Sabtu, 23 Juli 2016

THE TYPE OF JAVANESE KINSHIP

Because I am a Javanese, this time I'll give a (very) thin description about the Javanese kinship. But, please don't judge me as an ethnocentric. Don't!
The type of Javanese kinship is Hawaiian. Hawaiian type are also known as generation type based on differences in generation and gender. There is the older generation and the younger generation. In this type, an ego called all the women of the generation of his parents as "Mother" and all the men of the generation of his parents as "Father". In the younger generation, all the brothers and male cousins ​​are called "Brother", whereas all sisters and female cousins ​​are called "Sister". In Hawaiian type, all cousins ​​have the same terms with siblings.

In Java, there are certain terms to refer to someone in a group of relatives. The male parents known as "Bapak" or "Rama". The elder brother of the parents known as "Pakdhe" (Bapak Gedhe), while the younger brother of the parents known as "Paklik" (Bapak Cilik). The female parents known as the "Ibu / Simbok / Biyung". The older sister of the parents known as "Budhe" (Ibu Gedhe), while the younger sister of the parents known as "Bulik" (Ibu Cilik). The elder brother, known as "Mas / Kakang / Kang / Kang Mas". The elder sister, known as "Mbak Yu / Mbak / Yu". The younger brother known as "Adhi / Dhimas / Dik / Le". The younger sister, known as "Adhi / Dhi Ajeng / Ndhuk / Dhenok". The mention of cousins ​​in the Java community same with the mention siblings.

Jumat, 22 Juli 2016

REVIEW ARTIKEL HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA "FENOMENOLOGI AGAMA: PENDEKATAN FENOMENOLOGI UNTUK MEMAHAMI AGAMA"

Artikel ini dimuat dalam Jurnal Walisongo Vol. 20, No. 2, November 2012. Dalam tulisan ini, Ahimsa-Putra mencoba untuk menjelaskan secara singkat pendekatan fenomenologi yang berkembang dalam ilmu sosial budaya, karena adanya pengaruh dari filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl, dan bagaimana pendekatan tersebut dapat digunakan untuk memahami fenomena keagamaan. Penelitian fenomenologis ditujukan terutama untuk mendeskripsikan dengan sebaik-baiknya gejala sosial budaya menurut sudut pandang subjek yang diteliti. Asumsinya adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kesadaran, memiliki pengetahuan, atas apa yang dilakukannya, serta memiliki tujuan-tujuan berkenaan dengan perilaku atau tindakannya. Kesadaran inilah yang membuat gejala sosial budaya bermakna, tidak hanya bagi peneliti tetapi juga bagi pelakunya. Sependapat dengan Ahimsa-Putra bahwa consciousness akan menghasilkan makna pada individu. Bila individu mengalami kesadaran atas tindakannya, maka akan muncul suatu pemaknaan. Sebaliknya, makna tidak akan muncul apabila individu berada dalam kondisi unconsciousness. Sebagai contoh, dalam agama Islam terdapat kewajiban untuk menunaikan ibadah sholat. Sebagian orang terkadang tidak menyadari mengapa mereka melakukan itu, mengapa sholat diwajibkan untuk seluruh umat Islam. Ketidaksadaran mereka membuat ibadah sholat itu tidak memiliki makna, sehingga acapkali meninggalkan kewajiban tersebut. Sedangkan bagi orang-orang yang menyadari pentingnya sholat, mengapa mereka harus menjalankan sholat dan apa manfaatnya menjalankan sholat, akan membuat sholat itu memiliki makna yang baginya, sehingga mereka enggan untuk meninggalkannya. Jadi, kesadaran akan sesuatu akan melahirkan makna tertentu.

Sehubungan dengan gejala keagamaan, jika pendekatan fenomenologi digunakan untuk memahami gejala tersebut, perhatian utama peneliti akan diarahkan pada kesadaran, pada pengetahuan subjek yang diteliti mengenai perilaku dan tindakan keagamaan yang mereka lakukan. Kesadaran inilah yang kemudian akan dipaparkan dengan sebaik-baiknya, selengkap-lengkapnya, secocok mungkin dengan apa yang dimaksud oleh tineliti. Agar tujuan tersebut dapat dicapai maka peneliti perlu menempatkan dirinya sebagai seorang “murid” yang ingin mengetahui sebaik-baiknya pengetahuan yang dimiliki oleh para tineliti mengenai gejala keagamaan yang mereka terlibat di dalamnya. 

Dalam posisi semacam itu, tidak pada tempatnya kalau peneliti kemudian berusaha menentukan “kebenaran” ataupun “kekeliruan” dari kesadaran atau pengetahuan yang dimiliki para tineliti mengenai gejala keagamaan tersebut. Dengan kata lain, “relativisme agama” merupakan sebuah prinsip penelitian yang perlu diikuti dalam penelitian atas gejala keagamaan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Dalam hal ini, saya sependapat dengan Ahimsa-Putra karena agama merupakan suatu fenomena/gejala sosial-budaya di mana semua gejala sosial-budaya yang ada di dunia ini adalah benar adanya. Tidak ada satu gejala sosial-budaya pun yang keliru karena apa yang terjadi di lapangan adalah sebuah fakta, meskipun kesadaran dan pemaknaan antara individu satu dengan individu yang lain berbeda. Ilmu sosial-budaya bukanlah ilmu pasti seperti halnya ilmu alam. Dengan kata lain, peneliti sosial-budaya tidak akan pernah menemukan “kebenaran absolut” dari gejala/fenomena sosial-budaya yang ada di dunia, termasuk agama.

Dalam budaya Indonesia, istilah ‘agama’ sebenarnya memiliki makna yang berbeda dengan makna religion pada umumnya. Selain itu, agama juga berbeda dengan sistem kepercayaan. Dilihat dari sudut pandang tertentu makna agama lebih luas daripada sistem kepercayaan, namun dilihat dari sudut pandang yang lain sistem kepercayaan lebih luas maknanya daripada agama. Di sini, Ahimsa-Putra menganggap bahwa agama lebih luas cakupannya daripada sistem kepercayaan. Sependapat dengan Ahimsa-Putra, menurut saya agama didasarkan pada kesadaran kolektif yang telah menjadi kesepakatan dan kepercayaan bersama, sehingga memiliki makna yang bersifat kolektif pula. Sedangkan kepercayaan masih berupa kesadaran individu yang sudah pasti makna antara individu satu dengan yang lain berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa agama lebih luas cakupannya daripada sistem kepercayaan.

