Jumat, 25 November 2016

TRADISI RASULAN DI GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA DALAM BINGKAI FUNGSIONALISME MALINOWSKI


Pendahuluan
Indonesia merupakan bangsa yang terkenal akan keberagaman etnis dan juga memiliki beragam budaya. Dari sekian banyak budaya yang ada, salah satu yang menarik untuk dibahas adalah mengenai upacara tradisional/upacara adat/ritual. Menurut Koentjaraningrat (Soedarsono, 1989), upacara ritus/adat/tradisional merupakan rangkaian tindakan manusia yang diatur oleh adat yang berlaku dalam masyarakat yang berkaitan dengan kepercayaan. Hal ini terjadi karena adanya dorongan perasaan manusia untuk melakukan tindakan dalam mencari hubungannya dengan dunia gaib. Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian dari para ahli antropologi, yaitu: tempat upacara keagamaan dilakukan, saat-saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat upacara, dan orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara (Koentjaraningrat, 1990).

Dalam kehidupan masyarakat Jawa, ritual berkaitan dengan mitos. Mitos dimengerti sebagai suatu cerita yang beredar di kalangan masyarakat tertentu, yang mengesampingkan metode ilmiah namun diyakini kebenarannya. Dalam konteks religius, mitos dan ritus merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar ungkapan mengenai sesuatu yang lain. Keduanya merupakan kekuatan dinamis yang melahirkan kenyataan suci dan membuat manusia religius menghayati kenyataan tersebut dalam dirinya. Suatu mitos religius lebih merupakan orientasi dan spiritual yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Manusia religius menyadari bahwa alam semesta ini, maupun tata tertib manusia di dalamnya berasal dari tindakan Illahi dan para makhluk gaib.
 
Upacara-upacara tradisional/ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa mengandung unsur-unsur religi dan masih berlangsung sampai sekarang. Ritual tersebut tidak terpisahkan dari filosofi/pandangan hidup orang Jawa yang selalu menghubungkan antara sesuatu yang bersifat transenden dan sesuatu yang bersifat imanen, yang ditujukan untuk menyeimbangkan komposisi hidup atau yang mereka sebut sebagai manunggaling kawula Gusti. Biasanya yang masih sering dilakukan oleh orang Jawa adalah ritual bersih desa dengan menggelar wayang kulit dan ruwatan (Soedarsono, 1989). Di daerah Gunungkidul, Yogyakarta terdapat sebuah ritual yang disebut sebagai Rasulan. Kata rasulan sendiri tidak selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang erat hubungannya dengan peringatan terhadap suatu momen hidup Nabi Muhammad SAW, seperti Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj. Namun, Rasulan bagi masyarakat Gunungkidul merupakan suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh para petani setelah masa panen tiba. Rasulan di tempat lain dikenal dengan nama bersih dusun/desa atau merti dusun/desa. Rasulan merupakan wujud rasa syukur petani kepada Sang Pencipta atas limpahan hasil panen selama setahun.

Mengapa pembahasan mengenai tradisi Rasulan ini penting? Hal ini dikarenakan makna tradisi Rasulan sebagai ritus dalam kepercayaan masyarakat semakin meluntur, terlebih bagi para generasi muda. Meskipun masih dilaksanakan, namun tidak jarang dari mereka yang tidak memahami makna di balik pelaksanaan ritus tersebut. Tidak heran jika dewasa ini ritus hanya menjadi sebuah formalitas dan tidak dimaknai secara simbolik, bahkan nilai-nilai budaya maupun nilai-nilai karakter di dalamnya pun tidak lagi dipahami secara utuh. Di samping itu, seiring dengan perkembangan zaman dan semakin modernnya zaman, orang sudah tidak percaya pada hal-hal yang sifatnya gaib. Hal-hal yang di luar nalar dan logika lambat-laun tersingkirkan, sehingga ritus hanya dipandang sebagai sebuah tradisi, warisan, atau kebiasaan tanpa makna.
Tulisan ini melihat sisi yang berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu. Tulisan ini memandang tradisi Rasulan di Gunungkidul, Yogyakarta sebagai sebuah sistem yang saling berkaitan, serta melihat bagaimana tradisi Rasulan dapat bertahan di tengah derasnya arus modernitas dengan melihat relasi peran dan kedudukannya di dalam sistem sosial. Tidak seperti penelitian-penelitian terdahulu yang tidak mendialogkan data dengan teori, tulisan ini melihat tradisi Rasulan menggunakan bingkai teori fungsionalisme Malinowski.  

