Minggu, 04 Desember 2016

PARIWISATA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI


Pariwisata menjadi fakta sosial penting di dunia. Para ahli antropologi lambat dalam meletakkan studi pariwisata dalam agenda antropologi. Bagi antropolog, pariwisata dapat dilihat sebagai bagian dari perubahan sosial-budaya. Studi pariwisata dalam antropologi sendiri dimulai ketika para peneliti yang peka terhadap perubahan menemukan bahwa pariwisata berimplikasi pada pembangunan dalam masyarakat yang ingin mereka pelajari. Harrell-Bond, seorang ahli antropologi, mengkritisi pembangunan pariwisata dengan memberi gambaran dari orang-orang Gambian. Menurut Harrell-Bond, kalkulasi keuntungan langsung dan tidak langsung dalam rencana para ahli adalah kepalsuan semata. Tidak ada perputaran alami antara sektor pariwisata dengan sektor pertanian. Pekerjaan pariwisata tidaklah banyak dan bahkan berada pada posisi terbawah. Harrel-Bond juga menitikberatkan pada persoalan sosial yang tidak dapat dielakkan, seperti permohonan, pencurian dan prostitusi, yang menurutnya akan terkait dengan pariwisata, dimana kemudian terdapat relasi antara kepentingan kapitalis dengan rencana pembangunan yang akan dipromosikan.  

Studi dalam pembangunan pariwisata menyumbangkan pemahaman umum dari subjek-subjek kepariwisataan, dimana terdapat kecondongan untuk menyerang dan mengkritisi tentang konsekuensi yang terjadi pada masyarakat lokal, sikap yang tepat untuk bidang politik dan moral dengan pemikiran yang lebih maju. Para ahli antropologi mengasumsikan bahwa elemen-elemen dalam sistem sosial-budaya saling berkaitan, sehingga apabila satu elemen berubah, maka cepat atau lambat akan mengubah elemen lainnya. Murdock (1949) mengusulkan sistem kekerabatan sebagai elemen kunci. Perkawinan antarkelompok akan memperbesar jaringan kekerabatan, sehingga akan terjadi mobilitas dan integrasi sosial. Perkawinan dengan kelompok kekerabatan lain akan mempertemukan dua kebudayaan yang berbeda, sehingga terjadilah percampuran kebudayaan yang melahirkan kebudayaan baru, yang disebut “akulturasi” apabila tetap mempertahankan unsur-unsur kebudayaan lama, dan disebut “asimilasi” apabila memiliki unsur-unsur yang baru tanpa mempertahankan unsur-unsur lama. Kebudayaan baru ini perlu melalui proses sosialisasi dan internalisasi agar diterima oleh masyarakatnya. Ketika proses tersebut berhasil dilalui, maka dengan lahirnya kondisi sosial-budaya yang baru, akan mempengaruhi perubahan pariwisata di lingkungan masyarakat itu.

Dann menyatakan bahwa berbagai pendekatan etnografi yang digunakan ahli-ahli antropologi, sejarah, dan ilmu pengetahuan sosial tidak memberi nilai tinggi dalam persoalan pariwisata. Hal ini menandakan bahwa terdapat kenaikan persoalan duniawi mengenai pariwisata sebagai penyebab perubahan masyarakat lokal, namun dari situ dapat kita lihat penyebaran metodologinya dan seberapa baik konsentrasi spesifikasi antropologi, seperti memberi pandangan terhadap “others” yang dipelajari, melihat relasi masing-masing elemen kultural, menemukan relevansi kontekstual tindakan yang diobservasi dan mencoba melakukan perbandingan. Bagaimanapun, diskusi pandangan teoritis dalam antropologi pariwisata tidak dapat dilakukan. Dann (1988) menyatakan bahwa dengan satu atau dua pengecualian, tidak ada teori yang tepat sebagai pertimbangan. Terlalu banyak deskripsi (kemungkinan dibarengi dengan pengadilan moral) dalam menggali subjek antropologi. Hal ini juga menjadi faktor kelambatan penerimaan studi pariwisata dalam disiplin ilmu. 

Dengan melihat fenomena perkembangan pariwisata saat ini, menurut saya perspektif Marxis sangat tepat digunakan sebagai pisau analisa. Marxis dengan analisa materialisnya mampu menjelaskan mengapa sektor pariwisata kini lebih diutamakan pengembangannya, bagaimana cara mempromosikannya, siapa-siapa saja pihak yang berkepentingan dalam pengembangannya, hingga berapa keuntungan yang dihasilkan dari pengembangan pariwisata tersebut. Dengan kata lain, perspektif Marxis tidak hanya menjelaskan sebatas berdasarkan materi, namun juga dapat membuka tabir penyebab pengembangan sektor kepariwisataan dimana di dalamnya terdapat pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk meraih keuntungan, baik itu dari pihak perencana maupun pihak pengelolanya. Pariwisata yang semakin maju dan dikenal publik akan menarik pengunjung yang semakin banyak, sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah dan memungkinkan untuk mengadakan pembangunan daerah. Meskipun demikian, perspektif Marxis ini hanya mampu menjelaskan dinamika pariwisata dilihat dari sudut pandang ekonomi dan tidak mampu menjelaskan bagaimana perubahan itu terjadi secara kultural. Perspektif Marxis menggunakan pandangan secara top-down, yakni dari para kapitalis, bukan secara bottom-up, sehingga kurang meng-cover kondisi sosial-budaya masyarakat di lingkungan pariwisata.