Dalam artikel tersebut, Ahimsa-Putra menyebutkan bahwa perangkat kebudayaan terdiri dari berbagai unsur yang menyatu membentuk semacam gugusan bintang-bintang, yang batas-batasnya tidak begitu jelas tetapi memiliki inti yang jelas. Hubungan antarunsur kebudayaan di sini juga lebih mirip seperti hubungan antara bintang satu dengan yang lain dalam sebuah gugusan bintang, daripada seperti hubungan antarunsur dalam sebuah sistem (2012: 288). Sebenarnya saya tidak begitu memahami kalimat tersebut karena tidak dijelaskan lebih riil dan tidak pula disertai dengan contoh. Menurut pemahaman saya, dalam kalimat tersebut Ahimsa-Putra ingin menyampaikan bahwa hubungan ketujuh unsur kebudayaan universal (bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian) bukanlah seperti sebuah sistem di mana ketujuh unsur kebudayaan tersebut merupakan subsistem-subsistem yang saling berkaitan satu dengan lainnya, sehingga apabila satu subsistem mengalami disfungsi, maka sistem tidak akan berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Ahimsa-Putra lebih memandang unsur-unsur kebudayaan seperti gugusan bintang yang tidak memiliki batas yang jelas, namun memiliki inti yang sama. Atau seperti atom yang memiliki inti yang sama meskipun di dalamnya terdapat proton dan neuron.

Menurut Ahimsa-Putra (2012: 290), unsur yang penting dalam sistem kepercayaan tersebut adalah “keyakinan akan kebenaran pandangan”. Kalau unsur “pandangan” berada dalam “jagad pemikiran”, maka unsur “keyakinan” berada dalam “jagad perasaan”. Adanya keterkaitan antara “yang di dalam pikiran” dengan “yang di dalam perasaan” inilah membuat apa yang di dalam pikiran tersebut, pandangan-pandangan tersebut, menjadi tidak begitu mudah untuk berubah. Saya setuju dengan pendapat tersebut. Apa yang kita lihat secara langsung dan dapat kita rasakan dengan pancaindera akan melekat pada pikiran kita, dan apabila kita sudah yakin bahwa itu benar, maka itu akan menjadi sebuah pandangan yang sangat sulit untuk diubah. Hal ini terjadi karena antara rasio dan hati sudah saling terkait dalam satu mata rantai yang sama, sehingga apabila ingin merubahnya, maka harus memutuskan mata rantai tersebut menggunakan cara tertentu.
 
Dalam kaitannya dengan dunia empiris, deskripsi mengenai dunia ini secara fenomenologis dan sekaligus berdimensi agamawi akan selalu dikaitkan dengan dunia gaib, sebab deskripsi fenomenologis mengenai dunia empiris yang tidak berkaitan dengan dunia gaib akan membuat deskripsi tersebut kehilangan nuansa “keagamaannya”. Sepaham dengan Ahimsa-Putra, saya berpendapat bahwa fenomenologi agama tidak hanya bersentuhan dengan dunia empiris semata, namun juga dengan dunia non-empiris (dunia gaib), karena di dalam agama terdapat berbagai ajaran Tuhan, sementara Tuhan sendiri merupakan sesuatu yang gaib, tidak nampak, dan tidak dapat dilihat dengan mata. Sementara itu, dalam agama Islam misalnya, terdapat penjelasan mengenai makhluk gaib lainnya, seperti jin, syaitan, dan malaikat. Oleh karena itu, fokus deskripsi fenomenologi agama adalah dunia empiris dan dunia tidak empiris (dunia gaib).

Kamis, 21 Juli 2016

REVIEW ARTIKEL HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA "STRUCTURAL ANTHROPOLOGY IN AMERICA AND FRANCE: A COMPARISON"

Pendahuluan
Sebenarnya ada tiga macam antropologi struktural, yaitu antropologi struktural Belanda, antropologi struktural Perancis, dan antropologi struktural Amerika, namun di sini hanya akan dibahas mengenai antropologi struktural Perancis dan antropologi struktural Amerika karena keduanya memiliki kesamaan gagasan mengenai kebudayaan dan bahasa, meskipun strukturalisme Belanda berpengaruh besar terhadap strukturalisme Perancis.

Ward Goodenough, seorang pelopor antropologi struktural Amerika, menyatakan bahwa ahli antropologi mempelajari kebudayaan asing seperti ahli bahasa mempelajari bahasa asing. Menurut Goodenough, masalah mendasar para ahli antropologi adalah bagaimana mendeskripsikan kebudayaan tertentu kepada orang lain yang tidak lazim/tidak biasa dengan hal itu.

Masalah yang sama dihadapi juga oleh ahli bahasa dalam mendeskripskan sebuah bahasa. Namun ahli bahasa lebih baik daripada ahli antropologi, mereka membangun seperangkat konsep dan simbol dengan elemen-elemen bahasa yang dapat dideskripsikan dan dibandingkan dengan bahasa lainnya. Goodenough menganjurkan ahli antropologi untuk menggunakan metode linguistik sebagai model deskripsi kebudayaan. Langkah yang sama juga dilakukan oleh Lévi-Strauss dalam mempelajari sistem kekerabatan.
 
Baik The New Ethnography (Antropologi Struktural Amerika) dan analisis struktural Lévi-Strauss (Antropologi Struktural Perancis) mengadopsi metode dan teori fonologi dalam linguistik. Bagaimana pun, keduanya dilakukan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan yang sudah pasti berbeda pula.

Antropologi Struktural dan Linguistik Amerika
Salah satu masalah ilmiah terbesar dalam antropologi budaya adalah masalah penjelasan kesamaan kebudayaan dan perbedaan dalam beragam masyarakat yang tersebar di dunia. Kebutuhan laporan untuk fenomena yang ilmiah dan sistematis tidak bisa diacuhkan ahli antropologi untuk studi tindakan komparatif.
 
Studi komparatif sistematis dipelopori oleh Edward B. Tylor, yang pada abad ke-19 menemukan metode perbandingan persilangan kebudayaan di seluruh dunia. Tylor mengumpulkan informasi dengan mengambil sampel pada 350 masyarakat dari seluruh penjuru dunia dan menggunakan tes kemungkinan empiris untuk menemukan ada/tidaknya hubungan di antara institusi sosial di bawah pertimbangan subjek untuk aturan hukum. Ketika hubungan antarvariabel membuktikan adanya signifikansi, Tylor menyebutnya dengan adhesi (pelekatan). Dalam matriks analisis kontemporer, studi komparatif Tylor dikenal sebagai R-mode analysis (model analisis R), dimana peneliti menemukan bahwa variabel atau ciri kebudayaan sebagai kelompok sampling lebih baik daripada masyarakat atau kebudayaan.
 
Ada beberapa proposisi mengenai tempat dari bentuk kebudayaan dalam pengaturan sosial-budaya yang besar. Dua di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, proposisi yang berhubungan dengan perngaruh kondisi ekstra-kultural pada bentuk standar kebudayaan atau aturan, dan kedua, kesungguhan prinsip kebudayaan sebagai sebab atau varabel independen (berdiri sendiri), dan kondisi ekstra-kultural sebagai akibat atau variabel dependen (bergantung).
 