Pendekatan Teoritik 
Tulisan ini mengadopsi teori fungsionalisme Malinowski. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap. Dalam hal ini, Malinowski membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Sarmini, 2011: 30-31), yaitu:
  1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
  2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial  atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata untuk mencapai maksudnya.
  3. Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Malinowski sebagai penganut teori fungsional selalu mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan untuk keperluan masyarakat. Menurut Malinowski, segala aktivitas dari unsur kebudayaan tersebut bermaksud untuk memenuhi kebutuhan manusia serta untuk memuaskan segala kebutuhan manusia. Fungsi dari satu unsur budaya adalah untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa nyaman (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan itu sendiri.
 
Metodologi 
Dengan meminjam istilah Malinowski, tulisan ini merupakan suatu bentuk thick description, yang menggambarkan fenomena sosial-budaya dengan menghubungkan relasi-relasinya dalam bingkai teori. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi literatur. Jangka waktu tradisi Rasulan tidak menentu (tidak terjadwal), sehingga tidak memungkinkan saya menggunakan metode observasi partisipan. Tulisan ini berfokus pada fungsi tradisi Rasulan di Gunungkidul, Yogyakarta. Dengan menggunakan teori Malinowski, diharapkan dapat ditemukan apa fungsi tradisi Rasulan bagi individu-individu dalam masyarakat, khususnya masyarakat Gunungkidul, Yogyakarta.
 
Prosesi Tradisi Rasulan 
Rasulan adalah suatu tradisi atau ritual tahunan yang sudah lama diselenggarakan oleh masyarakat Gunungkidul. Kata rasulan sendiri bukanlah suatu kegiatan yang berhubungan dengan peringatan terhadap suatu momen hidup Nabi Muhammad SAW, seperti Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj. Tradisi ini disebut dengan Rasulan karena dalam tradisi ini, salah satu tokoh yang paling dihormati adalah Nabi Muhammad yang telah menjadi panutan manusia, khususnya bagi umat muslim.

Tradisi Rasulan bagi masyarakat Gunungkidul merupakan suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh para petani sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rejeki hasil panen yang melimpah, serta sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri atau Dewi Padi dan dhanyang (roh-roh halus) penunggu tempat-tempat keramat. Tradisi Rasulan biasanya dilaksanakan di setiap pedesaan ataupun di padukuhan dan dengan waktu yang berbeda-beda, sesuai dengan pelaksanaan panen masing-masing desa. 

Belum ada catatan resmi mengenai sejak kapan Rasulan ini dilaksanakan (Samsuni, http://jogjatrip.com/id/601/Rasulan, diakses tanggal 30 Mei 2015). Namun yang pasti bahwa tradisi ini sudah berlangsung sejak lama dan merupakan warisan dari nenek moyang masyarakat Gunungkidul, yang dilaksanakan oleh masyarakat Gunungkidul dari ujung barat, yakni Kecamatan Panggang dan sampai yang paling timur, yakni Kecamatan Girisobo, serta daerah sekitarnya. Di tempat lain, biasanya tradisi Rasulan dinamakan bersih dusun. Disebut bersih dusun karena dalam ritus ini terdapat hal-hal seperti: kerja bakti, gotong royong, merapikan tempat-tempat umum, tempat makam, selamatan, kendurian, dan di lanjutkan dengan mengirim doa kepada leluhur masyarakat tersebut, yang bertujuan meminta kemakmuran, kesehatan, terhindar dari bencana kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.     

