Minggu, 27 Desember 2015

REVIEW ARTIKEL HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA: "JODOH ORANG BATAK KARO: DITENTUKAN ATAU TIDAK?"

Artikel “Jodoh Orang Batak Karo: Ditentukan atau Tidak?” yang ditulis oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra dan terbit pada tahun 1986 ini membahas perbedaan pendapat antara dua antropolog mengenai struktur sosial orang Batak Karo, yaitu Needham dan Masri Singarimbun. Needham (dalam Ahimsa-Putra, 1986:140) mengatakan bahwa masyarakat Batak dapat digambarkan sebagai masyarakat dengan sistem asymmetric prescriptive alliance dimana antarkelompok kekerabatan dihubungkan melalui perkawinan antaranggotanya, dan hubungan ini bersifat asimetris, dalam arti kelompok pemberi gadis tidak boleh menjadi kelompok penerima gadis terhadap satu kelompok yang sama. Sedangkan pendapat Singarimbun bertentangan dengan Needham, yaitu bahwa masyarakat Batak tidak dapat dilukiskan sebagai masyarakat dengan sistem asymmetric prescriptive alliance karena dalam kenyataan tidak ada kelompok-kelompok kekerabatan yang berupa corporate group, yang tukar-menukar wanita dan mengadakan aliansi, kecuali domestic families (Ahimsa-Putra, 1986:140).

Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa untuk memahami sistem kekerabatan masyarakat Batak Karo, maka penting untuk benar-benar memahami konsep-konsep kategori kekerabatan Batak Karo, seperti: senina, anakberu, kalimbubu, sada bapa, sada nini, turang impal, dan lainnya. Tanpa memahami konsep-konsep tersebut, menurut saya akan sulit untuk memahami penjelasan yang ditulis dalam artikel ini. Dalam artikel ini, Ahimsa-Putra mencoba untuk memperlihatkan struktur hubungan perkawinan masyarakat Batak Karo dengan mengulas beberapa hal yang menjadi perdebatan Needham dan Singarimbun. Artikel ini menjadi seperti sebuah penguatan atas pendapat Needham bahwa masyarakat Batak Karo memang mempunyai struktur hubungan perkawinan yang asimetris atau sistem aliansi prescriptive, namun dengan penjelasan yang menurut saya sangat objektif. Ahimsa-Putra menguraikan penjelasannya secara sistemik, yang saya bagi menjadi beberapa bagian, yaitu: (1) kerangka teori; (2) aturan perkawinan Batak Karo; (3) unit kekerabatan eksogam masyarakat Batak Karo; (4) perbedaan pandangan antara Needham dan Singarimbun; dan (5) simpulan.

Ahimsa-Putra memulai pembahasannya dengan menguraikan kerangka teori mengenai masyarakat unilineal yang eksogam, yang jatuh pada kesimpulan bahwa: (1) jika pertukaran wanita terjadi dalam dua kelompok kekerabatan, maka hubungannya adalah hubungan perkawinan yang simetris (symmetrical connubium); (2) jika pertukaran wanita terjadi dalam lebih dari dua kelompok kekerabatan, ada dua kemungkinan hubungan perkawinan, yaitu: (a) jika seorang pria mengambil jodoh gadis yang merupakan FZD-nya, maka hubungan yang terjadi adalah perkawinan yang asimetris (asymmetrical connubium) tidak sempurna; dan (b) jika seorang pria mengambil jodoh gadis yang merupakan MBD-nya, maka hubungan yang terjadi adalah perkawinan yang asimetris (asymmetrical connubium) sempurna. Sistem perkawinan yang menimbulkan assymmetrical connubium yang sempurna inilah yang kemudian disebut Needham sebagai asymmetric prescriptive alliance system.

Selanjutnya, Ahimsa-Putra menguraikan tentang aturan-aturan perkawinan yang berlaku pada masyarakat Batak Karo. Menurut Singarimbun (dalam Ahimsa-Putra, 1986:144), dalam masyarakat Batak Karo terdapat dua macam larangan perkawinan, yaitu: (1) larangan menikah dengan saudara sekandung (senina) dan kerabat-kerabat lain yang termasuk dalam kategori senina, dan (2) larangan bagi seorang pemuda untuk menikah dengan seorang gadis yang saudara pria sekandungnya telah menikah dengan saudara perempuan sekandung si pemuda tersebut. Selain itu, Ahimsa-Putra menambahkan bahwa ternyata orang Batak Karo mengenal bentuk perkawinan ideal dan juga ada larangan perkawinan dengan kerabat dari kategori tertentu. Perkawinan ideal orang Batak Karo adalah perkawinan seorang pria dengan MBD-nya atau seorang gadis dengan FZS-nya, karena perkawinan ini dapat memperkuat atau memperbaharui hubungan anakberu-kalimbubu yang sudah terjalin sebelumnya. Sedangkan larangan perkawinan orang Batak Karo adalah larangan bagi seorang pria untuk menikah dengan seorang gadis yang merupakan FZD-nya. FZD oleh orang Batak Karo dimasukkan dalam kategori turang impal, yaitu saudara sepupu yang seperti saudara kandung sendiri. Pandangan mengenai MBD sebagai jodoh ideal pria Karo dan larangan bagi pria untuk menikahi FZD-nya menurut Ahimsa-Putra merupakan bukti bahwa masyarakat Batak Karo merupakan masyarakat dengan struktur connubium yang asimetris. Masyarakat Batak Karo sangat melarang suatu perkawinan yang akan membuat pecahnya segmen atau unit satu kakek, yang disebut sada nini. Sada nini merupakan unit eksogam yang terbesar dan tertinggi setelah sada bapa, yang terdiri dari keluarga-keluarga beberapa pria yang satu sama lain merupakan parallel cousin

Menurut Ahimsa-Putra, ada empat hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat antara Needham dan Singarimbun, yaitu: (1) konsep prescriptive; (2) konsep descent group dan corporate group; (3) konsep anakberu-kalimbubu = penerima gadis-pemberi gadis; dan (4) konsep alliance.  