Data yang terekam pada masyarakat yang berbeda merupakan produk dari observasi mendetail terhadap apa yang orang-orang katakan dan lakukan, keadaan tindakan dan akibat dari aktivitas mereka. Gambaran pada orang yang sama menyajikan perbedaan penelitian untuk memastikan tingkat keberagaman satu dengan lainnya. Dalam membandingkan data yang terkumpul dari laporan yang berbeda, menggunakan perbedaan metode dan untuk tujuan yang berbeda. Apabila data tidak dapat dibandingkan, maka tidak dapat dilakukan perbandingan persilangan kebudayaan. Apabila yang demikian itu diterapkan, kesimpulan akan selalu menjadi problematik. Untuk melakukan studi perbandingan, data harus dikeluarkan dari bungkusnya dan dipilah untuk mencocokkan dengan tujuan penelitian. Artinya, perlu standar sistem dari klasifikasi untuk mengendalikan data mentah dan mereorganisasi atau mengubah data yang dipresentasikan untuk membuatnya sebanding satu sama lain.
 
Goodenough dan sejumlah ahli antropologi mengkonsepsikan masalah perbandingan kebudayaan menjadi serupa/sama dalam prinsip seperti ahli bahasa ketika mereka ingin untuk mendeskripsikan bunyi bahasa dari bahasa lain. Satu dari beberapa pendekatan dalam mendeskripsikan bahasa (linguistik deskriptif) adalah analisis struktural Zellig Harris. Harris mengenalkan komponen gagasan dalam analisis strukturalnya, yaitu fonem dan morfem. Fonem merupakan kombinasi unik dari beberapa komponen. Dalam sebuah bahasa, fonem digunakan dalam kesatuan yang kompleks, yang memiliki arti tertentu. Dalam linguistik deskriptif, tugas untuk mengisolir dan mendeskripsikan bunyi bahasa dari sebagian bahasa disebut fonemik, dan transkripsinya merepresentasikan kategori bunyi yang membuat perbedaan makna dalam kepastian bahasa, dimana studi produksi bunyi dan pembangunan meta-bahasa dengan fonem dan ciri-ciri khusus dari sebuah bahasa yang dapat dideskripsikan disebut fonetik, dan transkripsinya adalah seperangkat konsep yang dibangun oleh ahl bahasa untuk mendeskripsikan bunyi bahasa.
 
Berdasarkan atas perbedaan antara fonetik dan fonemik, dapat dikatakan bahwa deskripsi secara sosial bermakna sistem tindakan merupakan sebuah emic sejauh itu berdasar pada elemen-elemen yang memiliki komponen suatu sistem, dan sebuah etic yang berdasar pada elemen-elemen konseptual yang tidak memiliki komponen suatu sistem. Beberapa ahli antropologi meyakini bahwa masalah dalam studi perbandingan dapat dipecahkan dengan mengaplikasikan metode deskripsi dan perbandingan linguistik. Ahli antropologi memiliki klasifikasi dan tipologi sendiri mengenai hal tersebut. Untuk mendeskripsikan dan membandingkan dengan klasifikasi miliknya, ahli antropologi menemukan seperangkat instrumen konseptual yang akan digunakan untuk menggambarkan perbedaan sebaik mungkin. Asumsi dasarnya adalah bahwa ekspresi linguistik didesain oleh konsep-konsep kelas. Analogi eksplisit dari analisis semantik atau analisis komponensial dalam antropologi berdasar pada model fonologi komponensial. Ada beberapa asumsi mengenai analogi tersebut. Pertama, data dalam analisis semantik dipandang kurang lebih sepadan dengan produk dari analisis fonologikal. Kedua, dalam analisis komponensial, istilah domain semantik (seperti kekerabatan) membedakannya dari satu dengan yang lain melalui ciri-ciri khusus.

Strukturalisme dan Linguistik Lévi-Strauss 
Jika ahli antropologi Amerika mencari model dan metode dalam linguistik untuk mengatasi masalah dalam mendeskripsikan dan membandingkan kebudayaan di dunia, Lévi-Strauss melakukan hal yang sama untuk tujuan berbeda. Tujuan Lévi-Strauss adalah menemukan jawaban atas permasalahan status keilmiahan ilmu sosial, khususnya antropologi. Lévi-Strauss menyarankan para ahli antropologi menggunakan analisis linguistik karena fenomena sosial memproses dua karakteristik pokok yang membuatnya cocok untuk analisis ilmiah. Pertama, banyak tindakan linguistik merupakan produk dari ketidaksadaran pikiran manusia. Ketika orang berbicara,  mereka tidak menyadari hukum sintaktik dan morfologikal bahasanya. Kedua, bahasa muncul lebih dulu dalam sejarah umat manusia. Bahasa merupakan fenomena sosial dan juga merupakan objek tepat untuk analisis matematika.

Pengaplikasian analisis linguistik dalam studi sosial-budaya hanya mungkin dilakukan apabila terdapat perbedaan model masyarakat dan budaya, dan Lévi-Strauss menemukan cara baru untuk penelitian dengan memandang masyarakat atau budaya dalam hubungan teori komunikasi. Ada tiga macam komunikasi yang juga merupakan bentuk pertukaran, yang benar-benar berhubungan, karena pernikahan (komunikasi karena wanita) berasosiasi dengan prestasi ekonomi (komunikasi karena barang dan jasa), dan bahasa memainkan peran yang signifikan pada semua level.

Ada beberapa teori linguistik yang mempengaruhi pemikiran Lévi-Strauss, yaitu dari Troubetzkoy, Jakobson, dan Saussure. Troubetzkoy mengenalkan empat revolusi prinsip metodologi dalam linguistik struktural. Pertama, linguistik struktural bergeser dari studi fenomena kesadaran linguistik ke studi ketidaksadaran infrastruktur. Kedua, linguistik struktural bukanlah ucapan yang menyenangkan sebagai kesatuan yang independen, yang justru mengambil sebagai dasar analisis relasi antara ucapan. Ketiga, linguistik struktural mengenalkan konsep sistem. Keempat, linguistik struktural bermaksud menemukan hukum universal, baik induksi maupun deduksi.

Teori linguistik kedua yang mempengaruhi pemikiran analisis Lévi-Strauss adalah teori fonem Roman Jakobson. Jakobson meyakini bahwa mustahil untuk mengevaluasi setiap elemen dengan baik dalam sistem bahasa jika tidak memandang hubungannya dengan elemen lain dalam sistem. Jakobson percaya bahwa fungsi utama bunyi bahasa adalah memungkinkan manusia membedakan kesatuan semantik, yang dilakukan dengan merasakan ciri-ciri khusus  dari bunyi dan memisahkannya dari kekhususan lain dari bunyi. Poin penting dalam teori fonem Jakobson adalah pandangannya mengenai perbedaan fonem dari kesatuan linguistik lain.
 