Ada beberapa rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan tradisi Rasulan. Tradisi Rasulan diawali dengan gugur gunung (gotong royong/kerja bakti) membersihkan lingkungan, seperti: memperbaiki jalan, membuat atau mengecat pagar pekarangan, membersihkan makam, membersihkan sungai, dan membersihkan tempat persemayaman dhanyang. Karena itu, tradisi Rasulan ini biasa juga disebut dengan istilah merti deso atau bersih dusun. Tradisi rasulan juga dimeriahkan dengan berbagai macam kegiatan, seperti adanya perlombaan sepak bola antardusun, volley, dan ada juga berbagai macam pertunjukan dan tontonan, seperti reog, jathilan, kethoprak, dan sebagainya. Dalam tradisi Rasulan, seluruh masyarakat menyiapkan hidangan yang istimewa untuk saudara atau tetangga yang ingin bersilaturrahmi, dengan menu yang sangat komplit. Makanan yang tidak pernah tertinggal adalah peyek. Peyek merupakan makanan yang terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan kacang tanah dan digoreng dengan tipis-tipis. Penyajian hidangan ini dilakukan untuk bersyukur kepada Allah dan menyisihkan sebagian rejekinya kepada orang lain. Tradisi Rasulan dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat, baik itu orang kaya maupun orang miskin melakukan hal yang sama dalam upacara tradisional ini.
 
Tradisi Rasulan Dalam Bingkai Fungsionalisme Malinowski  
Tradisi Rasulan pada hakekatnya merupakan manifestasi pandangan hidup orang Jawa, yaitu simbolisasi akan ke-Tuhan-an, sebagai upaya menghubungkan dunia transenden dengan dunia imanen, menghubungkan sesuatu yang gaib dengan yang nyata, sehingga diharapkan manusia bisa menjadi manunggaling kawula Gusti. Tradisi Rasulan sebenarnya dapat dilihat sebagai upaya mendekatkan diri dengan Tuhan, agar manusia tidak lupa bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan, dan selalu membangun relasi dan komunikasi dengan penciptanya.

Tradisi Rasulan ini diikuti seluruh warga masyarakat tanpa terkecuali, baik perangkat desa maupun warga desa terlibat di dalamnya. Meskipun secara struktural sosial kedudukan mereka berbeda, namun dalam kaitannya dengan tradisi Rasulan kedudukan mereka sejajar. Dengan kata lain, kedudukan seluruh warga masyarakat dari segi kultural dipandang secara horizontal. 

Berbicara masalah fungsi, tradisi Rasulan memiliki beberapa fungsi. Di sini saya membagi fungsi tradisi Rasulan menjadi 4 (empat) fungsi utama, yaitu: fungsi budaya (ritus), fungsi sosial, fungsi hiburan, dan fungsi pendidikan. 

Fungsi budaya (ritus). Sebagai ritus, tradisi Rasulan merupakan suatu bentuk ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada seluruh warga, atas hasil panen yang melimpah, serta sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri atau Dewi Padi dan dhanyang (roh-roh halus) penunggu tempat-tempat keramat. Dengan melaksanakan tradisi ini, warga berharap hasil panen juga akan melimpah pada musim berikutnya, serta dijauhkan dari segala macam bencana.

Fungsi sosial. Tradisi Rasulan dimaknai sebagai hari raya ketiga selain Idul Fitri dan Idul Adha oleh masyarakat Gunungkidul. Ritus ini mirip dengan tradisi lebaran, di mana seseorang datang ke tempat kerabatnya untuk bersilaturrahmi dan menikmati hidangan spesial yang disediakan oleh tuan rumah. Penyajian makanan spesial untuk para tamu ketika hari “H” tradisi Rasulan ini menjadi salah satu wadah bagi masyarakat Gunungkidul untuk memupuk semangat kekeluargaan dan mempererat tali persaudaraan antarwarga. Sebagian warga memaknai tradisi yang mengandung unsur agama Hindu ini sebagai pengingat untuk bersih diri atau bersih jiwa guna menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Semangat kebersamaan dan gotong royong juga terlihat dalam tradisi Rasulan. Hal ini mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan orang lain. Rasulan yang merupakan hajat bersama tentu segala kebutuhannya juga ditanggung bersama. Masyarakat Gunungkidul bersedia mengamalkan senasib sepenanggungan, sehingga rasa kebersamaan ini mampu mengalahkan segalanya termasuk beban biaya dalam perayaan tradisi Rasulan. Hal inilah yang turut mendukung tradisi Rasulan dapat terus berjalan hingga sekarang. Tradisi Rasulan tidak semata-mata berbakti kepada Tuhan, melainkan juga merupakan bentuk dari kegiatan sosial yang dapat meningkatkan solidaritas antarwarga masyarakat.

