Senin, 25 Januari 2016

REVIEW MAKALAH HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA "PARADIGMA ILMU SOSIAL-BUDAYA: SEBUAH PANDANGAN"

Paradigma dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi (Ahimsa-Putra, 2009: 2). Secara singkat, paradigma dapat dikatakan sebagai sebuah kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran dibutuhkan untuk memahami fenomena yang nampak di sekitar kita. Untuk membentuk suatu kerangka pemikiran/paradigma diperlukan sejumlah unsur. Menurut Ahimsa-Putra, ada 9 (sembilan) unsur dalam sebuah paradigma, yaitu: (1) asumsi-asumsi/anggapan-anggapan dasar (basic assumptions); (2) nilai-nilai (values); (3) model-model (models); (4) masalah yang diteliti/yang ingin dijawab; (5) konsep-konsep pokok (main concepts, key words); (6) metode-metode penelitian (methods of research); (7) metode-metode analisis (methods of analysis); (8) hasil analisis/teori (results of analysis/theory); dan (9) representasi (etnografi).

Asumsi-asumsi/anggapan-anggapan dasar (basic assumptions). Asumsi atau anggapan dasar adalah pandangan-pandangan mengenai suatu hal (bisa benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan sebagainya) yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah diterima kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bisa lahir dari (a) perenungan-perenungan filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-penelitian empiris yang canggih, bisa pula dari (c) pengamatan yang seksama (Ahimsa-Putra, 2009: 4).

Nilai-nilai (values). Nilai dapat diartikan sebagai kriteria/patokan untuk menentukan baik atau buruk, bermanfaat atau tidak bermanfaat, benar atau salah sesuatu. Nilai-nilai selalu ada di setiap cabang ilmu, tetapi rumusan, penekanan, dan keeksplisitannya berbeda-beda (Ahimsa-Putra, 2009: 7). Nilai yang baik berkenaan dengan ilmu pengetahuan contohnya adalah, “ilmu pengetahuan dianggap baik apabila memberikan manfaat yang berarti."

Model-model (models). Model adalah perumpamaan, analogi, atau kiasan tentang gejala yang dipelajari. Sebagai perumpamaan dari suatu kenyataan, sebuah model bersifat menyederhanakan (Inkeles dalam Ahimsa-Putra, 2009: 8). Ilmu sosial budaya memiliki kompleksitas tinggi. Oleh karenanya, perlu adanya model-model guna menyederhanakan kompleksitas tersebut, sehingga gejala dapat terangkum untuk kemudian dipelajari dengan cara/metode tertentu yang tepat. Model merupakan sebuah abstraksi dengan kata kunci yang pada umumnya berupa kata “seperti”, misalnya: “kebudayaan seperti organisme/makhluk hidup” (teori evolusi kebudayaan Taylor). Model terbagi menjadi dua, yaitu model utama (primary model) dan model pembantu (secondary model). Model utama dapat berupa uraian/kata-kata maupun gambar yang harus sudah ada sebelum seorang peneliti melakukan penelitiannya. Sedangkan model pembantu dapat berupa berupa gambar, diagram, atau skema yang biasanya muncul dalam hasil analisis atau setelah penelitian.

Masalah yang diteliti/yang ingin dijawab.  Masalah bisa berupa pernyataan, bisa juga berupa pertanyaan. Masalah yang berupa pernyataan disebut juga dengan hipotesa. Dengan kata lain, masalah bertujuan untuk: (1) menjawab pertanyaan dan (2) menguji hipotesa. Dalam penelitian, masalah harus dirumuskan dengan baik karena di dalamnya akan ada sejumlah asumsi dan memuat konsep-konsep penting.

Konsep-konsep pokok (main concepts, key words). Konsep-konsep pokok adalah istilah-istilah yang digunakan dengan makna tertentu untuk memberikan batasan atau definisi dalam penelitian. Konsep penting untuk diperhatikan guna mempermudah analisis, memahami, menafsirkan, dan menjelaskan suatu gejala sosial-budaya yang dipelajari. Sebelum merumuskan sebuah konsep, peneliti perlu melakukan kajian pustaka agar dapat, memperoleh berbagai definisi yang telah dibuat oleh para ilmuwan lain yang berkaitan dengan konsep-konsep dalam penelitiannya. Jika dari kajian pustaka diketahui konsep yang telah dikemukakan ternyata tidak sesuai atau tidak cocok, maka peneliti dapat membuat konsep sendiri yang lebih sesuai.