De Saussure menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem ucapan interdependen dimana nilai masing-masing ucapan merupakan hasil dari kehadiran simultan orang lain. Nilai dari setiap ucapan dalam bahasa dimaknai oleh lingkungan. Ada dua aspek dari bahsa menurut Saussure, yaitu bahasa dan jaminan. Bahasa menunjuk pada kode khusus (sistem pengetahuan teratur), yang mirip kemampuan pemikiran Chomsky. Ini merupakan kumpulan fenomena yang hanya ada dalam ketidakmengertian dimana memungkinkan orang untuk berkomunikasi. Bahasa dalam kacamata Saussure juga merupakan relasi sistem. Ada dua macam relasi, yaitu distribusional dan integratif. Distribusional diartikan sebagai relasi antarelemen pada level yang sama, sedangkan integratif diartikan sebagai relasi antarelemen pada level yang berbeda.
 
Seperti sistem fonemik, Lévi-Strauss menyatakan bahwa sistem kekerabatan merupakan sistem tindakan terstruktur melalui hukum ketidaksadaran, dan tindakan tersebut menjadi berarti hanya ketika mereka terintegrasi dalam sistem. Lévi-Strauss juga berpikir bahwa bunyi seseorang tidak terbatas. Dalam mengaplikasikan analisis struktural dalam fenomena kekerabatan, Lévi-Strauss juga membuat perbedaan antara kekerabatan sebagai sistem terminologi dan sistem sikap. Lévi-Strauss setuju dengan yang kedua sebagai usahanya untuk menjelaskan sikap paman dari garis ibu atau kakak laki-laki dari ibu.
 
Sejak kekerabatan dipandang sebagai suatu sistem, Lévi-Strauss percaya bahwa paman dari garis ibu merupakan bagian dari beberapa sistem kekerabatan. Untuk menganalisis sistem kekerabatan dalam hal ini perlu dilihat ciri ketidaksadaran dari sikap sebagai bagian dari sebuah sistem. Lévi-Strauss kemudian menarik kesimpulan bahwa “satu aspek dari sistem global terdiri dari empat tipe hubungan, yaitu saudara laki-laki/saudara perempuan, suami/istri, ayah/anak laki-laki, dan kakak laki-laki dari ibu/anak laki-laki dari kakak perempuan. Lévi-Strauss mengemukakan aturan umum bahwa  dalam kebudayaan dimana hubungan antara kakak laki-laki dari ibu dan anak laki-laki dari kakak perempuan adalah khusus “hubungan antara paman dari garis ibu dan kemenakan laki-laki adalah hubungan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan, sebagai hubungan antara ayah dan anak laki-laki juga antara suami dan istri.”

Asumsi Dasar Antropologi Struktural Amerika
The New Ethnography atau Antropologi Struktural Amerika menjelaskan kebudayaan manusia yang menghasilkan deskripsi lain yang sebanding dengan menggunakan metode atau pendekatan yang sama. Asumsi dasarnya di sini adalah kebudayaan manusia dipelihara agar fungsi macam-macam komponen terintegrasi dan berkaitan satu sama lain. Sebagai elemen baru yang ditemukan atau dipinjam, mereka mencoba secara berkala sebelum adanya matriks kebudayaan.

Perbandingan persilangan kebudayaan diprakarsai oleh G.P. Murdock. Konstribusi Murdock di lapangan antara lain: menggunakan kesimpulan statistik formal termasuk koefisien dan korelasi dan tes yang signifikan, membangun bibliografi etnografi kontinental secara sistematis dan yang lebih penting lagi menggunakan dalil logika yang formal, sebuah sistem dengan memberi alasan yang berasal dari doktrin alasan deduktif dan pemalsuan hipotesis Popper. Poin terakhir tersebut menunjukkan bahwa pendekatan persilangan kebudayaan menggunakan dasar epistemologi.
 
Ilmu pengetahuan Popper adalah ilmu pengetahuan empiris yang menunjukkan “dunia nyata” atau pengalaman kita di dunia. Sejak teori harus palsu, teruji, teori juga harus empiris, dan sistem teori empiris harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, teori harus tiruan dalam indera dan berisi pernyataan yang tidak bertentangan. Kedua, teori tidak harus menjadi metafisik, tetapi harus “menggambarkan dunia dari pengalaman yang masuk akal”. Ketiga, teori harus membedakan dari sistem lainnya, dan menjadi satu-satunya yang menggambarkan pengalaman dunia kita.

Asumsi Dasar Strukturalisme Lévi-Strauss
Lévi-Strauss beranggapan bahwa bukan hanya naïf, melainkan juga salah jika menggunakan penjelasan kesadaran tindakan nyata manusia untuk penelitian ilmiah. Pada pandangan Lévi-Strauss, fenomena kesadaran menutupi struktur ketidaksadaran. Tindakan dan penjelasan beberapa orang terkadang bertentangan dengan tindakan dan penjelasan orang lain. Keberadaan fenomena nyata tidak terlihat sebagai pemberian pada pengamat, tetapi lebih banyak pada level yang terdalam. Akibat dari pandangan ini sudah jelas, bahwa kita tidak dapat menjelaskan lebih banyak dalam mengartikan pemberian fenomena kebudayaan atau kebiasaan jika itu dipelajari terpisah.

Menurut Lévi-Strauss, struktur bukanlah gambaran ataupun pengganti realitas. Struktur merupakan realitas empiris yang menawan dalam organisasi rasional, dan tidak ada struktur yang terpisah dari isi atau sebaliknya. Dalam studi strukturalnya, Lévi-Strauss memandang fenomena sosial sebagai “sistem objektivitas ide” yang digambarkan dengan simbol-simbol tertentu. Analisis struktural dapat menjadi ekonomi ilmiah, yang menggunakan angka terakhir dari aturan prinsip-prinsip untuk menjelaskan angka kemungkinan terbesar dari fenomena. Lévi-Strauss selalu mencoba mengkonstruksi model-model yang membuat fenomena sosial-budaya dapat dimengerti meskipun semakin kompleks.