Ahimsa-Putra (1986:164) mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara Needham dan Singarimbun timbul karena masing-masing berbicara pada tingkat yang berbeda. Needham berada pada tingkat model yang abstrak, sedangkan Singarimbun mengambil tempat berpijak pada kenyataan hidup sehari-hari. Saya sendiri sependapat dengan Kipp, bahwa mungkin Singarimbun mengambil sudut pandang kenyataan karena dia ingin bertindak sebagai seorang peneliti, bukan sebagai orang Batak Karo. Menurut saya, akan lebih baik jika Singarimbun memposisikan diri di antara keduanya, sehingga dia akan melihat bagaimana cara kerja struktur tersebut dalam mengatur kekerabatan orang Batak Karo, mengapa struktur tersebut terbentuk sedemikian rupa, atau bagaimana struktur tersebut bertransformasi dalam keseharian masyarakat Batak Karo.

Saya pun setuju dengan pendapat Needham dan Ahimsa-Putra bahwa masyarakat Batak Karo mengenal asymmetric prescriptive alliance system memandang MBD sebagai jodoh ideal pria Karo dan larangan bagi pria Karo untuk menikahi FZD-nya, bahkan dengan FZHBD dan FZHFBSD. Kelompok-kelompok kekerabatan pun membentuk suatu aliansi dan merupakan kesatuan yang eksogam (disebut sada nini). Dan pada akhirnya, saya menyimpulkan bahwa jodoh orang Batak Karo sebenarnya ditentukan oleh struktur yang ada dalam masyarakat itu sendiri, meskipun mungkin ada banyak kasus dimana pria Karo tidak menikah dengan MBD-nya karena memiliki pilihan sendiri. Namun demikian, hal ini tidak melunturkan struktur dalam (deep structure) yang sudah ada dan terbentuk dalam masyarakat Batak Karo.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kedudukan aturan perkawinan tersebut saat ini? Bagaimana dengan orang Karo yang memilih menikah dengan bukan orang Karo (suku lain)? Dan berkaitan dengan jodoh ideal, apa yang terjadi apabila ada kasus dimana keluarga tidak memiliki keturunan atau hanya memiliki anak laki-laki? Bagaimana pula kedudukan anak angkat dalam sistem kekerabatan Batak Karo?

REVIEW BUKU BRONISLAW MALINOWSKI: A SCIENTIFIC THEORY OF CULTURE (CHAPTER 6-7)

Dalam bab 6 buku A Scientific Theory of Culture, Malinowski mendefinisikan konsep institusi. Institusi menurut Malinowski adalah struktur yang stabil tentang status dan peran untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sebut saja ini sebagai “charter”. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa charter suatu institusi berisi aturan-aturan, nilai-nilai, hukum, atau etiket yang menjadi pedoman masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari, yang kemudian disebut dengan “norma”. Seluruh organisasi/individu terhubung dengan aturan-aturan yang mengikat dan disebut sebagai “personil institusi”, yang memainkan peran sesuai dengan status sosialnya atau yang disebut Malinowski sebagai “material apparatus”. Disebutkan pula bahwa perbedaan antara aktivitas dan aturan sangat jelas. Aktivitas tergantung pada kemampuan, kekuasaan, kejujuran, dan niat baik anggotanya. Aturan merupakan perbuatan ideal, tindakan yang dicita-citakan, namun belum tentu realitasnya demikian. Aktivitas juga diwujudkan dalam perilaku aktual, sedangkan aturan seringkali hanya ada dalam bentuk pandangan atau teks. Pada akhirnya, Malinowski memperkenalkan kita pada konsep fungsi, yaitu hasil integral/keseluruhan dari aktivitas yang terorganisir.

Dalam bab 6 ini, Malinowski juga menyebutkan tujuh prinsip integrasi universal dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu: (1) reproduksi; (2) teritorial; (3) perbedaan fisiologis; (4) perkumpulan sukarela; (5) pekerjaan dan profesi; (6) pangkat dan kedudukan; dan (7) integrasi komprehensif. Prinsip reproduksi adalah penyatuan keluarga-keluarga yang terpisah dan terpencar dalam ikatan perkawinan. Prinsip teritorial merupakan ikatan komunitas didasarkan atas persamaan tujuan, keserasian hubungan, dan kerja sama. Prinsip perbedaan fisiologis adalah perbedaan atas dasar ciri-ciri fisik, yakni jenis kelamin dan golongan usia. Prinsip perkumpulan sukarela meliputi organisasi masyarakat primitif dan organisasi sosial masyarakat modern. Prinsip pekerjaan dan profesi adalah penataan aktivitas individu atas dasar kecakapan. Prinsip pangkat dan kedudukan meliputi status sosial dan derajat kepangkatan. Sedangkan prinsip integrasi komprehensif berdasarkan komunitas budaya atau dengan kekuatan politik. Prinsip integrasi universal tersebut menunjukkan bahwa tipe umum organisasi tertentu dapat ditemukan dalam setiap kebudayaan. Reproduksi, distribusi wilayah, perbedaan fisiologis, perbedaan kerja, semua pasti akan bermuara pada kategorisasi di mana setiap kategori memiliki struktur umum yang sama, yang kita pahami sebagai institusi.

Bab 7 buku ini membahas tentang analisis fungsional budaya. Di sini disebutkan bahwa terdapat interaksi yang konstan antara organisme dan lingkungan pergaulan sekunder yang ada, yaitu budaya. Malinowski ingin menjawab pertanyaan tentang: bagaimana kita mendefinisikan konsep budaya ke dalam bentuk yang jelas dan menghubungkannya dengan fungsi? Bagaimana pun budaya mencakup semua hal, termasuk hal-hal yang tidak dapat disentuh, tidak dapat dilihat secara observasi langsung, di mana bentuk dan fungsi terkadang sangat tidak jelas. Peneliti tidak boleh hanya menggantungkan pada aturan atau norma. Peneliti harus menempatkan pada konteks yang tepat. Orang bisa saja memiliki penalaran sendiri, memanipulasi aturan atau norma demi keuntungannya sendiri. Satu poin penting di sini adalah bahwa segala aktivitas manusia yang dimaknai sebagai fungsi simbolik suatu objek, gesture, ataupun bunyi artikulasi, harus direlasikan dengan teori kebutuhan dan kepuasan budayanya.