Fungsi pendidikan. Tradisi Rasulan mengandung fungsi pendidikan yang berupa nilai-nilai budaya dan karakter. Nilai-nilai tersebut terdapat pada rangkaian prosesi tradisi Rasulan, misalnya: nilai kesatuan yang disimbolkan dengan adanya sesaji yang digunakan dalam tradisi Rasulan; nilai keluhuran yang terdapat dalam kegiatan gugur gunung/gotong royong; atau nilai tanggung jawab yang terdapat dalam setiap rangkaian prosesi tradisi Rasulan. Tradisi Rasulan berisi nilai, norma, dan etika yang dapat digunakan sebagai pedoman warga setempat dalam beraktivitas.

Fungsi hiburan. Tradisi Rasulan juga berfungsi sebagai sarana hiburan dengan adanya pertunjukan kesenian, seperti: jathilan, reog, kethoprak, dan sebagainya, serta perlombaan olahraga, seperti sepak bola, volley, dan sebagainya. Manusia membutuhkan hiburan untuk merasa santai dan nyaman. Dengan adanya hiburan, maka orang dapat melepaskan penat dan meregangkan otot-ototnya yang kaku akibat terlalu bekerja keras. Hiburan juga bermanfaat bagi kesehatan, sehingga setidaknya dengan adanya tradisi Rasulan ini, warga bisa sejenak bersenang-senang, mengurangi stress, dan me-refresh tubuhnya.

Melihat fungsi-fungsi yang terdapat dalam tradisi Rasulan di atas, dapat dikatakan bahwa institusi yang disebut Rasulan itu sebenarnya berbasis pada kebutuhan dasar individu (basic human need). Tradisi Rasulan memenuhi kebutuhan pokok warga, seperti: kebutuhan akan Tuhan (religi), makanan, kenyamanan, kesantaian, dan ilmu pengetahuan. Tradisi Rasulan merupakan perwujudan dari institusi, yang di dalamnya terdapat nilai, norma, dan etiket sosial, yang diperlukan untuk menata sistem kerja sama agar tidak menimbulkan konflik atau pertikaian. Aturan-aturan yang terdapat dalam tradisi Rasulan inilah yang kemudian dapat digunakan sebagai pedoman dalam berperilaku bagi masyarakat setempat.     

Melalui tradisi Rasulan ini, individu-individu bekerja sama dalam satu kelompok dan menghilangkan egonya. Oleh karenanya, tradisi Rasulan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengintegrasikan atau mengharmonisasikan masyarakat pemiliknya dengan menyatukan kebutuhan-kebutuhan dasar masing-masing individu dalam satu wadah, yaitu ritus/tradisi Rasulan. 

Simpulan
Jika ditilik dari sudut pandang fungsionalisme Malinowski, tradisi Rasulan memiliki beberapa fungsi. Selain fungsi budaya (ritus), sosial, hiburan, dan pendidikan, tradisi Rasulan ternyata juga memiliki fungsi wisata. Bagi masyarakat Gunungkidul, tradisi ini merupakan sarana untuk memupuk semangat kekeluargaan, serta menjadi salah satu wadah untuk melestarikan kesenian daerah Gunungkidul. Tradisi Rasulan mampu menjaga harmonisasi internal masyarakat, sehingga menjadi sarana/wadah yang efektif untuk mewujudkan adanya integrasi sosial. Sedangkan bagi masyarakat luar, terutama wisatawan asing, selain menyajikan tontonan yang menarik, ritus sekaligus even budaya ini menjadi salah satu sarana untuk mengetahui dan mengenal kesenian dan kebudayaan masyarakat Gunungkidul. Tradisi Rasulan seiring dengan perkembangannya menjadi atraksi wisata budaya yang menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Samsuni. “Rasulan”. (online), (http://jogjatrip.com/id/601/Rasulan, diakses tanggal 30 Mei 2015).

Sarmini. 2002. Teori-Teori Antropologi. Surabaya: Unesa University Press.

Soedarsono, R. M. 1989. Seni Pertunjukan Jawa Tradisional dan Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

0 komentar:

Posting Komentar