Strukturalisme Amerika dan Perancis: Poin-poin Perbedaan 
Meskipun Antropologi Struktural Amerika dan Perancis sama-sama menggunakan metode linguistik sebagai model deskripsi kebudayaan dan analisis, hasil dari studi keduanya berbeda. Ada beberapa perbedaan antara strukturalisme Amerika (The New Ethnography) dan strukturalisme Perancis (strukturalisme Lévi-Strauss) di antaranya adalah sebagai berikut.
  1. Perbedaan tujuan. Strukturalisme Amerika lahir sebagai bentuk usaha beberapa ahli antropologi untuk menyaring metode deskripsi kebudayaan mereka dan menginginkan etnografi yang sebanding. Sedangkan strukturalisme Perancis berbanding terbalik dengan strukturalisme Amerika. Seperti studi perbandingan dalam linguistik, analisis antropologi didukung pula oleh sesuatu lebih dari klasifikasi atau kategorisasi belaka, yang dinamakan sebagai analisis nyata. Untuk memahami dan menjelaskan fenomena sosial-budaya, ahli antropologi membangun “efisien” dan model yang terlalu hemat.
  2. Perbedaan konsep kebudayaan/gagasan dasar. Strukturalisme Perancis memandang kebudayaan terdiri atas bermacam-macam aturan yang berada dalam sebuah struktur. Sedangkan strukturalisme Amerika (The New Ethnography atau studi persilangan kebudayaan) tidak menyangkal keberadaan struktur dalam kebudayaan, namun mereka memandang struktur sebagai sebuah sistem yang memiliki relasi fungsional antarelemen di dalamnya.
  3. Perbedaan kriteria teori ilmiah. Menurut strukturalisme Amerika, ilmu pengetahuan yang tepat untuk tindakan manusia diuji dengan keterangan beberapa orang yang dalam banyak masyarakat. Sedangkan menurut strukturalisme Perancis, konsepsi ilmu pengetahuan dengan verifikasi penelitian secara teliti tidak berguna untuk analisis struktural.
  4. Perbedaan konsepsi makna. Strukturalisme Amerika menganggap bahwa makna ekspresi linguistik atau simbol adalah konsep-konsep kelas atau gambar yang dirancang atau ditunjukkan. Sedangkan strukturalisme Perancis menolak penunjukan atau hubungan teori makna. Konsepsi makna dalam strukturalisme Lévi-Strauss mirip dengan ahli fonologi, berdasarkan pada makna fonem yang tidak dirancang dengan sengaja, namun posisinya berada di antara dua bahasa, yaitu sintakmatik dan paradikmatik.
  5. Perbedaan latar belakang epistemologi. Posisi strukturalisme Amerika atau studi persilangan kebudayaan segaris dengan teori kebenaran Korespondensi dimana bahan kajian tidak dapat diperkecil lagi dan dikenal sebagai “fakta”. Fakta diberikan observer, namun terpisah darinya. Sebaliknya, strukturalisme Perancis menganjurkan teori kebenaran Koherensi (pertalian) dimana tidak ada pemisahan antara pikiran dan fenomena yang diamati. Fakta tidak diberikan, namun dibuat berdasarkan kehadiran observer.

Sabtu, 09 Juli 2016

HIPNOTERAPI: ANTARA PENYEMBUHAN FISIK DAN MENTAL

Pendahuluan
Antropologi kesehatan tidak boleh dipandang sebagai penggabungan dari dua disiplin yang longgar, biologi dan sosial-budaya, karena seringkali masalah-masalah yang dihadapi kedua disiplin ilmu tersebut saling membutuhkan data maupun teori-teori dari kedua bidang yang bersangkutan (Foster & Anderson, 2009: 2). Penyakit mental, misalnya, tidak semata-mata dapat dipelajari dalam kerangka faktor fisiologis atau biokimia belaka, atau pun faktor sosio-budaya yang mengarah pada kondisi psikologis seperti: stress. Penyakit mental dapat dipelajari dalam gabungan kacamata kedua disiplin, yang salah satunya adalah menggunakan hipnoterapi untuk memperoleh pemahaman lebih mendalam dari faktor-faktor yang berpengaruh.

Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan pada subjek dalam kondisi hipnosis. Hipnosis adalah suatu keadaan fokus, tenang, dan rileks, sehingga dapat mencerna informasi atau sugesti yang masuk ke dalam pikiran (Sugara, 2013: 1). Kata hipnosis diambil dari nama dewa Yunani yang bernama “hypnoze” (tidur) dan pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter yang bernama James Braid pada abad ke-19. Awalnya, hipnosis banyak digunakan di dunia kedokteran, terutama untuk mengurangi rasa sakit saat melakukan operasi. Sebelum ditemukannya obat bius, para dokter melakukan operasi dengan memanfaatkan kondisi hipnosis. 

Hipnoterapi sering digunakan untuk memodifikasi perilaku subjek, isi perasaan, sikap, juga keadaan seperti kebiasaan disfungsional, kecemasan, sakit sehubungan stress, manajemen rasa sakit, dan perkembangan pribadi. Dengan kata lain, hipnoterapi merupakan aplikasi hipnosis yang digunakan untuk terapi, dan membantu orang yang mengalami psikosomatis atau mental block. Hipnoterapi memiliki penggunaan yang begitu luas, karena dapat menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan emosi dan perilaku. Lantas, bagaimana peran hipnoterapi dalam penyembuhan penyakit fisik dan mental seseorang?

Sekilas Tentang Hipnosis dan Hipnoterapi
Hipnosis didefinisikan sebagai suatu kondisi pikiran dimana fungsi analitis logis pikiran direduksi sehingga memungkinkan individu masuk ke dalam kondisi bawah sadar (sub-conscious/unconcious), di mana tersimpan beragam potensi internal yang dapat dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan kualitas hidup. Individu yang berada pada kondisi “hypnotic trance” lebih terbuka terhadap sugesti dan dapat dinetralkan dari berbagai rasa takut berlebih (phobia), trauma ataupun rasa sakit. Individu yang mengalami hipnosis masih dapat menyadari apa yang terjadi di sekitarnya berikut dengan berbagai stimulus yang diberikan oleh terapis.

Kasus pencabutan gigi pertama menggunakan hipnosis dilakukan pertama kali pada tahun 1823. Diikuti dengan proses melahirkan menggunakan hipnosis pada tahun 1826. Selama Perang Dunia I dan Perang Dunia II, hipnoterapi digunakan untuk memberikan perlakuan pada para prajurit yang mengalami trauma. Pada tahun 1955, British Medical Association menyatakan bahwa hipnosis layak digunakan untuk mengobati histeria dan digunakan sebagai anastesi. Tahun 1958, American Medical Association membuat pernyataan yang sama sekaligus mengkritik keras hipnosis yang ditujukan sebagai hiburan/pertunjukan (stage performance). Tahun 1960, American Psychology Association membentuk dewan penilai kelayakan seorang hipnotis. Kini, beberapa Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi telah memberikan mata kuliah hipnosis. Adapun universitas yang memiliki jurusan khusus hipnosis adalah Universitas Pepperdine di California.