Kamis, 24 Desember 2015

KARET DAN KELAPA SAWIT SEBAGAI PRIMADONA EKSPOR DALAM KOMODITAS PERKEBUNAN DI ASIA TENGGARA (TERUTAMA DI INDONESIA)

Sebelum membahas mengenai karet dan kelapa sawit sebagai primadona ekspor dalam komoditas perkebunan di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, mungkin lebih baik untuk mengetahui apa itu definisi komoditas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komoditas berarti barang dagangan utama; benda niaga: hasil bumi dan kerajinan setempat dapat dimanfaatkan sebagai ekspor; bahan mentah yang dapat digolongkan menurut mutunya sesuai dengan standar perdagangan internasional, seperti gandum, karet, kopi. Dalam tulisan ini, saya ingin membahas secara singkat mengenai karet dan kelapa sawit sebagai primadona ekspor dalam komoditas perkebunan di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Mengapa karet dan kelapa sawit? Hal ini dikarenakan keduanya memiliki peran penting dalam pasar ekspor komoditas perkebunan di dunia dan menjadi sumber devisa negara yang utama dalam sektor perkebunan.

KARET
Karet adalah tanaman perkebunan tahunan berupa pohon batang lurus. Pohon karet pertama kali hanya tumbuh di Brasil, Amerika Selatan. Pohon ini berhasil dikembangkan di Asia Tenggara oleh Henry Wickham, sehingga sampai sekarang Asia merupakan sumber karet alami. Lebih dari setengah karet yang digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami masih diproduksi setiap tahun, dan masih merupakan bahan penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer. 

Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Tanaman karet tertua ditemukan di Subang yang ditanam pada tahun 1862. Pada tahun l864 tanaman karet ditanam di Kebun Raya Bogor. Perkebunan karet dibuka oleh Hofland pada tahun 1864 di daerah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Pertama kali jenis yang ditanam adalah karet rambung atau Ficus elastica. Tanaman karet (Hevea brasiliensis) ditanam di daerah Sumatera Timur pada tahun 1902. Perusahaan Harrison and Crossfield Company adalah perusahaan asing pertama yang mulai menanam karet di Sumatera Selatan, disusul Perusahaan Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909, dan diikuti perusahaan Amerika yang bernama Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM) pada tahun 1910-1991. 

Hasil karet dapat diolah menjadi beberapa produk antara lain: RSS I, RSS II, RSS III, Crumb Rubber, Lump, dan Lateks. Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat dijual atau diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya produk-produk tersebut akan digunakan sebagai bahan baku pabrik Crumb Rubber (Karet Remah), yang menghasilkan berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan berbagai produk hilir lainnya.

Ledakan tingginya harga karet terutama terjadi pada tahun 1922 dan 1926. Pada tanggal 7 Mei 1934 diadakan persetujuan antara Pemerintah Prancis, Britania Raya, Irlandia Utara, British Indie, Belanda dan Siam mengadakan pembatasan dalam memproduksi karet dan ekspornya. Persetujuan ini diumumkan dalam Stbl. 1934 No. 51 yang selanjutnya diadakan perubahan dengan Stbl. 1936 No. 472 dan 1937 No. 432. Kemudian pada tahun 1937-1942 diberlakukanlah kupon karet yang berfungsi sebagai surat izin ekspor karet diberikan kepada petani pemilik karet dan bukan kepada eksportir. Pada tahun 1944, Pemerintah Jepang yang berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan perluasan kebun karet rakyat. Produksi karet rakyat yang akan diekspor dikenai pajak yang tinggi yaitu sebesar 50% dari nilai keseluruhan. Sejak tahun 1945, perkebunan-perkebunan karet yang dulu diambil secara paksa oleh pihak Jepang dapat dilanjutkan kembali pengelolaannya oleh pemerintah Indonesia.

Menurut data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), untuk tahun 2011 produksi karet alam dunia diasumsikan hanya berkisar 10,970 juta ton sementara untuk konsumsi diperkirakan mencapai 11,151 juta ton. Thailand, Indonesia dan Malaysia dikenal dengan International Tripartite Rubber Council (ITRC) karena ketiga negara tersebut menjadi penghasil karet alam terbesar. Thailand menjadi negara penghasil karet alam terbesar dengan produksi karet pada tahun 2012 sebesar 3,5 juta ton, sementara Indonesia di peringkat kedua dengan produksi karet sebesar 3 juta ton, kemudian disusul oleh Malaysia dengan produksi 946 ribu ton. Jika melihat kondisi harga karet di pasar rubber Tokyo, Jepang sudah berada di level USD 3,3/kg. Untuk terus menjaga stabilitas harga karet, ITRC akan meminta Vietnam untuk ikut bergabung.

KELAPA SAWIT
Kelapa sawit (Elaeis) termasuk golongan tumbuhan palma. Sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi. Kelapa sawit di Indonesia diintroduksi pertama kali oleh Kebun Raya pada tahun 1884 dari Mauritius (Afrika). Saat itu Johannes Elyas Teysmann yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya. Hasil introduksi ini berkembang dan merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk ini telah mati pada 15 Oktober 1989, tapi anakannya bisa dilihat di Kebun Raya Bogor. Kelapa sawit di Indonesia baru diusahakan sebagai tanaman komersial pada tahun 1912 dan ekspor minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1919. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt seorang Jerman pada tahun 1911.    

Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan usia produktif hingga 25 – 30 tahun dan tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak yang dapat digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.

Produk utama kelapa sawit adalah minyak sawit, CPO dan CPKO, yang menjadi bahan baku industri hilir pangan maupun nonpangan. Minyak sawit membukukan sepertiga dari total 130 juta ton per tahun lemak nabati yang diperdagangkan secara global per tahun. Produksi global total minyak sawit diperkirakan lebih dari 45 juta ton, dengan Indonesia dan Malaysia sebagai produsen dan ekspotir utama dunia. Pasar utama bagi pertumbuhan industri minyak sawit adalah Eropa, India, Pakistan dan Cina untuk kebutuhan pangan, dengan permintaan di Amerika Serikat yang sekarang terus meningkat. Investasi pada perluasan kelapa sawit juga didorong oleh kebijakan substitusi impor di negara-negara yang bergantung pada pasar global untuk impor lemak nabati, seperti Filipina, India, dan Vietnam, dan negara-negara yang berharap dapat mengurangi ketergantungan mereka pada impor bahan bakar fosil dengan biodiesel. 

