Hukum Agraria Nasional kita diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). UUPA ini
merupakan pembaharuan dari Hukum Tanah Administratif pemerintah Hindia-Belanda
yang dituangkan dalam suatu undang-undang politik pertanahan kolonial, yaitu Agrarische Wet (AW) yang dibuat di
negeri Belanda pada tahun 1870. AW ini diundangkan dalam S 1870-55 sebagai
tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regerings
Reglement (RR) Hindia-Belanda tahun 1854. Semula, RR tersebut terdiri atas
3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4-8) oleh AW, maka pasal RR terdiri
atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS) pada tahun 1925.
Agraria sendiri mempunyai beberapa pengertian. Dalam artian luas (tercantum pada Pasal
1 ayat (2) UUPA ), konsep agraria diartikan: seluruh bumi, air, dan kekayaan
alam yang ada di dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional. Sedangkan dalam artian sempit,
agraria merupakan permukaan bumi yang disebut tanah. Meskipun sebenarnya agraria tidak hanya
meliputi tanah saja, melainkan juga air dan ruang angkasa, namun yang
dipelajari dalam mata kuliah Hukum Agraria ini adalah agraria dalam arti
sempit.
UUPA sebagai dasar Hukum Agraria Nasional bangsa Indonesia
sendiri berpedoman pada Hukum Adat murni Indonesia. Hal ini disebutkan dalam
Pasal 5 UUPA, bahwa UUPA mengedepankan kepentingan nasional, persatuan, dan
sosialisme Indonesia. Tak hanya itu,
dalam UUPA pun nilai-nilai luhur dari Pancasila dimasukkan ke dalam
pasal-pasalnya:
- Sila pertama : Pasal 1 ayat (2) dan (3)
- Sila kedua : sifat kolektif Pasal 1 ayat (2); sifat privat Pasal 2 ayat (2b), Pasal 4, Pasal 16, dan Pasal 20
- Sila ketiga : Pasal 9 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 42
- Sila keempat dan kelima : Pasal 9 ayat (2), Pasal 7, dan Pasal 17
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan UUPA
berpedoman pada Pancasila. Pertama,
UUPA tidak menganut sistem hak privat saja seperti negara-negara Barat
(individualis kapitalis). Kedua, UUPA
juga tidak menganut sistem hak publik saja seperti negara-negara komunis. Ketiga, UUPA mendasarkan diri pada sifat
hakekat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Pembaharuan Hukum Tanah
Mengenai perlunya diadakan pembaharuan Hukum Tanah dapat
diketahui dari yang dinyatakan dalam Konsiderans “Mengingat” dan Penjelasan
Umum UUPA pada tahun 1960, sebelum dimulai penyelenggaraan Pembangunan
Nasional. Adapun sebab utama seperti yang tertuang dalam Penjelasan Umum
tersebut adalah sebagai berikut.
- Hukum Agraria yang berlaku saat itu sebagian besar tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara dalam mengadakan Pembangunan Nasional. Oleh sebab itu, Hukum Agraria perlu diadakan pembaharuan dengan menghapus sendi-sendi penjajah dan mengganti dengan sendi-sendi murni Indonesia demi kepentingan nasional.
- Sebagai akibat dari politik pemerintahan Hindia-Belanda, maka Hukum Agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu berlakunya hukum barat dan hukum adat murni Indonesia. Hal ini menimbulkan benturan kepentingan antargolongan dan tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa.
- Bagi rakyat pribumi, Hukum Agraria hasil pemerintah kolonial tidak menjamin kepastian hukum. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan adanya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten, dan juga penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif. Rakyat pribumi yang tunduk pada hukum adat mempunyai tanah dengan hak-hak hukum adat yang bentuknya tidak tertulis, sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan perlindungan hukum atas tanah yang mereka miliki.
Berdasar alasan tersebut, maka diadakanlah pembaharuan
Hukum Agraria Administratif kolonial dengan Hukum Agraria Nasional. Dasar
pembentukan hukum Agraria Nasional ini menurut UUPA adalah sebagai berikut.
- Dasar kenasionalan : Pasal 1 ayat (1) dan (2).
- Tidak menggunakan azas domein verklaring (azas yang menyebutkan bahwa rakyat pribumi yang tidak bisa membuktikan sebidang tanah adalah miliknya dengan menggunakan sertifikat, maka tanah akan menjadi hak negara).
- Mendudukkan hak ulayat masyarakat adat yang sewajarnya dalam alam bernegara.
- Penyelarasan kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah.
- WNI yang mempunyai hak milik atas tanah.
- Persamaan dan kesempatan yang sama bagi WNI berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah.
- Landreform.
- Perencanaan mengenai peruntukkan, penggunaan, dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk kepentingan rakyat dan negara.
- Hukun Agraria kita didasarkan pada ketentuan Hukum Adat.
- Pendaftaran tanah merupakan arah menuju kepastian hukum.
Dalam
perombakan Hukum Agraria Administratif kolonial tersebut, diadakanlah Panca Program Agrarian Reform Indonesia
yang berisi: (1) Pembaharuan Hukum
Agraria; (2) Penghapusan hak-hak
asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah; (3) Mengakhiri penghisapan feodal
secara berangsur-angsur; (4) Perombakan mengenai
penguasaan dan pemilikan tanah, serta hubungan-hubungan yang bersangkutan
dengan penguasaan tanah; dan (5) Perencanaan, persediaan, dan
peruntukkan serta penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuan.