Terapi hipnosis (hypnotherapy) kini merupakan fenomena ilmiah. Beberapa ilmuwan berspekulasi bahwa hipnoterapi menstimulir otak untuk melepaskan neurotransmiter, zat kimia yang terdapat di otak, encephalin dan endhorphin yang berfungsi untuk meningkatkan mood sehingga dapat mengubah penerimaan individu terhadap sakit atau gejala fisik lainnya. Sementara menurut Profesor John Gruzelier, seorang pakar psikologi di Caring Cross Medical School, London, guna menginduksi otak dilakukan dengan memprovokasi otak kiri untuk nonaktif dan memberikan kesempatan kepada otak kanan untuk mengambil kontrol atas otak secara keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat otak fokus pada suatu hal secara monoton menggunakan suara dengan intonasi datar, seolah-olah tidak ada hal penting yang perlu diperhatikan.

Secara umum, mekanisme kerja hipnoterapi sangat terkait dengan aktivitas otak manusia. Aktivitas ini sangat beragam pada setiap kondisi yang diindikasikan melalui gelombang otak yang dapat diukur menggunakan alat bantu EEG (Electroenchepalograph). Berikut diuraikan berbagai gelombang otak disertai dengan aktivitas yang terkait:
  • Beta (14 - 25 Hz)(normal): Atensi, kewaspadaan, kesigapan, pemahaman, kondisi yang lebih tinggi diasosiasikan dengan kecemasan, ketidaknyamanan, kondisi lawan/lari. 
  • Alpha (8 – 13 Hz)(meditatif): Relaksasi, pembelajaran super, fokus relaks, kondisi trance ringan, peningkatan produksi serotonin, kondisi pra-tidur, meditasi, awal mengakses pikiran bawah sadar (unconscious).
  • Theta (4 – 7 Hz)(meditatif): Tidur bermimpi (tidur REM/Rapid Eye Movement), peningkatan produksi catecholamines (sangat vital untuk pembelajaran dan ingatan), peningkatan kreativitas, pengalaman emosional, berpotensi terjadinya perubahan sikap, peningkatan pengingatan materi yang dipelajari, hypnogogic imagery, meditasi mendalam, lebih dalam mengakses pikiran bawah sadar (unconscious).
  • Delta (0,5 – 3 Hz)(tidur dalam): Tidur tanpa mimpi, pelepasan hormon pertumbuhan, kondisi non fisik, hilang kesadaran pada sensasi fisik, akses ke pikiran bawah sadar (unconscious) dan memberikan sensasi yang sangat mendalam ketika diinduksi dengan Holosinc.

Hipnoterapi : Antara Penyembuhan Fisik dan Mental
Hipnosis secara perlahan telah menunjukkan keberadaannya seiring dengan semakin meningkatnya penerimaan dalam dunia medis. Hipnosis banyak digunakan di berbagai bidang, seperti: bidang pengobatan dan olahraga untuk mengubah mekanisme otak manusia dalam menginterprestasikan pengalaman dan menghasilkan perubahan pada persepsi dan tingkah laku, bidang pendidikan (hypnolearning), bidang forensik (hypnoforensic), terapi penyembuhan mental (clinical hypnotherapy), bidang pemasaran/bisnis (hypnomarketing), dan hiburan (stage hypnosis). Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa aplikasi hipnosis untuk tujuan perbaikan (therapeutic) dikenal sebagai hipnoterapi.

Untuk melakukan hipnoterapi, ada tindakan yang dikenal dengan istilah induksi atau menginduksi. Kecakapan menginduksi berbanding lurus dengan subjek hipnosis menerima sugesti. Karena semua hipnosis adalah self-hypnosis, jika subjek hipnosis tidak bersedia dihipnosis, maka ia akan sulit dihipnosis. Dalam bidang hipnoterapi, subjek hipnosis ini disebut klien. Untuk memudahkan melakukan hipnosis, hipnoterapis perlu mengetahui perihal tingkat sugestibilitas klien. Sugestibilitas adalah kepribadian hipnotik seseorang yang ditentukan atau dipengaruhi oleh semua pengondisian dan pengalaman hidup, terutama pada usia 6 hingga 8 tahun. Berdasarkan Stanford Hypnotic Susceptibility Scale (SHSS), secara umum manusia terbagi dalam tiga kelompok sugestibilitas: yang sangat mudah dihipnotis sebesar 10% dari populasi, yang moderat 85% (sugestibilitas normal), dan yang sulit 5% (sulit dihipnosis) (Gunawan dalam Karyadi, 2013: 12).

Di ruang terapi, seorang hipnoterapis tidak begitu mempermasalahkan perihal tingkat sugestibilitas klien karena ada tahapan-tahapan yang harus diterima dan diikuti oleh klien dalam proses terapi, mulai dari tahapan interview, qualifying, induksi, hingga proses restructuring. Jika tahap awal diterima secara sadar oleh klien dengan sungguh-sungguh tanpa ada penolakan, maka tingkat sugestibilitas klien tidak begitu menjadi masalah. Kesiapan mental klien secara sadar untuk menerima sugesti digunakan sebagai acuan untuk memudahkan memberi sugesti oleh hipnoterapis kepada klien. Setiap proses melakukan tindakan hipnoterapi terlebih dahulu dilakukan kontrak hipnosis.

Hal menarik dalam masa rentang pertumbuhan dan perkembangan kehidupan seseorang (usia 3 bulan dalam kandungan hingga usia 8 tahun) terjadi ketika ada masa di mana seseorang mengalami suatu kejadian atau peristiwa yang cenderung traumatik. Meskipun peristiwa itu hanya sederhana, tetapi saat peristiwa tersebut memunculkan emosi negatif sangat intens, yang meninggalkan rekaman kesan emosi negatif yang sangat kuat pada pikiran bawah sadar seseorang, maka dapat menimbulkan berbagai masalah dan perilaku negatif seseorang di masa depannya. Hal yang mungkin terjadi adalah kesan traumatis atau hanya sekedar phobia (ketakutan tidak beralasan), atau bahkan bisa menjadi penyebab seseorang mengalami penyakit fisik tertentu.