Metode-metode penelitian (methods of research). Metode adalah cara, sedangkan penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi, metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data. Sedangkan metodologi penelitian adalah ilmu tentang cara-cara mengumpulkan data, termasuk di dalamnya jenis-jenis data. Ada berbagai cara untuk mengumpulkan data, dan cara mana yang akan digunakan tergantung pada jenis data yang diperlukan. Dalam penelitian pada umumnya, dikenal adanya “metode penelitian kuantitatif” dan “metode penelitian kualitatif”. Namun sebenarnya, tidak perlu ada pemisahan yang tegas antara “metode penelitian kuantitatif” dengan “metode penelitian kualitatif” karena sebenarnya yang bersifat kuantitatif dan kualitatif bukanlah metodenya, melainkan datanya. Perbedaan sifat data pada akhirnya menimbulkan perbedaan cara mengumpulkan data, sehingga akan lebih tepat jika menggunakan istilah “metode pengumpulan data kuantitatif” dan “metode pengumpulan data kualitatif”. Data berawal dari realita yang kemudian direpresentasikan sebagai fakta. Realita adalah segala sesuatu yang dianggap ada. Realita memiliki sifat yang relatif, karena apa yang dianggap ada oleh seseorang belum tentu dianggap ada oleh orang lain. “Ada” di sini tidak harus bersifat empiris, tetapi bisa juga bersifat logis, misalnya Tuhan. Tuhan tidak bisa dilihat secara inderawi, namun ada dalam pikiran manusia. Fakta adalah pernyataan tentang realita/representasi realita yang dibuat oleh manusia. Fakta bersifat subjektif karena dihasilkan lewat sudut pandang orang tertentu. Suatu realita yang sama bisa saja dikemukakan dengan cara yang berbeda. Di lain pihak, fakta bersifat objektif karena didasarkan pada suatu realita. Pernyataan yang tidak didasarkan pada suatu realita tidak dapat dikatakan sebagai fakta. Kemudian, fakta ini dapat menjadi data, tetapi tidak semua fakta adalah data. Data adalah fakta yang relevan atau terkait dengan masalah yang diteliti dan terkait pula dengan kerangka teori atau paradigma yang digunakan untuk menjawab masalah tersebut. Dengan kata lain, data adalah kumpulan fakta yang telah dievaluasi berdasarkan relevansinya. Data dalam suatu penelitian bisa berupa kuantitatif, kualitatif, ataupun keduanya (campuran). Data kuantitatif menunjukkan jumlah atau besaran dari suatu gejala, sehingga datanya berupa kumpulan simbol (angka atau huruf disertai pernyataan). Sedangkan data kualitatif menunjukkan isi, ciri, sifat, keadaan dari suatu gejala, atau hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain, sehingga datanya berupa pernyataan-pernyataan. Perbedaan jenis data menyebabkan pengumpulan datanya berbeda pula. Telah disebutkan di atas bahwa terdapat dua metode pengumpulan data, yaitu metode pengumpulan data kuantitatif dan metode pengumpulan data kualitatif. Dalam metode pengumpulan data kuantitatif terdapat: (1) metode kajian pustaka; (2) metode survey; dan (3) metode angket. Sedangkan dalam metode pengumpulan data kualitatif terdapat: (1) metode kajian pustaka; (2) metode pengamatan; (3) metode pengamatan berpartisipasi; (4) metode wawancara sambil lalu; (5) metode wawancara mendalam; dan (6) metode mendengarkan.

Metode-metode analisis (methods of analysis). Metode analisis data pada dasarnya adalah cara untuk memilah atau mengelompokkan data agar dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang lain. Sebagaimana halnya dengan metode penelitian, metode analisis kuantitatif dan metode analisis kualitatif harus diartikan sebagai metode menganalisis data kuantitatif dan metode menganalisis data kualitatif. Metode analisis data kualitatif pada dasarnya memerlukan kemampuan untuk menemukan persamaan dan perbedaan dalam data kualitatif, dan ini hanya dapat dilakukan apabila konsep-konsep teoritis yang digunakan didefinisikan dengan baik.dalam metode analisis yang paling perlu diperhatikan adalah tujuan akhir dari kerja analisis. Hasilnya kemudian adalah jawaban dari pertanyaan yang dikemukakan. Meskipun ada berbagai macam jenis metode analisis, namun secara umum tujuan akhir analisis adalah menetapkan hubungan antara suatu variabel/gejala/unsur tertentu dengan variabel/gejala/unsur yang lain. Oleh karena itu, harus diperhatikan pertanyaan yang dikemukakan karena dari pertanyaan itu bisa ditentukan penggunaan paradigmanya. Paradigma ini kemudian menentukan metode analisis data, dan metode analisis data akan menentukan corak hasil analisis atau teori. Masing-masing paradigma memiliki teori yang berbeda, sehingga setiap paradigma juga memiliki perbedaan dalam metode analisis data.

