Prasetyo sebenarnya tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga dalang pakem Wayang Beber Pacitan. Namun, sudah lama Rudhi dekat dengan Sumardi (Gunautama) dan Rudhi juga tertarik dengan warisan budaya yang hampir punah ini. 

Pada tahun 2009, Rudhi resmi menjadi Dalang Wayang Beber Pacitan. Wayang Beber Pacitan kemudian dibuat duplikatnya. Artefak Wayang Beber Pacitan tetap berada di Desa Gedompol Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan, tepatnya di rumah Mbah Mangun, keluarga Ki Mardi Gunautama. Artefak Wayang Beber Pacitan telah dikeramatkan, serta tidak boleh dibuka oleh sembarang orang. Sedangkan duplikat Wayang Beber Pacitan dipegang oleh Rudhi Prasetyo dan berada di Desa Nanggungan Kecamatan Pacitan Kabupaten Pacitan. Jadi, Wayang Beber Pacitan yang dipentaskan sekarang adalah Wayang Beber hasil dari duplikasi. 

Berikut adalah skema garis pedalangan Wayang Beber Pacitan.