Bhante Karyadi, seorang ulama Buddhis yang terbuka, melalui buku “Sembuh dengan Hipnoterapi” (2013) mengemukakan pengalamannya saat melakukan hipnoterapi kepada klien-kliennya. Karyadi (2013: 13 – 14) pernah menangani klien yang mengidap penyakit kanker rahim atau kista. Karyadi menemukan sumber masalah ketika klien berusia 5 tahun ketika me-release emosi negatif klien. Ketakutan adalah emosi negatif yang terungkap, paling dominan dirasakan oleh klien. Selanjutnya, Karyadi melakukan regresi ketika klien berusia 5 tahun, saat masih di kampung halamannya di Pulau Sumatra. Saat umur 5 tahun, klien pernah membeli permen di sebuah kedai di seberang jalan rumahnya. Sekembalinya membeli permen, saat sudah hampir mencapai pintu pagar rumahnya, klien hampir terserempet mobil angkutan kota yang melaju kencang. Kejadian itu terlihat langsung oleh ayahnya. Setelah masuk rumah, ayahnya malah memarahinya, “Tidak hati-hati…. Ceroboh… Sembarangan…!!!” Makian lain yang terucap dari mulut ayahnya juga masih membekas, sehingga klien semakin takut hingga tubuhnya menggigil. Melihat anaknya masih terlihat ketakutan, sang ayah masih saja memasang ekspresi marah dan tidak mendinginkan suasana hati klien. Saat itu, ibu klien sedang berbelanja ke pasar, sehingga tidak mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sekembalinya dari pasar, sang ibu melihat klien dengan mata sembap dan masih terisak. Ibunya sempat menanyakan alasan kenapa klien menangis, namun klien tidak berani menjawab sama sekali. Kemudian sang ibu menanyakan hal itu kepada suaminya, dan suaminya menceritakan kejadian sebenarnya. Akhirnya, sang ibu memeluk dan menggendong klien untuk menenangkannya. Klien baru merasakan kenyamanan saat dalam pelukan ibunya.

Peristiwa yang sudah terlupakan selama 38 tahun silam itu ternyata masih melekat di pikiran bawah sadar klien. Suatu ketika, klien sering terlambat datang bulan. Pola menstruasinya tidak teratur. Rasa perih pada bagian perut selalu dirasakan klien saat datang bulan. Akhirnya, klien memeriksakan keluhannya yang sering terlambat datang bulan sejak 4,5 tahun terakhir kepada dokter. Dari hasil pemeriksaan medis, klien didiagnosa penyakit yang cukup serius, yaitu kista/kanker rahim. Kanker rahim, yang notabene merupakan penyakit fisik, bukan hanya disebabkan oleh faktor fisik. Sumber penyakit yang mengondisikan klien adalah faktor emosi negatif, terutama rasa takut dan cemas yang masih terekam kuat di pikiran bawah sadar klien. Meskipun peristiwa sederhana terjadi di masa kecilnya, ketika klien beranjak dewasa, bahkan setelah melahirkan dan anak-anaknya bertumbuh dewasa, penyakit kistanya baru muncul setelah tersugesti oleh ucapan seseorang yang dipandang klien sebagai figur otoritas karena faktor profesi di bidang medis mengacu dari hasil diagnosa yang dilakukannya. Klien menganggap apa yang disampaikan figur otoritas ini sebagai kebenaran, sehingga klien menerima secara utuh apa yang diucapkannya. Setelah melalui proses hipnoterapi, diketahuilah sebab awal masalah klien yang bersumber dari peristiwa sederhana di masa kecilnya. Proses hipnoterapi hanya dilakukan selama 3 – 4 jam, dan dalam kurun waktu 4 bulan kemudian kista bersih dari rahimnya. Klien terhindar dari operasi pengangkatan rahim yang pernah disarankan oleh pihak medis.

Hipnoterapi, salah satunya berfungsi untuk menyembuhkan penyakit fisik, seperti: kanker dan serangan jantung. Emosi negatif akibat dari satu pengalaman traumatis masa lalu bisa menjadi pemicu munculnya penyakit fisik. Keadaan ini sering disebut psikosomatik, yaitu penyakit fisik yang berkaitan dengan masalah emosi negatif. Proses kesembuhan psikosomatik melalui hipnoterapi membuktikan kebenaran bahwa hipnoterapi berperan aktif mengatasi masalah kesehatan fisik dan mental. Hipnoterapi mempercepat pemulihan kondisi seorang penderita. Hal ini sangat dimungkinkan karena hipnoterapi diarahkan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan memprogram ulang penyikapan individu terhadap penyakit yang dideritanya. 

Hipnoterapi sangat berguna dalam mengatasi beragam kasus berkenaan dengan penyakit mental: kecemasan, ketegangan, depresi, phobia dan dapat membantu untuk menghilangkan kebiasaan buruk, seperti ketergantungan pada rokok, alkohol, dan obat-obatan. Dengan memberi sugesti, seseorang terapis dapat membangun berbagai kondisi emosional positif berkenaan dengan menjadi seorang bukan perokok dan penolakan terhadap rasa ataupun aroma rokok. Khusus untuk phobia, hipnoterapi digunakan untuk mereduksi kecemasan yang mengambil alih kontrol individu atas dirinya. Hal ini dapat diwujudkan dengan menciptakan suatu gambaran nyata tentang kondisi yang menyebabkan phobia namun individu tetap dalam kondisi relax, sehingga membantu mereka untuk menyesuaikan ulang reaksi mereka pada kondisi yang menyebabkan phobia menjadi normal dan respon yang lebih tenang.

Hipnoterapi dapat digunakan untuk membawa orang mundur ke masa lampau atau regresi kehidupan masa lalu untuk mengobati trauma dengan memberikan kesempatan untuk mengubah “fokus” perhatian. Hipnoterapi juga dapat digunakan untuk meningkatkan optimalitas pembelajaran. Berkaitan dengan pembelajaran, hipnoterapi dapat aplikasikan untuk meningkatkan daya ingat, kreativitas, fokus, merubuhkan tembok batasan mental (self limiting mental block) dan lainnya.

Dengan menggunakan bantuan hipnosis, seorang hipnoterapis dapat dengan mudah masuk ke pikiran bawah sadar klien dan melakukan otak-atik “program”. Akibatnya bisa positif, bisa pula negatif. Modifikasi atau rekonstruksi “program” pikiran ini selanjutnya akan mempengaruhi perilaku seseorang dan sebagai hasil akhir sudah tentu hidup orang juga akan berubah. Hipnoterapi di tangan praktisi yang cakap, kompeten, penuh integritas, dan bertanggung jawab telah terbukti secara klinis dan empiris efektif dan efisien dalam meningkatkan dan memberdayakan potensi diri untuk keluar dari jerat masalah yang mendera hidup, yang disebabkan oleh faktor mental dan emosi (Gunawan dalam Karyadi, 2013). Dengan menggunakan mind technology, hipnoterapis dapat memanfaatkan trance logic dan berbagai teknik terapi untuk melakukan rekayasa ulang, modifikasi, dan rekonstruksi memori dan menetralkan muatan emosi negatif yang melekat pada memori untuk membentu menyembuhkan berbagai luka batin akibat pengalaman traumatis, yang parahnya bisa menimbulkan penyakit fisik pada seseorang.