Hasil analisis/teori (results of analysis/theory). Analisis data yang dilakukan dengan baik dan tepat akan menghasilkan suatu “kesimpulan” atau hasil analisis. Hasil analisis ini harus menyatakan relasi antarvariabel, antarunsur, atau antargejala yang diteliti. Hasil analisis yang berupa pernyataan-pernyataan tentang hakekat gejala yang diteliti inilah yang kemudian disebut sebagai teori. Jika cakupan penelitian luas, dta yang dianalisis berasal dari banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang dikemukakan dapat memberikan penjelasan yang berlaku umum (universal), melampaui batas-batas ruang dan waktu, maka disebut sebagai teori besar (grand theory). Jika teori tersebut hanya ditujukan untuk menjelaskan gejala tertentu yang agak umum, namun tidak cukup universal, maka dapat disebut sebagai teori menengah (middle-range theory) (Merton dalam Ahimsa-Putra, 2009: 21). Jika teori tersebut hanya berlaku untuk gejala yang diteliti saja, yang terjadi hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang diteliti, maka disebut sebagai teori kecil (small theory). Jadi, setiap penelitian yang dilakukan dengan baik dan tepat pada dasarnya akan menghasilkan satu atau beberapa teori baru atau menguatkan teori tertentu yang sudah ada. Dalam ilmu sosial-budaya, seperti antropologi budaya, hasil analisis/teori disajikan dalam etnografi.

Representasi (etnografi). Representasi atau penyajian adalah karya ilmiah yang memaparkan kerangka pemikiran, analisis, dan hasil analisis dari penelitian yang telah dilakukan. Dalam antropologi, representasi bisaa disebut dengan etnografi. Etnografi merupakan tulisan yang dihasilkan dari penelitian atas suatu masalah dengan menggunakan paradigma tertentu. Etnografi merupakan hasil penelitian yang tidak dapat diabaikan karena di dalamnya terdapat kajian mengenai data kebudayaan dan teori dimana keduanya membentuk satu kesatuan yang utuh dan saling mendukung. Sebagai hasil akhir, representasi/etnografi mencerminkan keseluruhan elemen yang ada dalam sebuah paradigma.

Paradigma, menurut Ahimsa-Putra, tidak sama dengan prosedur penelitian. Paradigma adalah sebuah kerangka pemikiran yang mendasari sekaligus mewujud dari sebuah penelitian yang dilakukan dengan baik dan benar, sedangkan prosedur penelitian atau tahapan penelitian merupakan pola-pola perilaku atau kegiatan yang berbeda-beda, yang diwujudkan secara sistematis. Paradigma juga tidak sama dengan format proposal. Dalam paradigma tidak terdapat “Tinjauan Pustaka”, “Tujuan Penelitian”, dan “Manfaat Penelitian”, sedangkan dalam proposal penelitian tiga unsur tersebut biasanya harus ada.

Berdasarkan penjelasan dalam makalah “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya”, ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan. Saya setuju dengan konsep paradigma Ahimsa-Putra yang menyatakan bahwa paradigma adalah seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi. 

Seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain”, secara eksplisit menyatakan bahwa dalam paradigma terdapat variabel-variabel yang saling berkaitan dimana variabel-variabel tersebut memiliki konsep sebagaimana dimaksudkan oleh peneliti. Konsep atau istilah yang dimaksud oleh peneliti ini pada akhirnya akan membentuk suatu kerangka pemikiran.

………..yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi”, menunjukkan bahwa paradigma pada dasarnya berfungsi untuk memahami fenomena yang ada di sekitar kita. Paradigma berkaitan dengan “bagaimana kita memandang dunia” (view of the world) dan kemudian menjadi “untuk memandang dunia” (view for the world). Dengan kata lain, dalam hal penelitian, cara kita memandang suatu fenomena atau gejala di sekitar kita menentukan tujuan akhir/hasil akhir penelitian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa paradigma menentukan hasil analisis atau teori dari suatu penelitian.

Minggu, 24 Januari 2016

MOVEMENTS AND MADNESS: The Entanglements of Culture and Neuropsychiatric Disorders in Bali

Pernah mendengar penyakit Tourette’s Syndrome? Nama penyakit ini memang terdengar asing di telinga kita. Tourette's Syndrome adalah gangguan neuropsikiatri yang diwariskan pada masa anak-anak yang gejalanya antara lain muncul tic (gerakan spontan) pada anggota tubuh maupun suara yang tidak terkendali dan selalu berulang. Untuk lebih detailnya tentang penyakit ini, silakan cari sendiri referensinya ya. Hihii...