Perkebunan kelapa sawit diperkirakan ada sekitar 9,4 juta hektar di Indonesia. Di Kamboja sekitar 118.000 hektar. Di Thailand, perkebunan mencakup wilayah seluas 644.000 hektar, petani yang memiliki lahan kurang dari 50 hektar mengelola sekitar 70% dari total luas wilayah ditanami kelapa sawit. Di Filipina, perkebunan kelapa sawit mencakup 46.608 hektar, mewakili peningkatan sebesar 160% daerah perkebunan hanya dalam rentang waktu empat tahun. Sedangkan di Vietnam, perkebunan diatur dalam bentuk bidang-bidang tanah kecil yang total luasnya mencapai 650 hektar.

Selasa, 22 Desember 2015

MEMBACA ETNOGRAFI THE NUER (EVAN-PRITCHARD)

Sudah pernah baca etnografinya Evan-Pritchard yang berjudul THE NUER belum? Coba deh baca, keren lho. Bagi kalian yang belum baca, bolehlah ya saya beri sedikit ringkasannya. Jadi buku ini merupakan sebuah etnografi mengenai suatu suku di Sudan Selatan yang bernama suku Nuer. Dalam buku ini, Evan-Pritchard menyebutkan bahwa ukuran tribal dan karakter khas dari aturan sosial merupakan sesuatu yang penting, khususnya dalam suku Nuer, karena mereka tidak memiliki mekanisme yang jelas dari kontrol sosial dan integrasi politik. Ada dua bagian dalam sistem, yang disebut Evan-Pritchard sebagai “segments” dan “sections”. Tribal segments digambarkan sebagai “structural equilibrium” (keseimbangan struktural) yang merupakan produk dari “structural principle” (prinsip struktural). Prinsip struktural merupakan aturan yang spesifik dimana segments akan saling menentang atau saling menyatu dalam suatu proses yang disebut “fission” (pembelahan) dan “fusion” (penyatuan).
 
Satu dari abtraksi terbesar THE NUER adalah konstruksinya yang elegan. THE NUER dapat dikatakan terbagi menjadi tiga bagian: bagian pertama dua bab (“Interest In Cattle” dan “Oecology”); bab tengah (“Time and Space”) yang berfungsi sebagai jembatan antara bagian-bagian; dan selanjutnya dua bab (“The Political System” dan “The Lineage System”), membentuk garis lurus dan simetris “plan”. Evan-Pritchard mengemukakan prinsipnya terhadap pembagian/segmentasi untuk menjelaskan pembelahan dan penyatuan tribal dan analisis aturan paradox dari perselisihan dalam memelihara solidaritas tribal.

Sistem politik suku Nuer hanya dapat dipahami dalam sebuah relasi struktur, demikian pula dengan karakter kelompok Nuer yang harus diartikan melalui relasi antaranggota dengan kelompok lain yang memiliki kesamaan aturan hingga sistem politik. Relasi politik dapat terisolir dan dipelajari sendiri dalam sistem sosial lainnya, namun relasi politik mempunyai fungsi yang spesifik dari kumpulan relasi sosial. Relasi struktural di antara suku Nuer dan orang lain ditegakkan melalui “institution of warfare” dan relasi struktural antara elemen-elemen dalam suku yang sama ditegakkan melalui “institution of the feud”.

Untuk mendukung kesimpulan mengenai paksaan ekologi pada kelompok suku Nuer, Evans-Pritchard menggunakan data visual, observasi, dan pernyataan dari orang lain untuk memberi sedikit data mengenai pendapat suku Nuer tentang benda. Penjelasan tentang karakter kelompok lokal, Evans-Pritchard memberikan fakta bahwa mereka memiliki perkampungan lokal dan anggotanya saling bergantung satu sama lain. Fakta-fakta tersebut terangkum dalam beberapa foto, satu di antaranya dapat dilihat pada Plate XII (air-view of villages).

Evans-Pritchard menekankan pada aturan normatif dalam menggambarkan organisasi suku Nuer, dan ini terlihat kontras dengan fakta historis yang dikemukakan Evans-Pritchard dalam mendukung interpretasinya mengenai hubungan antara Nuer dan lainnya. Tulisan THE NUER merupakan analisis struktural yang berfokus pada model gagasan. Dalam membicarakan hak dan kewajiban, Evans-Pritchard menggarisbawahi bagaimana orang akan menemui teori yang kontras dengan praktik di lapangan.

LAPORAN PERKARA PERDATA TENTANG PENGGANTIAN NAMA DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA

Pengantar
Dalam mempelajari Hukum Acara Perdata, tidaklah “afdol” apabila tidak melakukan studi lapangan/terjun langsung ke lapangan guna mengetahui kronologi perkara perdata. Hal ini dikarenakan Hukum Acara Perdata merupakan kelanjutan dari Hukum Perdata. Hukum Acara Perdata mempelajari praktek dan kronologi dari perkara perdata. Dengan melakukan observasi dan membuat laporan tertulis mengenai suatu perkara perdata, baik itu tentang perceraian, warisan, atau pun penggantian nama, maka kita akan memperoleh pengetahuan tentang tata cara pelaksanaan Hukum Perdata. Pembuatan laporan tentang perkara perdata ini merupakan salah satu langkah yang tepat guna mempelajari Hukum Acara Perdata secara mendalam. Tak hanya mengetahui bagaimana jalannya persidangan, kita juga bisa melihat bagaimana susunan dalam sistem peradilan.

Kronologi Persidangan
Persidangan perkara perdata tentang penggantian nama pada hari Kamis, 04 Maret 2010 di Pengadilan Negeri Surabaya dibuka oleh Hakim Ketua, dilanjutkan dengan pembacaan identitas pemohon dan pembacaan surat permohonan tentang penggantian nama yang diajukan oleh Pemohon, yaitu Bapak Irwanto.

