Selasa, 22 Desember 2015

HUKUM AGRARIA (AGRARISCHRECHT)

Pengantar
Hukum Agraria Nasional kita diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). UUPA ini merupakan pembaharuan dari Hukum Tanah Administratif pemerintah Hindia-Belanda yang dituangkan dalam suatu undang-undang politik pertanahan kolonial, yaitu Agrarische Wet (AW) yang dibuat di negeri Belanda pada tahun 1870. AW ini diundangkan dalam S 1870-55 sebagai tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regerings Reglement (RR) Hindia-Belanda tahun 1854. Semula, RR tersebut terdiri atas 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4-8) oleh AW, maka pasal RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS) pada tahun 1925.
Agraria sendiri mempunyai beberapa pengertian. Dalam artian luas (tercantum pada Pasal 1 ayat (2) UUPA ), konsep agraria diartikan: seluruh bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Sedangkan dalam artian sempit, agraria merupakan permukaan bumi yang disebut tanah.  Meskipun sebenarnya agraria tidak hanya meliputi tanah saja, melainkan juga air dan ruang angkasa, namun yang dipelajari dalam mata kuliah Hukum Agraria ini adalah agraria dalam arti sempit.
UUPA sebagai dasar Hukum Agraria Nasional bangsa Indonesia sendiri berpedoman pada Hukum Adat murni Indonesia. Hal ini disebutkan dalam Pasal 5 UUPA, bahwa UUPA mengedepankan kepentingan nasional, persatuan, dan sosialisme Indonesia. Tak hanya itu, dalam UUPA pun nilai-nilai luhur dari Pancasila dimasukkan ke dalam pasal-pasalnya:
  1.  Sila pertama : Pasal 1 ayat (2) dan (3)
  2. Sila kedua : sifat kolektif Pasal 1 ayat (2); sifat privat Pasal 2 ayat (2b), Pasal 4, Pasal 16, dan Pasal 20
  3.  Sila ketiga : Pasal 9 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 42
  4.  Sila keempat dan kelima : Pasal 9 ayat (2), Pasal 7, dan Pasal 17

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan UUPA berpedoman pada Pancasila. Pertama, UUPA tidak menganut sistem hak privat saja seperti negara-negara Barat (individualis kapitalis). Kedua, UUPA juga tidak menganut sistem hak publik saja seperti negara-negara komunis. Ketiga, UUPA mendasarkan diri pada sifat hakekat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

Pembaharuan Hukum Tanah
Mengenai perlunya diadakan pembaharuan Hukum Tanah dapat diketahui dari yang dinyatakan dalam Konsiderans “Mengingat” dan Penjelasan Umum UUPA pada tahun 1960, sebelum dimulai penyelenggaraan Pembangunan Nasional. Adapun sebab utama seperti yang tertuang dalam Penjelasan Umum tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Hukum Agraria yang berlaku saat itu sebagian besar tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara dalam mengadakan Pembangunan Nasional. Oleh sebab itu, Hukum Agraria perlu diadakan pembaharuan dengan menghapus sendi-sendi penjajah dan mengganti dengan sendi-sendi murni Indonesia demi kepentingan nasional.
  2. Sebagai akibat dari politik pemerintahan Hindia-Belanda, maka Hukum Agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu berlakunya hukum barat dan hukum adat murni Indonesia. Hal ini menimbulkan benturan kepentingan antargolongan dan tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa.
  3. Bagi rakyat pribumi, Hukum Agraria hasil pemerintah kolonial tidak menjamin kepastian hukum. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan adanya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten, dan juga penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif. Rakyat pribumi yang tunduk pada hukum adat mempunyai tanah dengan hak-hak hukum adat yang bentuknya tidak tertulis, sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan perlindungan hukum atas tanah yang mereka miliki.

Berdasar alasan tersebut, maka diadakanlah pembaharuan Hukum Agraria Administratif kolonial dengan Hukum Agraria Nasional. Dasar pembentukan hukum Agraria Nasional ini menurut UUPA adalah sebagai berikut.
  1. Dasar kenasionalan : Pasal 1 ayat (1) dan (2).
  2. Tidak menggunakan azas domein verklaring (azas yang menyebutkan bahwa rakyat pribumi yang tidak bisa membuktikan sebidang tanah adalah miliknya dengan menggunakan sertifikat, maka tanah akan menjadi hak negara). 
  3. Mendudukkan hak ulayat masyarakat adat yang sewajarnya dalam alam bernegara.
  4. Penyelarasan kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah.
  5. WNI yang mempunyai hak milik atas tanah.
  6. Persamaan dan kesempatan yang sama bagi WNI berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah. 
  7.  Landreform. 
  8. Perencanaan mengenai peruntukkan, penggunaan, dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk kepentingan rakyat dan negara.
  9. Hukun Agraria kita didasarkan pada ketentuan Hukum Adat.
  10. Pendaftaran tanah merupakan arah menuju kepastian hukum.
Dalam perombakan Hukum Agraria Administratif kolonial tersebut, diadakanlah Panca Program Agrarian Reform Indonesia yang berisi: (1) Pembaharuan Hukum Agraria; (2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah; (3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; (4) Perombakan mengenai penguasaan dan pemilikan tanah, serta hubungan-hubungan yang  bersangkutan dengan penguasaan tanah; dan (5) Perencanaan, persediaan, dan peruntukkan serta penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuan.