Di sini saya akan mengulik sebuah film dokumenter yang berjudul Movements & Madness, yang digarap oleh Robert Lemelson (Anthropologist, Executive Producer) dan Dag Yngvesson (Director, Cinematographer, Editor). Film ini menceritakan tentang seorang perempuan Bali yang menderita penyakit Tourette’s Syndrome sejak kelas 4 SD. Gusti Ayu namanya. Film Movements & Madness ini dapat dikatakan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pertama adalah “permasalahan”; bagian kedua adalah “upaya penyembuhan”; dan selanjutnya bagian ketiga adalah “solusi” (menggunakan sharing dengan kalangan umum). Untuk mendukung kesimpulan mengenai hubungan perubahan, struktur, dan penyakit jiwa ini, Lemelson menggunakan data visual, observasi, wawancara mendalam, dan statement dari orang lain. Lemelson juga menghadirkan emik-emik, sedikit wawasan tentang Hinduisme, Balinese magic, serta memberi solusi kepada Gusti Ayu melalui tanya-jawab dalam forum umum.

Berbagai cara sudah dilakukan untuk menyembuhkan Gusti Ayu, baik itu tindakan medis maupun non-medis (tradisional/melalui dukun). Untuk melihat pemahaman mengenai suatu penyakit yang dalam dunia medis dikenal sebagai Tourette’s Syndrome, Lemelson menggunakan berbagai unit analisis, yakni: “konsep”, “nilai/kultur”, dan “kepercayaan”. Ada tiga psikiater yang dihadirkan di sini, yaitu: Dr. I Gusti Putu Panteri, Dr. Mahar Agusno, dan Dr. I Made Nyandra, serta satu traditional healer yang bernama I Made Darta. Dr. Mahar menjelaskan bahwa ada kecenderungan dalam masyarakat untuk mengabaikan seorang anggota keluarga yang dianggap mempermalukan harkat dan martabat keluarga, baik itu karena tingkah lakunya maupun sakit jiwa. Dari segi ekonomi, banyak anggota keluarga berpikiran lebih baik yang memiliki “kelainan” ini dibiarkan, namun yang lain tidak terlantar. Ada juga dugaan bahwa Gusti Ayu tidak punya keinginan untuk minum obat. Kemungkinan terdapat suatu kecemasan sebelum dia minum obat, akhirnya dia muntahkan karena ada reaksi penolakan, sehingga Dr. Nyandra memikirkan dengan menambahkan obat anti-cemas. Di Bali, Tourette’s Syndrome dipercaya dikarenakan oleh adanya magic. Menurut I Made Darta (traditional healer), karena Gusti Ayu manis dan pendiam, maka ada seseorang yang iri dan membuatnya sakit. Magic projectile terdapat di leher Gusti Ayu, yang kemudian menjalar ke paru-paru dan otaknya. Penyembuhan melalui dukun ini dimulai dengan melalukan ritual do’a, pemijatan menggunakan air suci, dan mengusap mata Gusti Ayu untuk mengeluarkan penyakit Gusti Ayu melalui air mata yang berwarna putih. Kotoran yang keluar dari mulut berarti penyakit paru-paru, sedangkan yang keluar dari hidung berarti penyakit otak.

Kontras dalam film Movements & Madness dapat dilihat antara lain dari: (1) Penyembuhan menggunakan ahli medis (psikiater) dan tradisional (dukun); (2) Penyembuhan menggunakan obat-obatan dan ritual; (3) Mempertemukan Gusti Ayu dengan sesama penderita Tourette’s Syndrome, yaitu Dayu. Meskipun Dayu dan Gusti Ayu yang memiliki kesamaan penyakit, namun kasus mereka berbeda dengan keluarga dan background kelas yang berbeda pula; (4) Kehidupan teman-teman sebaya yang normal dan sudah berkeluarga dengan kehidupan Gusti Ayu yang belum menemukan pasangan hidupnya; (5) Gusti Ayu memandang apa yang dideritanya selama ini sebagai “penyakit”, sehingga kadang kala timbul keinginan untuk mengakhiri hidupnya karena merasa menjadi seseorang yang tidak berguna. Namun ada kalanya dia memandangnya sebagai “kodrat/takdir” yang sudah digariskan Tuhan kepada-Nya; (6) Sikap keluarga yang mendukung dan berharap atas kesembuhannya, yang kontras dengan sikap keluarga (terutama ayahnya) yang marah dan menyuruhnya untuk mati karena bosan melihat Gusti Ayu yang tak kunjung sembuh.