Identitas Pemohon
Nama : Bapak Irwanto
Pekerjaan : Pensiunan TNI AL
Agama : Kristen Protestan
Saksi-saksi : 
1. Agus (Tetangga Pemohon)
2. Damayanti Irwanto (Putri Pemohon)
 
Dalam Akta Perkawinan Bapak Irwanto dengan istrinya -- Ibu Ruth Sarminingsih -- Bapak Irwanto memakai nama depan Hans, sehingga dahulu namanya adalah Hans Irwanto. Pemakaian nama Hans Irwanto tersebut tidak sesuai dengan yang ada pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KSK (Keterangan Surat Keluarga). KTP dan KSK Pemohon hanya menggunakan nama Irwanto saja. Dalam pekerjaannya sebagai TNI AL, Bapak Irwanto juga tidak menggunakan nama Hans Irwanto, namun hanya Irwanto saja. Hal ini menyesuaikan dengan yang ada pada KTP dan KSK yang dimiliki Bapak Irwanto.

Dalam perkara permohonan penggantian nama ini, Bapak Irwanto tidak dapat menunjukkan akta kelahirannya. Beliau hanya mempunyai surat tanda kelahiran saja dan dalam surat tanda lahir tersebut, beliau juga tidak memakai nama Hans. Nama Hans dipakai setelah Bapak Irwanto dibabtis di sebuah gereja. Di dalam agamanya, seorang Kristiani harus melalui acara pembabtisan, sehingga tak sedikit umat Kristiani yang mengganti namanya setelah acara pembabtisan. Penggantian nama yang diajukan oleh Bapak Irwanto ini dilakukan untuk mencatatkan Akta Kelahiran cucunya dengan menggunakan nama orangtua Irwanto dengan istrinya, Ruth Sarminingsih. Cucunya tersebut akan diakui sebagai anaknya kandungnya sendiri karena anak tersebut adalah anak luar kawin dari putrinya, Damayanti Irwanto. Penggantian nama ini dilakukan untuk menghilangkan nama Hans yang ada dalam Akta Perkawinan menjadi Irwanto saja, sehingga mempermudah dalam pembuatan Akta Kelahiran untuk cucunya.

Dalam persidangan perkara penggantian nama ini, Bapak Irwanto mendatangkan 2 (dua) saksi, yaitu Agus dan Damayanti Irwanto. Dalam pemberian keterangan, para saksi haru disumpah terlebih dahulu di hadapan para hakim (Hakim Ketua dan Hakim Anggota). Saksi-saksi bersumpah demi agamanya dan bersumpah di atas Kitab Sucinya untuk berkata dengan jujur tanpa ada kebohongan sedikit pun ketika memberikan keterangan.

Keterangan saksi:
Agus (tetangga Bapak Irwanto)
Menurut keterangan dari saksi, panggilan Bapak Irwanto sehari-hari adalah Irwanto tanpa menggunakan nama Hans. Semua tetangga mengenalnya Bapak Irwanto tanpa ada nama Hans di depan nama Irwanto. Dalam dinas pekerjaannya sebagai TNI AL, beliau juga dikenal dengan nama Irwanto saja.

Damayanti Irwanto (putri Bapak Irwanto)
Menurut keterangan saksi, penggantian nama yang dilakukan oleh Bapak Irwanto adalah untuk mendapatkan Akta Kelahiran anaknya yang baru ia lahirkan. Dia memasukkan anaknya sebagai anak ayahnya karena anak tersebut adalah anak luar kawin. Damayanti tidak mempunyai suami ketika anaknya lahir. Menurut Damayanti, memang benar penggunaan nama depan Hans ada pada Akta Perkawinan Bapak Irwanto dengan istrinya Ibu Ruth Sarminingsih. Ini berbeda dengan yang ada pada KTP, KSK, Surat Tanda Lahir dan pekerjaannya sebagai TNI AL. Bapak Irwanto ingin menghilangkan nama Hans di depan nama Irwanto pada Akta Perkawinanya dengan Ibu Ruth Sarminingsih.
 
Putusan akan dibacakan setelah mendengarkan kesaksian dari istri Bapak Irwanto, Ibu Ruth Sarminingsih, pada hari Selasa, 09 Maret 2010. Jika Bapak Irwanto mendatangkan istrinya pada persidangan berikutnya (Selasa, 09 Maret 2010), maka perkara permohonan penggantian nama tersebut akan diputuskan hari itu juga.

Kesimpulan
Penggantian nama Bapak Irwanto adalah untuk menghilangkan nama Hans di depan nama Irwanto. Ini ditujukan untuk mengubah Akta Perkawinan Bapak Irwanto dengan Ibu Ruth Sarminingsih. Selain itu, penggantian nama ini ditujukan untuk membuat Akta Kelahiran cucunya yang diangkat menjadi anak kandungnya sendiri karena anak tersebut adalah anak luar kawin. Untuk membuat Akta Kelahiran, nama orangtua harus sesuai dengan nama yang tercantum dalam KTP dan KSK.

HUKUM AGRARIA (AGRARISCHRECHT)

Pengantar
Hukum Agraria Nasional kita diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). UUPA ini merupakan pembaharuan dari Hukum Tanah Administratif pemerintah Hindia-Belanda yang dituangkan dalam suatu undang-undang politik pertanahan kolonial, yaitu Agrarische Wet (AW) yang dibuat di negeri Belanda pada tahun 1870. AW ini diundangkan dalam S 1870-55 sebagai tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regerings Reglement (RR) Hindia-Belanda tahun 1854. Semula, RR tersebut terdiri atas 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4-8) oleh AW, maka pasal RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS) pada tahun 1925.
Agraria sendiri mempunyai beberapa pengertian. Dalam artian luas (tercantum pada Pasal 1 ayat (2) UUPA ), konsep agraria diartikan: seluruh bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Sedangkan dalam artian sempit, agraria merupakan permukaan bumi yang disebut tanah.  Meskipun sebenarnya agraria tidak hanya meliputi tanah saja, melainkan juga air dan ruang angkasa, namun yang dipelajari dalam mata kuliah Hukum Agraria ini adalah agraria dalam arti sempit.
UUPA sebagai dasar Hukum Agraria Nasional bangsa Indonesia sendiri berpedoman pada Hukum Adat murni Indonesia. Hal ini disebutkan dalam Pasal 5 UUPA, bahwa UUPA mengedepankan kepentingan nasional, persatuan, dan sosialisme Indonesia. Tak hanya itu, dalam UUPA pun nilai-nilai luhur dari Pancasila dimasukkan ke dalam pasal-pasalnya:
  1.  Sila pertama : Pasal 1 ayat (2) dan (3)
  2. Sila kedua : sifat kolektif Pasal 1 ayat (2); sifat privat Pasal 2 ayat (2b), Pasal 4, Pasal 16, dan Pasal 20
  3.  Sila ketiga : Pasal 9 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 42
  4.  Sila keempat dan kelima : Pasal 9 ayat (2), Pasal 7, dan Pasal 17