Hak
Ulayat
Secara umum, hak ulayat
adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat Hukum Adat untuk
menggunakan hutan belukar dalam kepentringan persekutuan hukum itu sendiri dan
anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang luar, akan tetapi harus izin dan
senantiasa melakukan pembayaran recognitie
(semacam pajak). Sedangkan menurut Van
Vollenhoven, hak ulayat merupakan besckhingrecht,
artinya menguasai tanah dalam arti kekuasaan masyarakat hukum tidak sampai pada
kekuasaan menjual di dalam wilayahnya.
Subyek hak ulayat adalah
masyarakat hukum tertentu, bukan perorangan ataupun penguasa Hukum Adat. Hak
ulayat mempunyai kekuatan ke dalam dan ke luar. Hak ulayat diakui dalam UUPA
dengan adanya dua syarat, yaitu berdasarkan eksistensinya
dan pelaksanaannya. Hak ulayat diakui
eksistensinya sepanjang menurut kenyataannya di lingkungan kelompok warga
masyarakat Hukum Adat tertentu yang bersangkutan memang masih ada. Di daerah
yang hak ulayatnya hilang, maka tidak akan dihidupkan kembali dan di daerah
yang tidak pernah ada hak ulayat, maka tidak akan dilahirkan hak ulayat baru. Hak
ulayat pun tidak akan didaftar.
Hak ulayat lambat laun akan
hilang karena dua hal, yakni kebutuhan akan tanah yang lambat laun semakin
meningkat seiring dengan cepatnya pertumbuhan penduduk, dan karena adanya pembangunan ekonomi yang
direalisasikan dengan Pembangunan Nasional.
Hak
Konversi
Sebagaimana telah kita
ketahui bahwa keadaan Hukum Tanah sebelum UUPA yang memberlakukan Hukum Agraria
Administratif pemerintah Hindia-Belanda menimbulkan kerugian yang besar bagi
rakyat pribumi dan memicu terjadinya konflik antargolongan yang disebabkan oleh
adanya dualisme dalam Hukum Tanah tersebut. Ini tentu saja bertentangan dengan
cita-cita persatuan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, perlu diadakan unifikasi
Hukum Tanah Indonesia dengan menghapus dualisme tersebut yang ditegaskan dalam Lampiran
Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Selain penghapusan dualisme, Hukum Tanah
Indonesia (UUPA) juga menhapus hak-hak
konversi -- perubahan hak lama atas tanah menjadi tanah dengan hak baru
menurut UUPA -- sehingga diharapkan kepentingan rakyat dan kepentingan negara
berjalan seimbang.
Ada tiga jenis konversi,
yaitu:
1. Konversi
hak atas tanah dari tanah hak Barat
Konversi jenis ini tunduk pada Hukum Agraria Barat
yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya adanya hak eigendom, hak opstal, dan hak
erfpacht. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 yang menetapkan
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang pemindahan tanah-tanah dan
barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum Eropa, dinyatakan bahwa
sambil menunggu peraturan lebih lanjut untuk sementara setiap serah pakai lebih
dari satu tahun dan perbuatan-perbuatan yang berwujud pemindahan hak mengenai
tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum Eropa hanya
dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri Kehakiman (dengan
Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 izinnya dari Menteri Agraria).
Ketentuan di atas dilengkapi dengan
Undang-undang nomor 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan
hak-hak atas tanah perkebunan erfpacht, eigendom, dan lainnya. Hak eigendom
bisa dikonversi menjadi hak guna usaha, hak milik, hak pakai, jika tidak jelas
siapa pemiliknya. Sedangkan hak opstal (hak memanfaatkan tanah orang lain,
tetapi bangunan di atasnya adalah milik sendiri) bisa dikonversi menjadi hak
guna bangunan.
2. Konversi
hak atas tanah berasal dari tanah bekas hak Indonesia
Tanah
yang sejak semula berstatus tanah negara, berarti di atas tanah tersebut belum
pernah ada hak pihak tertentu selain negara. Dalam sistem Hukum Tanah sebelum
UUPA, terdapat azas bahwa tanah yang tidak jelas pemiliknya akan menjadi milik
negara. azas ini disebut azas domein. Setelah UUPA berlaku, azas domein dicabut
dan negara bukanlah pemilik tanah, namun beralih menjadi penguasa tanah. Negara
adalah penguasa tanah di seluruh wilayah Indonesia, baik yang sudah ada hak
orang di atasnya maupun yang bebas dari hak orang.
3. Konversi
hak atas tanah berasal dari tanah swapraja
Tanah swapraja merupakan tanah yang pada zaman
Hindia-Belanda menjadi kekuasaan para raja. Ini merupakan salah satu warisan
feodal yang sangat merugikan rakyat, seperti lembaga konversi yang berlaku di Karesidenan
Surakarta dan Yogyakarta dimana semua tanah dianggap milik raja dan rakyat
hanya sekedar memakainya, serta diwajibkan untuk menyerahkan sebagian dari
hasil tanah itu kepada raja. Kepada anggota keluarganya atau hambanya yang
berjasa dan setia oleh raja diberikan tanah sebagai nafkah disertai dengan
pelimpahan hak raja, sehingga mereka berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini
dinamakan stelsel apanage.
Berdasarkan Stb. 1918 No. 20, para pengusaha
asing yang menyewa tanah swapraja mendapatkan hak atas tanah dari raja yang
disebut hak konversi (beschikking
konversi). Keputusan Raja (Beschikking
Raja), pada hakekatnya merupakan suatu keputusan penguasa untuk memakai dan
mengusahakan tanah tertentu. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1948 yang
mencabut Stb. 1918 No. 20, dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1950, secara tegas dinyatakan bahwa lembaga konversi serta hypotheek yang membebaninya menjadi hapus.
0 komentar:
Posting Komentar