Scene yang menarik dari film ini adalah pada saat interview via public screening dimana Robert Lemelson memutar film Movements & Madness, yang merupakan film dokumenter upaya penyembuhan Gusti Ayu selama 8 (delapan) tahun dan pada akhirnya tidak membuahkan hasil. Dengan mengadakan acara ini, Lemelson berusaha memperkenalkan Tourette’s Syndrome yang diderita Gusti Ayu kepada publik karena banyak orang yang tidak tahu-menahu tentang penyakit ini, sehingga mengira penyakit tersebut adalah penyakit menular. Lemelson juga menekankan bahwa penderita penyakit ini tidak sepantasnya dijauhi/dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Interview via public screening ini menurut saya adalah upaya etnografer untuk mengobati Gusti Ayu secara psikis/mental setelah berbagai pengobatan medis dan non-medis yang dilakukan tidak berhasil. Gusti Ayu diharapkan sembuh secara sosial dan mental meskipun tidak sembuh secara fisik, sehingga dapat melanjutkan hidup layaknya orang-orang normal lainnya. Upaya Lemelson ini merupakan solusi/alternatif yang baik untuk mengatasi kondisi mental Gusti Ayu yang labil karena stigma masyarakat awam yang mengakibatkannya depresi. Lemelson ingin masyarakat menerima keadaan Gusti Ayu dengan tangan terbuka dan tidak memandangnya dengan sebelah mata. Melihat film dokumenter tersebut, Gusti Ayu sempat meneteskan air mata. Acara tersebut dihadiri oleh keluarga Gusti Ayu, Dayu (sesama penderita Tourette’s Syndrome), dan beberapa orang luar. Gusti Ayu mengatakan bahwa dia merasa sedih setelah melihat film Movements & Madness tersebut. Gusti Ayu sedih melihat keadaannya sendiri dan merasa menjadi orang yang tidak berguna, sehingga terkadang dia ingin mengakhiri hidupnya agar tidak menjadi beban keluarga. Namun para hadirin mendukung untuk menguatkan hati Gusti Ayu dan meyakinkan bahwa dia tidak sendiri, dia harus tetap kuat, menemukan pasangannya, dan melanjutkan hidup dengan normal seperti teman-teman sebayanya.
 
Dalam pandangan saya, Lemelson menggunakan Teori Penyakit dalam film Movements & Madness ini. Teori penyakit meliputi kepercayaan-kepercayaan mengenai ciri-ciri sehat, sebab-sebab sakit, serta pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang digunakan oleh para dokter. Sistem-sistem teori penyakit berkenaan dengan kausalitas, statement masyarakat mengenai penyakit yang menyerang tubuh, mengenai karma, penjelasan tentang pelanggaran tabu, atau mengenai kegagalan pertahanan immunologi organ manusia terhadap agen-agen patogen seperti kuman-kuman dan virus. Dengan demikian, suatu sistem teori penyakit  merupakan suatu sistem ide konseptual, suatu konstruk intelektual, bagian dari orientasi kognitif anggota-anggota suatu kelompok. Lemelson menekankan pada “disease” dan “illness”. Disease adalah problem kesehatan yang didefinisikan oleh para ahli kesehatan, sedangkan illness adalah problem kesehatan yang terkait dengan pengalaman pasien mengenai kesehatan dan tidak terdapat dalam terminologi kedokteran. Sakit yang diderita Gusti Ayu termasuk disease yang dalam dunia kedokteran disebut sebagai “Tourette’s Syndrome”. Namun para saman dan sebagian masyarakat Bali menyebut ini sebagai “Penyakit Bali” yang disebabkan oleh gangguan roh halus (magic).

Sebenarnya, riset ini digunakan untuk memberi pengetahuan kepada psikiater Amerika bahwa kondisi sosio-kultural sangat penting diperhatikan dalam menyembuhkan pasien (psikiater juga harus memperhatikan faktor-faktor kultural). Di sini, Lemelson berupaya untuk menekankan bahwa struktur budaya di masing-masing tempat tidaklah sama. Menarik, bukan?

E100 SS SEBAGAI MEDIA ALTERNATIF: SATU DALAM SERIBU PERBEDAAN



Gunakan wall E100 dengan bijak, citizen jurnalism yang bertanggung jawab. GUNAKAN NAMA ANDA bukan nama samaran. Tidak ada fasilitas reply di E100.

Begitulah keterangan singkat fanspage E100 di  jejaring sosial (Facebook) yang dikelola oleh Radio Suara Surabaya FM (SSFM). Dilihat dari keterangan tersebut, nampaknya SS telah membuka mata bahwa Facebook memiliki kekuatan yang begitu besar, sehingga perlu dimanfaatkan untuk membuka saluran komunikasi baru. Untuk berbagi informasi tersebut, partisipan SS bisa menghubungi telepon 5600000, emergency line 5600100, dan sms line 08553010055.