Hak Ulayat
Secara umum, hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat Hukum Adat untuk menggunakan hutan belukar dalam kepentringan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang luar, akan tetapi harus izin dan senantiasa melakukan pembayaran recognitie (semacam pajak). Sedangkan menurut Van Vollenhoven, hak ulayat merupakan besckhingrecht, artinya menguasai tanah dalam arti kekuasaan masyarakat hukum tidak sampai pada kekuasaan menjual di dalam wilayahnya.
Subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum tertentu, bukan perorangan ataupun penguasa Hukum Adat. Hak ulayat mempunyai kekuatan ke dalam dan ke luar. Hak ulayat diakui dalam UUPA dengan adanya dua syarat, yaitu berdasarkan eksistensinya dan pelaksanaannya. Hak ulayat diakui eksistensinya sepanjang menurut kenyataannya di lingkungan kelompok warga masyarakat Hukum Adat tertentu yang bersangkutan memang masih ada. Di daerah yang hak ulayatnya hilang, maka tidak akan dihidupkan kembali dan di daerah yang tidak pernah ada hak ulayat, maka tidak akan dilahirkan hak ulayat baru. Hak ulayat pun tidak akan didaftar.
Hak ulayat lambat laun akan hilang karena dua hal, yakni kebutuhan akan tanah yang lambat laun semakin meningkat seiring dengan cepatnya pertumbuhan penduduk, dan  karena adanya pembangunan ekonomi yang direalisasikan dengan Pembangunan Nasional.

Hak Konversi
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa keadaan Hukum Tanah sebelum UUPA yang memberlakukan Hukum Agraria Administratif pemerintah Hindia-Belanda menimbulkan kerugian yang besar bagi rakyat pribumi dan memicu terjadinya konflik antargolongan yang disebabkan oleh adanya dualisme dalam Hukum Tanah tersebut. Ini tentu saja bertentangan dengan cita-cita persatuan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, perlu diadakan unifikasi Hukum Tanah Indonesia dengan menghapus dualisme tersebut yang ditegaskan dalam Lampiran Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Selain penghapusan dualisme, Hukum Tanah Indonesia (UUPA) juga menhapus hak-hak konversi -- perubahan hak lama atas tanah menjadi tanah dengan hak baru menurut UUPA -- sehingga diharapkan kepentingan rakyat dan kepentingan negara berjalan seimbang.
Ada tiga jenis konversi, yaitu:
1.    Konversi hak atas tanah dari tanah hak Barat
Konversi jenis ini tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya adanya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfpacht. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 yang menetapkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang pemindahan tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum Eropa, dinyatakan bahwa sambil menunggu peraturan lebih lanjut untuk sementara setiap serah pakai lebih dari satu tahun dan perbuatan-perbuatan yang berwujud pemindahan hak mengenai tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum Eropa hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 izinnya dari Menteri Agraria).
Ketentuan di atas dilengkapi dengan Undang-undang nomor 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak-hak atas tanah perkebunan erfpacht, eigendom, dan lainnya. Hak eigendom bisa dikonversi menjadi hak guna usaha, hak milik, hak pakai, jika tidak jelas siapa pemiliknya. Sedangkan hak opstal (hak memanfaatkan tanah orang lain, tetapi bangunan di atasnya adalah milik sendiri) bisa dikonversi menjadi hak guna bangunan.

2.    Konversi hak atas tanah berasal dari tanah bekas hak Indonesia
Tanah yang sejak semula berstatus tanah negara, berarti di atas tanah tersebut belum pernah ada hak pihak tertentu selain negara. Dalam sistem Hukum Tanah sebelum UUPA, terdapat azas bahwa tanah yang tidak jelas pemiliknya akan menjadi milik negara. azas ini disebut azas domein. Setelah UUPA berlaku, azas domein dicabut dan negara bukanlah pemilik tanah, namun beralih menjadi penguasa tanah. Negara adalah penguasa tanah di seluruh wilayah Indonesia, baik yang sudah ada hak orang di atasnya maupun yang bebas dari hak orang.

3.    Konversi hak atas tanah berasal dari tanah swapraja
Tanah swapraja merupakan tanah yang pada zaman Hindia-Belanda menjadi kekuasaan para raja. Ini merupakan salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakyat, seperti lembaga konversi yang berlaku di Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta dimana semua tanah dianggap milik raja dan rakyat hanya sekedar memakainya, serta diwajibkan untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada raja. Kepada anggota keluarganya atau hambanya yang berjasa dan setia oleh raja diberikan tanah sebagai nafkah disertai dengan pelimpahan hak raja, sehingga mereka berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini dinamakan stelsel apanage.
Berdasarkan Stb. 1918 No. 20, para pengusaha asing yang menyewa tanah swapraja mendapatkan hak atas tanah dari raja yang disebut hak konversi (beschikking konversi). Keputusan Raja (Beschikking Raja), pada hakekatnya merupakan suatu keputusan penguasa untuk memakai dan mengusahakan tanah tertentu. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1948 yang mencabut Stb. 1918 No. 20, dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, secara tegas dinyatakan bahwa lembaga konversi serta hypotheek yang membebaninya menjadi hapus.

0 komentar:

Posting Komentar