Luka batin (psychological shock) yang dialami seseorang mempengaruhi kondisi pikiran dan perasaannya, yang termanifestasi dalam berbagai bentuk pola perilaku destruktif yang tampak seolah-olah wajar. Masalah yang cukup pelik ini sulit diatasi dengan cara atau metode biasa. Dengan bantuan hipnoterapi klinis, dapat diselesaikan dengan sangat cepat pada level yang paling dalam, yaitu di level pikiran bawah sadar. Hipnoterapi selain cepat menyembuhkan luka batin/penyakit mental, juga bisa digunakan untuk mengsugesti penderita penyakit fisik. Karena pada dasarnya, penyakit fisik tidak hanya disebabkan oleh faktor fisiologis dan biokimia, namun juga faktor psiko-sosial-budaya. Seringkali, penyakit fisik berhubungan dengan mental dan emosi yang cenderung negatif, sehingga menimbulkan kondisi traumatik yang – apabila berlanjut – berdampak pada penyakit fisik.

Uraian mengenai hipnoterapi di atas sepadan dengan pandangan di sebuah desa Mestizo bernama Tzintzuntzan di Meksiko di mana kesehatan didefinisikan dalam rangka keseimbangan antara kekuatan-kekuatan “panas” dengan “dingin” yang terdapat dalam tubuh manusia dan dalam alam sekitar. Pandangan tersebut ternyata hanya merupakan pernyataan khusus dari suatu pandangan hidup yang lebih luas, yakni bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang memiliki berbagai keseimbangan, baik itu ekonomi, keadilan, kekuasaan, dan sebagainya. Dalam pandangan yang lebih mikro, keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan jasmani-rohani/keseimbangan jiwa-raga/keseimbangan fisik-mental individu.

Lain halnya dengan pengobatan tradisional Cina. Dalam pengobatan tradisional Cina, dapat dilihat bagaimana pandangan hidup mempengaruhi ide dan praktik kedokteran: penyakit dianggap sebagai akibat dari disharmoni atau “kekurangan terjadinya pasang dan surut” antara kekuatan yin dan yang (Foster & Anderson, 2009: 49). Manusia dianggap sebagai mikrokosmos dari jagat raya yang terdiri dari lima unsur: kayu, api, tanah, logam, dan air, yang sebaliknya mempengaruhi lima bagian tubuh: panca indera, panca warna, dan panca rasa. Pandangan yang demikian tidak mendorong suatu studi anatomi. Kedokteran Cina ditandai oleh pikiran-pikiran yang kabur mengenai anatomi manusia. Berbeda dengan hipnoterapi yang “memprogram ulang” pikiran bawah sadar, terapi pengobatan Cina ditujukan terhadap pemulihan elemen yang yang hilang dengan pemberian bagian organ hewan yang diduga memiliki kadar tinggi dari material tersebut.

Seringkali, orang menganggap hipnoterapi merupakan praktik kekuatan supranatural. Pandangan ini muncul karena tidak banyak orang yang tahu-menahu terhadap ilmu hipnosis. Dalam kondisi hipnosis, orang sebenarnya memiliki kesadaran terhadap apa yang terjadi, hanya saja lebih reseptif dalam menerima sugesti dan informasi. Tidak ada kaitannya dengan dunia gaib, karena memang hipnosis merupakan kondisi umum yang pasti dialami oleh setiap orang. Pada dasarnya, hipnoterapi harus berdasarkan persetujuan dari klien. Jika klien tidak mau atau menolak memasuki kondisi hipnosis, maka klien secara penuh dapat mengendalikan dirinya. Hipnoterapi tidak membuat seseorang lupa dengan apa yang terjadi pada dirinya. Bahkan sebaliknya, orang menyadari secara penuh mengenai memori kehidupannya. Dengan mudah, hipnoterapi mampu mengubah cara berpikir (mindset) seseorang untuk hal-hal yang positif. Jika klien memiliki persepsi bahwa suatu pengalaman tertentu membuat hidupnya menderita, maka pikiran bawah sadar akan menilainya sebagai sebuah ancaman dan membuat pemiliknya menghindari situasi tersebut. Namun jika klien mampu menilai semua kejadian dengan perasaan positif untuk kemajuan dan perkembangan dirinya walaupun kejadian itu menyakitkan, maka pikiran bawah sadar akan mengarahkan hidupnya semakin positif dan bahagia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya kesehatan fisik berkaitan dengan kesehatan mental masing-masing orang, di mana seseorang yang memiliki kecenderungan penyakut mental, maka bisa jadi akan berdampak pada kondisi kesehatan fisiknya sendiri.

Penutup
Hipnoterapi adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk bisa menjangkau pikiran bawah sadar dengan cepat dan mudah. Perubahan perilaku selama ini cukup sulit dilakukan karena pada umumnya orang tidak mengerti cara masuk ke pikiran bawah sadar yang menyimpan berbagai “program” yang mengendalikan dirinya. Ada lima cara untuk masuk ke pikiran bawah sadar: (1) Repetisi; (2) Identifikasi kelompok atau keluarga; (3) Informasi yang disampaikan oleh figur yang dipandang mempunyai otoritas; (4) Emosi yang intens; dan (5) Kondisi alfa atau hipnosis.

Filter mental (pikiran sadar) baru mulai terbentuk saat anak berusia 3 tahun. Filter ini akan semakin menebal pada usia 8 tahun dan akan sangat tebal pada usia 13 tahun. Walaupun pikiran sadar ini semakin kuat kerjanya pada usia 13 tahun, dari penelitian yang lain didapatkan satu penemuan menarik, yaitu anak mulai usia 0 – 13 tahun masih sangat banyak yang beroperasi pada gelombang otak theta (4 – 8 Hz). Ini adalah gelombang pikiran bawah sadar. 

Seorang klien akan melakukan perintah yang disugestikan oleh hipnoterapis bergantung pada dua hal. Pertama, kecakapan hipnoterapis dalam meyakinkan pikiran bawah sadar klien bahwa si klien harus melakukan yang diminta oleh si hipnoterapis. Kedua, apabila ternyata nilai-nilai yang dipegang oleh klien mengijinkan untuk melakukan perintah yang diminta oleh hipnoterapis. Hipnoterapi bisa mempercepat pemulihan kondisi seorang penderita penyakit fisik. Hal ini sangat dimungkinkan karena hipnoterapi diarahkan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan memprogram ulang penyikapan individu terhadap penyakit yang dideritanya.

Referensi
Foster, Anderson. 2009. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press.

Karyadi. 2013. Sembuh dengan Hipnoterapi. Jakarta: Gramedia.

Putra, Derichard H. 2012. "Antropologi Kesehatan: Sebuah Definisi", (Online) (http://kalamenau.blogspot.com/2011/05/antropologi-kesehatan-sebuah-definisi.html, diakses tanggal 11 November 2013).

Sugara, Gian Sugiana. 2013. Terapi Self-Hypnosis: Seni Memprogram Ulang Pikiran Bawah Sadar. Jakarta: Indeks.