Sekilas Tentang Suara Surabaya Media
Suara Surabaya Media adalah media yang didirikan oleh Soetojo Soekomihardjo. SSFM 100,55 MHz mengudara bersamaan dengan momentum gerhana matahari total pada tanggal 11 Juni 1983 dari lokasi di kawasan berbukit, tepatnya di Jalan Wonokitri Besar 40, Surabaya. SS menjadi radio pertama di Indonesia yang sejak awal kelahirannya secara sadar menerapkan format 'Radio News atau Informasi' dan bermotto FM NEWS dan MUSIK HIT. Tahun 2004, SS bergeser ke frekuensi ke FM 100. Pada tahun 1985, SS mengembangkan Tim Reporter, tahun 1988 mengembangkan Tim Redaksi NEWS DEPT, dan ketika tahun 1995 dikembangkan Konsep Interaktif dan dibentuk ‘Tim Redaksi Interaktif atau GATE KEEPER dan motto diubah menjadi NEWS – INTERAKTIF – SOLUTIF. Memasuki tahun 2000, SS mengembangkan diri dalam memasuki era cyberspace dengan membuka situs website www.suarasurabaya.net. Akhir tahun 2002, SS meluncurkan majalah bulanan mossaik, majalah Informasi Jawa Timur yang kini menjadi M-Comm dengan Surabaya City Guide sebagai salah satu produknya. Tahun 2003, SS mendirikan GIGA FM 99.6 yang kemudian berubah menjadi SHE Radio pada tahun 2011. Tahun 2007, Maja FM 100.7 juga menjadi bagian dari Suara Surabaya Media. Pada tahun 2008, SS mengembangkan konvergensi dengan video streaming, radio streaming, dan radio on demand. Tahun 2009 membuat fanspage E100 di Facebook, tahun 2010 tampil di @SSFM100 dan mobile broadcast di Blackberry, dan tahun 2012 mengembangkan mobile application di Android dan iOS. Sejak 11 Juni 1983, SS telah memiliki program, antara lain: Kelana Kota (program utama), Renungan Fajar, Memorabilia, Berita Suara Surabaya, Jazz Traffic, Inspirasi Solusi, Jaring Radio, Musik Islam SS (ditayangkan setelah Renungan Fajar & Adzan Maghrib untuk Surabaya), Dialog Haji, Muda tapi Luar Biasa, Galeri Rama Pagi (di Rama FM Bondowoso), Saya Gemar Bahasa Indonesia, Berita Suara Mojokerto (di Maja FM), Healthy & Lifestyle, SS News, Lintas Informasi Suara Surabaya, dan Lintas Olahraga Suara Surabaya.


Visi Suara Surabaya adalah sumber pemberdayaan dan kegiatan demokratisasi masyarakat, melalui usaha kegiatan media massa yang mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi. Sedangkan misinya adalah: (1) Suara Surabaya, perusahaan media massa yang dituntut berkembang dengan mengandalkan kemajuan teknologi komunikasi dan telekomunikasi; (2) Suara Surabaya, sentra informasi tentang Surabaya dan Jawa Timur; (3) Suara Surabaya menyelenggarakan berbagai kegiatan pemberdayaan proses demokratisasi masyarakat; (4) Suara Surabaya, sumber kehidupan dan kesejahteraan seluruh unsur karyawan yang bekerja untuk kemajuan bersama; dan (5) Suara Surabaya adalah sumber pemberdayaan dan kegiatan demokratisasi masyarakat, melalui usaha kegiatan media massa yang mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi.

E100 SS Sebagai Media Alternatif: Satu Dalam Seribu Perbedaan
Seperti yang telah disebutkan di atas, E100 adalah salah satu bagian dari Suara Surabaya Media yang dibentuk pada tahun 2009. E100 merupakan salah satu contoh media alternatif, setidaknya ini menurut saya pribadi. Namun sebelum saya sok-sokan berteori mengenai E100 sebagai media alternatif, mungkin ada baiknya mendefinisikan terlebih dahulu apa itu media alternatif. Media alternatif adalah media yang menjadi perlawanan dari media mainstream (media arus utama) dan menyediakan informasi alternatif dari media mainstream. Media alternatif berbeda dari media mainstream, baik itu secara konten, estetika, mode produksi, mode distribusi, dan hubungan penonton. Media alternatif seringkali bertujuan untuk menantang kekuatan-kekuatan yang ada, untuk mewakili kelompok marjinal, dan untuk mendorong hubungan horizontal antarmasyarakat yang menarik. Media alternatif yang saat ini banyak muncul akibat perlawanan terhadap media mainstream adalah media komunitas. Adapun karakter media komunitas antara lain: (1) Piranti politik yang mengejawantahkan hak-hak sipil dan politik masyarakatnegara, berdasar atas suara penuh orang-orang tertindas yang menciptakan konsensus dan memperluas demokrasi; (2) Piranti pemberdayaan kaum papa informasi yang berada pada kalangan akar rumput pedesaan maupun perkotaan (alat untuk membangun kehidupan masyarakat); dan (3) Piranti budaya yang menggabungkan format baru, suara lain, jenis musik, dan mencari perbedaan untuk menyebarkan budaya dengan memberikan arti ekspresi yang lebih luas dalam penonton dan mendengarkan mereka.

