Selasa, 22 Desember 2015

MEMBACA ETNOGRAFI CAROK : KONFLIK KEKERASAN DAN HARGA DIRI ORANG MADURA (Dr. A. LATIEF WIYATA)

Kali ini saya akan menyajikan sebuah contoh tulisan hasil dari membaca etnografi. Buku CAROK : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura karangan Dr. A. Latief Wiyata memberikan fokus perhatian terhadap faktor sosio-kultural, sehingga dalam penelitiannya menggunakan teori-teori ekologi kultural (cultural ecology theory) dan teori materialis kultural (materialist cultural theory), meskipun tidak secara kaku, dalam arti tetap disesuaikan dengan kondisi sosial budaya Madura. Penelitian ini merupakan penelitian etnografis yang mempelajari secara mendalam dan holistik salah satu peristiwa sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat Madura, yaitu carok.

Permasalahan
Apakah carok? Apakah perbedaan antara carok dengan kejahatan lain? Kapan orang Madura mengambil jalan kekerasan ini? Apa artinya kejadian carok bagi orang Madura? Apa akibat carok bagi pelaku, korban, dan sanak keluarganya? Mengapa tindakan ini ditoleransi? Carok kebetulan merupakan semacam pertolongan terhadap diri sendiri (self-help). Hanya dengan membaca judul buku karangan Dr. A. Latief Wiyata ini, terlihat bahwa masalah yang menjadi pemicu carok selalu dikaitkan dengan harga diri dan rasa malu. Harga diri dan penggunaan kekuatan fisik mempunyai hubungan sangat erat dalam masyarakat tertentu. Persona fisik seolah-olah merupakan penjelmaan dari harga diri. Dengan demikian, menghina harga diri sama artinya dengan melukai seseorang secara fisik. Di pedalaman Madura, harga diri orang atau keluarga masih selalu dipertaruhkan ketika seseorang dalam situasi kecemburuan, kalau istri atau anak perempuan diganggu, kalau orang dihina dengan kata-kata atau perbuatan kasar, dan kalau orang mencuri barang (4).

Dalam dekade terakhir, carok juga masuk dalam lingkaran kriminal (3 - 6). Jelas bahwa pelaku kriminalitas ini tidak suka menaati hukum nasional, dan dalam kelompok ini keberanian dan kekuatan fisik dihargai tinggi.penyelesaian masalah ini, seperti yang ditunjukkan Dr. A. Latief Wiyata (109 – 123, 147 – 158), sering dilakukan di depan umum. Selama pesta meriah yang disebut rèmo, yang diselenggarakan untuk mengumpulkan uang demi investasi bisnis, seorang jagoan sering mencoba menghina lawannya di depan para peserta rèmo lain dan memancing kekerasan fisik supaya ada alasan untuk menyerang lawannya itu. tidak mengherankan bahwa rèmo berkembang khususnya di pedalaman Madura, di mana pengaruh pemerintah tidak kuat (72 – 89).

Solusi/Jawaban
Dr. A. Latief Wiyata menjawab pertanyaan-pertanyaan besar mengenai carok dengan melukiskan secara jelas, baik dari aspek instrumental maupun aspek ekspresif, tentang tindakan kekerasan orang Madura tersebut. Dr. A. Latief Wiyata menyebutkan bahwa carok adalah “institusionalisasi kekerasan” dalam masyarakat Madura. Carok sebagai institusionalisasi kekerasan, selain mempunyai kaitan dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama, dan pendidikan, tampaknya juga tidak dapat dilepaskan dari faktor politik, yaitu lemahnya otoritas negara/pemerintah dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan, serta ketidakmampuan memberikan perlindungan terhadap masyarakat akan rasa keadilan, yang mengkondisikan orang Madura melakukan carok yang dianggap lebih memenuhi rasa keadilan mereka. Carok merupakan kekurangmampuan sebagian masyarakat Madura dalam mengekspresikan budi bahasa, karena mereka lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh, sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi.