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan UUPA berpedoman pada Pancasila. Pertama, UUPA tidak menganut sistem hak privat saja seperti negara-negara Barat (individualis kapitalis). Kedua, UUPA juga tidak menganut sistem hak publik saja seperti negara-negara komunis. Ketiga, UUPA mendasarkan diri pada sifat hakekat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

Pembaharuan Hukum Tanah
Mengenai perlunya diadakan pembaharuan Hukum Tanah dapat diketahui dari yang dinyatakan dalam Konsiderans “Mengingat” dan Penjelasan Umum UUPA pada tahun 1960, sebelum dimulai penyelenggaraan Pembangunan Nasional. Adapun sebab utama seperti yang tertuang dalam Penjelasan Umum tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Hukum Agraria yang berlaku saat itu sebagian besar tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara dalam mengadakan Pembangunan Nasional. Oleh sebab itu, Hukum Agraria perlu diadakan pembaharuan dengan menghapus sendi-sendi penjajah dan mengganti dengan sendi-sendi murni Indonesia demi kepentingan nasional.
  2. Sebagai akibat dari politik pemerintahan Hindia-Belanda, maka Hukum Agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu berlakunya hukum barat dan hukum adat murni Indonesia. Hal ini menimbulkan benturan kepentingan antargolongan dan tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa.
  3. Bagi rakyat pribumi, Hukum Agraria hasil pemerintah kolonial tidak menjamin kepastian hukum. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan adanya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten, dan juga penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif. Rakyat pribumi yang tunduk pada hukum adat mempunyai tanah dengan hak-hak hukum adat yang bentuknya tidak tertulis, sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan perlindungan hukum atas tanah yang mereka miliki.

Berdasar alasan tersebut, maka diadakanlah pembaharuan Hukum Agraria Administratif kolonial dengan Hukum Agraria Nasional. Dasar pembentukan hukum Agraria Nasional ini menurut UUPA adalah sebagai berikut.
  1. Dasar kenasionalan : Pasal 1 ayat (1) dan (2).
  2. Tidak menggunakan azas domein verklaring (azas yang menyebutkan bahwa rakyat pribumi yang tidak bisa membuktikan sebidang tanah adalah miliknya dengan menggunakan sertifikat, maka tanah akan menjadi hak negara). 
  3. Mendudukkan hak ulayat masyarakat adat yang sewajarnya dalam alam bernegara.
  4. Penyelarasan kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah.
  5. WNI yang mempunyai hak milik atas tanah.
  6. Persamaan dan kesempatan yang sama bagi WNI berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah. 
  7.  Landreform. 
  8. Perencanaan mengenai peruntukkan, penggunaan, dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk kepentingan rakyat dan negara.
  9. Hukun Agraria kita didasarkan pada ketentuan Hukum Adat.
  10. Pendaftaran tanah merupakan arah menuju kepastian hukum.
Dalam perombakan Hukum Agraria Administratif kolonial tersebut, diadakanlah Panca Program Agrarian Reform Indonesia yang berisi: (1) Pembaharuan Hukum Agraria; (2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah; (3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; (4) Perombakan mengenai penguasaan dan pemilikan tanah, serta hubungan-hubungan yang  bersangkutan dengan penguasaan tanah; dan (5) Perencanaan, persediaan, dan peruntukkan serta penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuan.

Hak Ulayat
Secara umum, hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat Hukum Adat untuk menggunakan hutan belukar dalam kepentringan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang luar, akan tetapi harus izin dan senantiasa melakukan pembayaran recognitie (semacam pajak). Sedangkan menurut Van Vollenhoven, hak ulayat merupakan besckhingrecht, artinya menguasai tanah dalam arti kekuasaan masyarakat hukum tidak sampai pada kekuasaan menjual di dalam wilayahnya.
Subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum tertentu, bukan perorangan ataupun penguasa Hukum Adat. Hak ulayat mempunyai kekuatan ke dalam dan ke luar. Hak ulayat diakui dalam UUPA dengan adanya dua syarat, yaitu berdasarkan eksistensinya dan pelaksanaannya. Hak ulayat diakui eksistensinya sepanjang menurut kenyataannya di lingkungan kelompok warga masyarakat Hukum Adat tertentu yang bersangkutan memang masih ada. Di daerah yang hak ulayatnya hilang, maka tidak akan dihidupkan kembali dan di daerah yang tidak pernah ada hak ulayat, maka tidak akan dilahirkan hak ulayat baru. Hak ulayat pun tidak akan didaftar.
Hak ulayat lambat laun akan hilang karena dua hal, yakni kebutuhan akan tanah yang lambat laun semakin meningkat seiring dengan cepatnya pertumbuhan penduduk, dan  karena adanya pembangunan ekonomi yang direalisasikan dengan Pembangunan Nasional.

Hak Konversi
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa keadaan Hukum Tanah sebelum UUPA yang memberlakukan Hukum Agraria Administratif pemerintah Hindia-Belanda menimbulkan kerugian yang besar bagi rakyat pribumi dan memicu terjadinya konflik antargolongan yang disebabkan oleh adanya dualisme dalam Hukum Tanah tersebut. Ini tentu saja bertentangan dengan cita-cita persatuan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, perlu diadakan unifikasi Hukum Tanah Indonesia dengan menghapus dualisme tersebut yang ditegaskan dalam Lampiran Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Selain penghapusan dualisme, Hukum Tanah Indonesia (UUPA) juga menhapus hak-hak konversi -- perubahan hak lama atas tanah menjadi tanah dengan hak baru menurut UUPA -- sehingga diharapkan kepentingan rakyat dan kepentingan negara berjalan seimbang.
Ada tiga jenis konversi, yaitu:
1.    Konversi hak atas tanah dari tanah hak Barat
Konversi jenis ini tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya adanya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfpacht. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 yang menetapkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang pemindahan tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum Eropa, dinyatakan bahwa sambil menunggu peraturan lebih lanjut untuk sementara setiap serah pakai lebih dari satu tahun dan perbuatan-perbuatan yang berwujud pemindahan hak mengenai tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum Eropa hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 izinnya dari Menteri Agraria).
Ketentuan di atas dilengkapi dengan Undang-undang nomor 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak-hak atas tanah perkebunan erfpacht, eigendom, dan lainnya. Hak eigendom bisa dikonversi menjadi hak guna usaha, hak milik, hak pakai, jika tidak jelas siapa pemiliknya. Sedangkan hak opstal (hak memanfaatkan tanah orang lain, tetapi bangunan di atasnya adalah milik sendiri) bisa dikonversi menjadi hak guna bangunan.

2.    Konversi hak atas tanah berasal dari tanah bekas hak Indonesia
Tanah yang sejak semula berstatus tanah negara, berarti di atas tanah tersebut belum pernah ada hak pihak tertentu selain negara. Dalam sistem Hukum Tanah sebelum UUPA, terdapat azas bahwa tanah yang tidak jelas pemiliknya akan menjadi milik negara. azas ini disebut azas domein. Setelah UUPA berlaku, azas domein dicabut dan negara bukanlah pemilik tanah, namun beralih menjadi penguasa tanah. Negara adalah penguasa tanah di seluruh wilayah Indonesia, baik yang sudah ada hak orang di atasnya maupun yang bebas dari hak orang.

3.    Konversi hak atas tanah berasal dari tanah swapraja
Tanah swapraja merupakan tanah yang pada zaman Hindia-Belanda menjadi kekuasaan para raja. Ini merupakan salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakyat, seperti lembaga konversi yang berlaku di Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta dimana semua tanah dianggap milik raja dan rakyat hanya sekedar memakainya, serta diwajibkan untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada raja. Kepada anggota keluarganya atau hambanya yang berjasa dan setia oleh raja diberikan tanah sebagai nafkah disertai dengan pelimpahan hak raja, sehingga mereka berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini dinamakan stelsel apanage.
Berdasarkan Stb. 1918 No. 20, para pengusaha asing yang menyewa tanah swapraja mendapatkan hak atas tanah dari raja yang disebut hak konversi (beschikking konversi). Keputusan Raja (Beschikking Raja), pada hakekatnya merupakan suatu keputusan penguasa untuk memakai dan mengusahakan tanah tertentu. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1948 yang mencabut Stb. 1918 No. 20, dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, secara tegas dinyatakan bahwa lembaga konversi serta hypotheek yang membebaninya menjadi hapus.

MEMBACA ETNOGRAFI CAROK : KONFLIK KEKERASAN DAN HARGA DIRI ORANG MADURA (Dr. A. LATIEF WIYATA)

Kali ini saya akan menyajikan sebuah contoh tulisan hasil dari membaca etnografi. Buku CAROK : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura karangan Dr. A. Latief Wiyata memberikan fokus perhatian terhadap faktor sosio-kultural, sehingga dalam penelitiannya menggunakan teori-teori ekologi kultural (cultural ecology theory) dan teori materialis kultural (materialist cultural theory), meskipun tidak secara kaku, dalam arti tetap disesuaikan dengan kondisi sosial budaya Madura. Penelitian ini merupakan penelitian etnografis yang mempelajari secara mendalam dan holistik salah satu peristiwa sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat Madura, yaitu carok.

Permasalahan
Apakah carok? Apakah perbedaan antara carok dengan kejahatan lain? Kapan orang Madura mengambil jalan kekerasan ini? Apa artinya kejadian carok bagi orang Madura? Apa akibat carok bagi pelaku, korban, dan sanak keluarganya? Mengapa tindakan ini ditoleransi? Carok kebetulan merupakan semacam pertolongan terhadap diri sendiri (self-help). Hanya dengan membaca judul buku karangan Dr. A. Latief Wiyata ini, terlihat bahwa masalah yang menjadi pemicu carok selalu dikaitkan dengan harga diri dan rasa malu. Harga diri dan penggunaan kekuatan fisik mempunyai hubungan sangat erat dalam masyarakat tertentu. Persona fisik seolah-olah merupakan penjelmaan dari harga diri. Dengan demikian, menghina harga diri sama artinya dengan melukai seseorang secara fisik. Di pedalaman Madura, harga diri orang atau keluarga masih selalu dipertaruhkan ketika seseorang dalam situasi kecemburuan, kalau istri atau anak perempuan diganggu, kalau orang dihina dengan kata-kata atau perbuatan kasar, dan kalau orang mencuri barang (4).

Dalam dekade terakhir, carok juga masuk dalam lingkaran kriminal (3 - 6). Jelas bahwa pelaku kriminalitas ini tidak suka menaati hukum nasional, dan dalam kelompok ini keberanian dan kekuatan fisik dihargai tinggi.penyelesaian masalah ini, seperti yang ditunjukkan Dr. A. Latief Wiyata (109 – 123, 147 – 158), sering dilakukan di depan umum. Selama pesta meriah yang disebut rèmo, yang diselenggarakan untuk mengumpulkan uang demi investasi bisnis, seorang jagoan sering mencoba menghina lawannya di depan para peserta rèmo lain dan memancing kekerasan fisik supaya ada alasan untuk menyerang lawannya itu. tidak mengherankan bahwa rèmo berkembang khususnya di pedalaman Madura, di mana pengaruh pemerintah tidak kuat (72 – 89).

Solusi/Jawaban
Dr. A. Latief Wiyata menjawab pertanyaan-pertanyaan besar mengenai carok dengan melukiskan secara jelas, baik dari aspek instrumental maupun aspek ekspresif, tentang tindakan kekerasan orang Madura tersebut. Dr. A. Latief Wiyata menyebutkan bahwa carok adalah “institusionalisasi kekerasan” dalam masyarakat Madura. Carok sebagai institusionalisasi kekerasan, selain mempunyai kaitan dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama, dan pendidikan, tampaknya juga tidak dapat dilepaskan dari faktor politik, yaitu lemahnya otoritas negara/pemerintah dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan, serta ketidakmampuan memberikan perlindungan terhadap masyarakat akan rasa keadilan, yang mengkondisikan orang Madura melakukan carok yang dianggap lebih memenuhi rasa keadilan mereka. Carok merupakan kekurangmampuan sebagian masyarakat Madura dalam mengekspresikan budi bahasa, karena mereka lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh, sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi.

Klaim
Untuk melihat “pemahaman” dan “penjelasan” dari carok, Dr. A. Latief Wiyata menggunakan berbagai unit analisis: “nilai”, “kebiasaan”, dan “konsep”. Predikat sebagai orang jago, misalnya, merupakan kebanggaan tersendiri bagi para pemenang carok. Karena konsep kebudayaan antara lain mencakup pula sistem komunikasi, dalam arti antara para pendukung kebudayaan saling mempertukarkan simbol-simbol budaya yang bermuatan makna, maka carok bagi sebagian pelakunya dianggap sebagai alat untuk mengkomunikasikan simbol-simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan pada lingkungan kerabat dan lingkungan sosialnya. Hal ini tampak pada perilaku hampir semua pelaku carok., yang dengan sengaja dan penuh rasa bangga menyimpan benda-benda yang pernah digunakan ketika melakukan carok, atau dengan sengaja menguburkan korban carok di pekarangan rumah. Tindakan ini jusru sangat memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan selanjutnya. Dalam konteks ini, carok bukan merupakan cara penyelesaian konflik, melainkan lebih merupakan proses reproduksi kekerasan yang akan selalu menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan baru (carok turunan).

Dr. A. Latief Wiyata menekankan pada aturan normatif dalam menggambarkan struktur sosial budaya masyarakat Madura, dan ini menjadi pisau analisa untuk mengupas beberapa kasus carok yang terjadi di Madura. Tulisan CAROK : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura merupakan analisis struktural yang berfokus pada model gagasan. Melalui analisis, deskripsi mendalam, dan bersifat tafsiriah, makna carok dapat diungkapkan dan dipahami sesuai dengan konteks sosial budaya Madura. Peristiwa carok sendiri dianggap sebagai imbas akan adanya struktur sosial dalam masyarakat yang bermata dua, yakni: “mempertahankan posisi dalam struktur” atau “meraih posisi dalam struktur”.

Data
Esensi dari tulisan CAROK : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura adalah memahami secara mendalam arti atau makna peristiwa carok dalam lingkungan sosial budaya masyarakat Madura. Tulisan ini dapat dikatakan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pertama dua bab (“Pendahuluan” dan “Kondisi-Kondisi Sosial Budaya Madura”); bagian kedua/bab tengah (“Kasus-Kasus Carok dan Motifnya”) yang berfungsi sebagai jembatan antara bagian pertama dan terakhir; dan selanjutnya bagian ketiga/terakhir (“Makna dan Konteks Sosial Budaya Carok”), membentuk garis lurus dan simetris “plan”.

Untuk mendukung kesimpulan mengenai hubungan konflik kekerasan (carok) dan harga diri orang Madura, Dr. A. Latief Wiyata  menggunakan data visual, observasi, wawancara mendalam, dan pernyataan dari orang lain. Berkaitan dengan motif dan pelaksanaan carok, serta penjelasan tentang respon masyarakat setempat, Dr. A. Latief Wiyata mengumpulkan enam kasus carok yang pernah terjadi di Madura, yakni tiga kasus bermotif gangguan terhadap istri (95 – 138), satu kasus bermotif pertahanan martabat (139 – 152), satu kasus bermotif perebutan harta warisan (153 – 163), dan satu kasus bermotif pembalasan dendam (164 – 176). Selain itu, Dr. A. Latief Wiyata memberikan sketsa visualisasi peragaan carok (Lampiran 12, 248) dan mengenalkan jenis-jenis senjata tajam untuk carok (Lampiran 13, 249) yang terdiri dari tiga jenis, yaitu: calo’, are’ takabuwan, dan laddhing/todi’ pangabisan.

Argumentasi/Retorik
Carok selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri – terutama gangguan terhadap anak perempuan atau istri – yang menyebabkan orang Madura malo. Dalam konteks ini, terlihat bahwa carok sebagai institusionalisasi kekerasan mencerminkan monopoli kekuasaan suami (laki-laki) terhadap istri (perempuan). Monopoli kekuasaan ini, antara lain ditandai oleh perlindungan secara berlebihan (over protection) terhadap istri (perempuan), seperti tampak pada pola pemukiman tanèyan lanjhang (Gambar 5, 45), tata cara penerimaan tamu (khususnya laki-laki), cara berpakaian, dan kebiasaan melakukan perkawinan antarkeluarga (kin group endogamy), khususnya perkawinan di bawah umur (Gambar 6, 56).

Berbicara tentang struktur, selain sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial yang lebih tinggi sebagai orang jago dalam lingkungan komunitas mereka atau dalam lingkungan dunia blatèr. Bahkan, dengan posisi dan status sosial ini, mereka dapat pula meraih kedudukan formal dalam institusi formal atau birokrasi, yaitu sebagai Kepala Desa. Dengan demikian, carok dipandang oleh sebagian pelakunya sebagai suatu alat untuk memperoleh kekuasaan (means of power). Upaya nabang yang pada prinsipnya merupakan komodifikasi hukum yang sangat menguntungkan semua pihak yang terlibat – baik secara ekonomi maupun sosial budaya – pada gilirannya semakin memperkuat pandangan carok sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Keberhasilan para pemenang carok dalam upaya nabang justru semakin memperkuat legitimasi sosial mereka sebagai “orang jago”. Selain itu, kebiasaan melakukan upaya nabang merupakan faktor yang ikut berperan mendorong terjadinya dan sekaligus melestarikan eksistensi carok sebagai institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura.

Tingkatan analisis yang dikonstruksikan Dr. A. Latief Wiyata menghalanginya untuk menganalisis isu-isu seperti peran agama dalam carok. Fokus Dr. A. Latief Wiyata pada aturan-aturan normatif seolah mengabaikan bahwa individu seharusnya berpegang pada perintah agama, mengingat betapa kuatnya pengaruh Islam di Madura. Dr. A. Latief Wiyata tidak menjawab pertanyaan yang muncul berkaitan dengan peran agama dan struktur di dalamnya untuk mengatasi carok yang jelas-jelas merusak tatanan kekerabatan dan/atau masyarakat Madura.