Media mainstream bagaimana pun akan mengurangi kualitas demokrasi karena masyarakat hanya mendapatkan informasi yang cenderung seragam. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tidak semua kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi oleh media-media dengan tujuan komersial. Oleh sebab itu, masyarakat butuh media alternatif untuk memenuhi ‘haus keberagaman’ informasi. Media alternatif diibaratkan seperti seorang pemberontak yang ingin mengembalikan hak-haknya akibat paksaan sebuah kekuasaan yang ada, seperti para pejuang yang ingin melawan penjajah. Banyaknya media komunitas sebenarnya bisa membuat media mainstream ketar-ketir, karena jika mampu dikelola dengan baik, media komunitas memiliki alur yang jelas dan menjadi pilihan masyarakat yang mulai jenuh akan keseragaman dalam media, baik hiburan maupun pemberitaan yang berdasarkan atas rating dan pengiklan semata. Media komunitas merupakan salah satu bentuk dari upaya mematahkan penguasaan arus informasi di tangan segelintir orang, serta untuk memberikan pilihan sumber informasi yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia. 

Lewis (1993) menyebutkan bahwa media alternatif memiliki skala kecil dan berorientasi pada komunitas khusus, kemungkinan kelompok yang dirugikan, yang me-respect perbedaan; bebas dari campur tangan pemerintah dan pasar; memiliki struktur horizontal (atau non-hierarki), membuka akses audiens dan partisipator dalam kerangka demokrasi dan keberagaman; membawa diskursus dan representasi yang tidak dominan, menekankan pada pentingnya representasi diri. E100 merupakan media alternatif yang menghargai perbedaan dan membuka peluang bagi terbentuknya citizen journalism yang bertanggung jawab dan berkarakter. E100 mengatasi dahaga audiens yang membutuhkan beragam informasi tanpa ada kepentingan politis di dalamnya. Ini terlihat dari berita-berita yang ditampilkan di wall E100, mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) contohnya, E100 memposisikan diri sebagai pihak yang netral, tidak memihak salah satu kubu Calon Presiden (Capres). E100 memberitakan Pemilu dalam porsi seimbang, tidak “menjelek-jelekkan” maupun “membaik-baikkan” salah satu kubu, dan tidak memberitakan Pemilu Capres dengan kacamata subjektif. 

E100 adalah media penyebaran dan pengumpul berita. Pengelola E100 akan menghapus status yang tidak ada hubungannya dengan siaran SS dan yang mengandung unsur SARA. Inovasi kecil semacam ini sangat penting untuk mengikuti zaman yang terus berubah secara dinamis. E100 dan Twitter @E100SS adalah jejaring sosial resmi Radio Suara Surabaya, sehingga materi yang ditampilkan ada hubungannya dengan siaran radio. Karena kecepatan dan keterbukaan informasi dan feed back di Facebook, redaksi E100 memohon kepada para partisipan (saya bingung mencari padanan kata yang pas dan tepat untuk menyebut orang-orang yang berbagi informasi berita, sehingga memutuskan untuk menggunakan kata “partisipan” saja) untuk tetap menjaga kesantunan dan ketertiban dalam berkomentar, tidak mengandung unsur SARA, tidak provokatif, tidak ada pembunuhan karakter, tidak berkata kasar/jorok, dan mengedepankan solusi. E100 mengharapkan para pengikut dan informan tetap menjaga kebersamaan meski ada perbedaan pendapat.

Pada dimensi content, E100 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jenis media lain seperti koran. E100 bukan hanya sebagai media informasi, namun juga sebagai agen perubahan yang membawa banyak pencerahan lewat “cuap-cuap masyarakat”. Karena E100 merupakan bagian dari SSFM, maka tidak mengherankan bila fanspage ini dikenal kental menyuarakan aspirasi masyarakat, terutama masyarakat Surabaya. E100 seperti “tempat curhat” di mana segenap masyarakat dapat menyuarakan informasi bahkan keluhan, seperti: jalan yang macet, rusak dan berlubang, air PDAM yang mati, listrik yang padam, hingga anak yang hilang dan bahkan tidak jarang yang mengeluhkan prosedur pelayanan publik. E100 juga selalu menyuarakan betapa indahnya perbedaan. E100 menjadi media yang bersifat informed public, bukan conditioned public karena memang tujuannya untuk menginformasikan berita terkini, bukan untuk membentuk opini publik demi kepentingan individu, kelompok, maupun golongan. E100 bebas dari campur tangan politik/penguasa. Bahkan sebaliknya, E100 dapat berfungsi sebagai kontrol masyarakat terhadap penguasa karena E100 membuka akses audiens yang setara sebagai pengirim, penerima, dan partisipan dalam pertukaran dan jaringan informasi.