Klaim
Untuk melihat “pemahaman” dan “penjelasan” dari carok, Dr. A. Latief Wiyata menggunakan berbagai unit analisis: “nilai”, “kebiasaan”, dan “konsep”. Predikat sebagai orang jago, misalnya, merupakan kebanggaan tersendiri bagi para pemenang carok. Karena konsep kebudayaan antara lain mencakup pula sistem komunikasi, dalam arti antara para pendukung kebudayaan saling mempertukarkan simbol-simbol budaya yang bermuatan makna, maka carok bagi sebagian pelakunya dianggap sebagai alat untuk mengkomunikasikan simbol-simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan pada lingkungan kerabat dan lingkungan sosialnya. Hal ini tampak pada perilaku hampir semua pelaku carok., yang dengan sengaja dan penuh rasa bangga menyimpan benda-benda yang pernah digunakan ketika melakukan carok, atau dengan sengaja menguburkan korban carok di pekarangan rumah. Tindakan ini jusru sangat memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan selanjutnya. Dalam konteks ini, carok bukan merupakan cara penyelesaian konflik, melainkan lebih merupakan proses reproduksi kekerasan yang akan selalu menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan baru (carok turunan).

Dr. A. Latief Wiyata menekankan pada aturan normatif dalam menggambarkan struktur sosial budaya masyarakat Madura, dan ini menjadi pisau analisa untuk mengupas beberapa kasus carok yang terjadi di Madura. Tulisan CAROK : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura merupakan analisis struktural yang berfokus pada model gagasan. Melalui analisis, deskripsi mendalam, dan bersifat tafsiriah, makna carok dapat diungkapkan dan dipahami sesuai dengan konteks sosial budaya Madura. Peristiwa carok sendiri dianggap sebagai imbas akan adanya struktur sosial dalam masyarakat yang bermata dua, yakni: “mempertahankan posisi dalam struktur” atau “meraih posisi dalam struktur”.

Data
Esensi dari tulisan CAROK : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura adalah memahami secara mendalam arti atau makna peristiwa carok dalam lingkungan sosial budaya masyarakat Madura. Tulisan ini dapat dikatakan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pertama dua bab (“Pendahuluan” dan “Kondisi-Kondisi Sosial Budaya Madura”); bagian kedua/bab tengah (“Kasus-Kasus Carok dan Motifnya”) yang berfungsi sebagai jembatan antara bagian pertama dan terakhir; dan selanjutnya bagian ketiga/terakhir (“Makna dan Konteks Sosial Budaya Carok”), membentuk garis lurus dan simetris “plan”.

Untuk mendukung kesimpulan mengenai hubungan konflik kekerasan (carok) dan harga diri orang Madura, Dr. A. Latief Wiyata  menggunakan data visual, observasi, wawancara mendalam, dan pernyataan dari orang lain. Berkaitan dengan motif dan pelaksanaan carok, serta penjelasan tentang respon masyarakat setempat, Dr. A. Latief Wiyata mengumpulkan enam kasus carok yang pernah terjadi di Madura, yakni tiga kasus bermotif gangguan terhadap istri (95 – 138), satu kasus bermotif pertahanan martabat (139 – 152), satu kasus bermotif perebutan harta warisan (153 – 163), dan satu kasus bermotif pembalasan dendam (164 – 176). Selain itu, Dr. A. Latief Wiyata memberikan sketsa visualisasi peragaan carok (Lampiran 12, 248) dan mengenalkan jenis-jenis senjata tajam untuk carok (Lampiran 13, 249) yang terdiri dari tiga jenis, yaitu: calo’, are’ takabuwan, dan laddhing/todi’ pangabisan.

Argumentasi/Retorik
Carok selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri – terutama gangguan terhadap anak perempuan atau istri – yang menyebabkan orang Madura malo. Dalam konteks ini, terlihat bahwa carok sebagai institusionalisasi kekerasan mencerminkan monopoli kekuasaan suami (laki-laki) terhadap istri (perempuan). Monopoli kekuasaan ini, antara lain ditandai oleh perlindungan secara berlebihan (over protection) terhadap istri (perempuan), seperti tampak pada pola pemukiman tanèyan lanjhang (Gambar 5, 45), tata cara penerimaan tamu (khususnya laki-laki), cara berpakaian, dan kebiasaan melakukan perkawinan antarkeluarga (kin group endogamy), khususnya perkawinan di bawah umur (Gambar 6, 56).

Berbicara tentang struktur, selain sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial yang lebih tinggi sebagai orang jago dalam lingkungan komunitas mereka atau dalam lingkungan dunia blatèr. