Kamis, 24 Desember 2015

KARET DAN KELAPA SAWIT SEBAGAI PRIMADONA EKSPOR DALAM KOMODITAS PERKEBUNAN DI ASIA TENGGARA (TERUTAMA DI INDONESIA)

Sebelum membahas mengenai karet dan kelapa sawit sebagai primadona ekspor dalam komoditas perkebunan di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, mungkin lebih baik untuk mengetahui apa itu definisi komoditas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komoditas berarti barang dagangan utama; benda niaga: hasil bumi dan kerajinan setempat dapat dimanfaatkan sebagai ekspor; bahan mentah yang dapat digolongkan menurut mutunya sesuai dengan standar perdagangan internasional, seperti gandum, karet, kopi. Dalam tulisan ini, saya ingin membahas secara singkat mengenai karet dan kelapa sawit sebagai primadona ekspor dalam komoditas perkebunan di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Mengapa karet dan kelapa sawit? Hal ini dikarenakan keduanya memiliki peran penting dalam pasar ekspor komoditas perkebunan di dunia dan menjadi sumber devisa negara yang utama dalam sektor perkebunan.

KARET
Karet adalah tanaman perkebunan tahunan berupa pohon batang lurus. Pohon karet pertama kali hanya tumbuh di Brasil, Amerika Selatan. Pohon ini berhasil dikembangkan di Asia Tenggara oleh Henry Wickham, sehingga sampai sekarang Asia merupakan sumber karet alami. Lebih dari setengah karet yang digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami masih diproduksi setiap tahun, dan masih merupakan bahan penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer. 

Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Tanaman karet tertua ditemukan di Subang yang ditanam pada tahun 1862. Pada tahun l864 tanaman karet ditanam di Kebun Raya Bogor. Perkebunan karet dibuka oleh Hofland pada tahun 1864 di daerah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Pertama kali jenis yang ditanam adalah karet rambung atau Ficus elastica. Tanaman karet (Hevea brasiliensis) ditanam di daerah Sumatera Timur pada tahun 1902. Perusahaan Harrison and Crossfield Company adalah perusahaan asing pertama yang mulai menanam karet di Sumatera Selatan, disusul Perusahaan Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909, dan diikuti perusahaan Amerika yang bernama Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM) pada tahun 1910-1991. 

Hasil karet dapat diolah menjadi beberapa produk antara lain: RSS I, RSS II, RSS III, Crumb Rubber, Lump, dan Lateks. Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat dijual atau diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya produk-produk tersebut akan digunakan sebagai bahan baku pabrik Crumb Rubber (Karet Remah), yang menghasilkan berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan berbagai produk hilir lainnya.

Ledakan tingginya harga karet terutama terjadi pada tahun 1922 dan 1926. Pada tanggal 7 Mei 1934 diadakan persetujuan antara Pemerintah Prancis, Britania Raya, Irlandia Utara, British Indie, Belanda dan Siam mengadakan pembatasan dalam memproduksi karet dan ekspornya. Persetujuan ini diumumkan dalam Stbl. 1934 No. 51 yang selanjutnya diadakan perubahan dengan Stbl. 1936 No. 472 dan 1937 No. 432. Kemudian pada tahun 1937-1942 diberlakukanlah kupon karet yang berfungsi sebagai surat izin ekspor karet diberikan kepada petani pemilik karet dan bukan kepada eksportir. Pada tahun 1944, Pemerintah Jepang yang berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan perluasan kebun karet rakyat. Produksi karet rakyat yang akan diekspor dikenai pajak yang tinggi yaitu sebesar 50% dari nilai keseluruhan. Sejak tahun 1945, perkebunan-perkebunan karet yang dulu diambil secara paksa oleh pihak Jepang dapat dilanjutkan kembali pengelolaannya oleh pemerintah Indonesia.

Menurut data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), untuk tahun 2011 produksi karet alam dunia diasumsikan hanya berkisar 10,970 juta ton sementara untuk konsumsi diperkirakan mencapai 11,151 juta ton. Thailand, Indonesia dan Malaysia dikenal dengan International Tripartite Rubber Council (ITRC) karena ketiga negara tersebut menjadi penghasil karet alam terbesar. Thailand menjadi negara penghasil karet alam terbesar dengan produksi karet pada tahun 2012 sebesar 3,5 juta ton, sementara Indonesia di peringkat kedua dengan produksi karet sebesar 3 juta ton, kemudian disusul oleh Malaysia dengan produksi 946 ribu ton. Jika melihat kondisi harga karet di pasar rubber Tokyo, Jepang sudah berada di level USD 3,3/kg. Untuk terus menjaga stabilitas harga karet, ITRC akan meminta Vietnam untuk ikut bergabung.

KELAPA SAWIT
Kelapa sawit (Elaeis) termasuk golongan tumbuhan palma. Sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi. Kelapa sawit di Indonesia diintroduksi pertama kali oleh Kebun Raya pada tahun 1884 dari Mauritius (Afrika). Saat itu Johannes Elyas Teysmann yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya. Hasil introduksi ini berkembang dan merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk ini telah mati pada 15 Oktober 1989, tapi anakannya bisa dilihat di Kebun Raya Bogor. Kelapa sawit di Indonesia baru diusahakan sebagai tanaman komersial pada tahun 1912 dan ekspor minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1919. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt seorang Jerman pada tahun 1911.    

Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan usia produktif hingga 25 – 30 tahun dan tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak yang dapat digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.

Produk utama kelapa sawit adalah minyak sawit, CPO dan CPKO, yang menjadi bahan baku industri hilir pangan maupun nonpangan. Minyak sawit membukukan sepertiga dari total 130 juta ton per tahun lemak nabati yang diperdagangkan secara global per tahun. Produksi global total minyak sawit diperkirakan lebih dari 45 juta ton, dengan Indonesia dan Malaysia sebagai produsen dan ekspotir utama dunia. Pasar utama bagi pertumbuhan industri minyak sawit adalah Eropa, India, Pakistan dan Cina untuk kebutuhan pangan, dengan permintaan di Amerika Serikat yang sekarang terus meningkat. Investasi pada perluasan kelapa sawit juga didorong oleh kebijakan substitusi impor di negara-negara yang bergantung pada pasar global untuk impor lemak nabati, seperti Filipina, India, dan Vietnam, dan negara-negara yang berharap dapat mengurangi ketergantungan mereka pada impor bahan bakar fosil dengan biodiesel. 

Perkebunan kelapa sawit diperkirakan ada sekitar 9,4 juta hektar di Indonesia. Di Kamboja sekitar 118.000 hektar. Di Thailand, perkebunan mencakup wilayah seluas 644.000 hektar, petani yang memiliki lahan kurang dari 50 hektar mengelola sekitar 70% dari total luas wilayah ditanami kelapa sawit. Di Filipina, perkebunan kelapa sawit mencakup 46.608 hektar, mewakili peningkatan sebesar 160% daerah perkebunan hanya dalam rentang waktu empat tahun. Sedangkan di Vietnam, perkebunan diatur dalam bentuk bidang-bidang tanah kecil yang total luasnya mencapai 650 hektar.

0 komentar:

Posting Komentar