Pada dimensi integrasi dan identitas, E100 mendorong terjadinya penyatuan dalam masyarakat yang membuka hubungan dan jaringan yang saling berintegrasi dan mungkin malah lebih mengikat. E100 menjembatani ruang privat dan publik, yang seolah mampu merekatkan kembali individu-individu setelah ‘terpisahkan’ akibat efek modernisasi. E100 lebih berpotensi mendorong perubahan karena audiens lebih terlibat dan fleksibel, sehingga kaya akan informasi. Seperti yang telah disebutkan di awal paragraf, bahwa dalam menginformasikan berita, audiens dapat menghubungi redaksi E100 melalui telepon, emergency line, dan sms line.

Pada dimensi audiens, seperti tertulis dalam Understanding Alternative Media yang menyebutkan bahwa analisis dampak dari informasi dan komunikasi teknologi dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa komunitas terbentuk tidak hanya berdasarkan ruang fisik geografis, namun juga dalam dunia maya (cyberspace). Komunitas ini terhubung secara ‘virtual’ atau ‘online’. Howard Rheingold mendefinisikan komunitas virtual dengan menyertakan beberapa komponen: “Mengorganisir atas dasar persamaan, membagikan minat, membawa orang-orang yang tidak perlu bertemu satu sama lain sebelum pertemuan online… Many to many media… Text-based, mengembangkan ke dalam teks sekaligus komunikasi berdasarkan grafik… Relatif tidak berhubungan di kehidupan sosial dalam komunitas geografis

Begitu pula E100, yang menghubungkan audiens dengan memanfaatkan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Asumsinya, Facebook adalah satu dari banyak jejaring sosial yang kini paling populer dan diminati di seluruh dunia, yang menggeser popularitas MySpace dan Friendster. Dengan membuka jaringan SSFM melalui Facebook, maka boleh dikatakan bahwa di satu sisi audiens E100 ini terbatas, yakni untuk mereka-mereka yang bisa “Facebook-an”, artinya mereka yang “gaptek” dan tidak mengenal Facebook, tidak bisa bergabung menjadi audiens fanspage ini. Namun di sisi lain, karena fasilitas online, ini akan memudahkan siapa saja menjadi audiens tanpa dibatasi oleh frekuensi MHz yang salurannya tidak bisa mencakup semua wilayah di dunia. Audiens akan terhubung secara virtual tanpa ada batasan ruang dan waktu, dan ini menjadi nilai plus bagi E100. Audiens pun bisa mengkomentari setiap status yang diupdate, sehingga setiap orang bisa mengemukakan “uneg-uneg-nya” yang pada akhirnya akan membuka ruang diskusi publik. Menarik bukan?

Apa Kabar Kebenaran?
Bicara soal kebenaran, saya jadi teringat kata-kata seorang dosen bahwa tidak ada satu pun kebenaran di dunia ini. Benarkah demikian? Kebenaran dianggap sebagai produksi dalam permainan bahasa di mana kebenaran itu didasarkan aspek lokalitas. Pada setiap era (age), lokalitas dan konteks masyarakat memiliki libido sosial yang tidak seragam. Pencapaian pemahaman tinggi (verstehen) dapat terjadi jika kita dengan lunak mencerdasi setiap fenomena sosial melalui sebuah format ingin tahu, meneliti, dan berbicara sebagai subyek pelaku, bukan malah berprasangka, menuduh, membangun stigma dan stereotipe. Begitu pula yang secara eksplisit ingin disampaikan oleh E100. Fakta bahwa E100 menjadi forum berbagi informasi dan keluhan, saya rasa tidak perlu diragukan lagi. Perbedaan dalam hal apapun bukanlah sesuatu yang menjadi alasan untuk terpecah belah, dan E100 menjadi media yang tepat untuk mengintegrasikan perbedaan yang ada. Status yang diupdate di wall E100 bukanlah status-status “sampah” yang membangun stigma dan stereotipe pihak tertentu, melainkan berita yang didasarkan atas fakta dan realita yang ada. Bahkan, audiens ikut terlibat secara aktif dan interaktif, namun tetap bertanggung jawab di E100. Jadi bagi saya, masih ada kebenaran di dunia ini walaupun dalam scope yang kecil.

Daftar Pustaka
Bailey, Olga Guedes, Bart Cammaerts, and Nico Carpentier. 2008. Understanding Alternative Media. New York: Two Penn Plaza.

Aan. 2013. Media Mainstream Vs Media Alternatif: Ladang Perebutan Makna. (Online) (http://steackaan.wordpress.com/2013/04/01/media-mainstream-vs-media-alternatif-ladang-perebutan-makna/, diakses 28 Mei 2014).

Lewis, P. (ed.). 1993. Alternative Media: Linking Global and Local, Reports and Papers on Mass Communication No.107. Paris: UNESCO.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern, Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

Tanudjaja, Bing Bedjo. 2007. Pengaruh Media Komunikasi Massa Terhadap Popular Culture Dalam Kajian Budaya/Cultural Studies. Jurnal NIRMANA, VOL.9, NO. 2, JULI 2007: 96-106. Surabaya: Universitas Kristen Petra Surabaya.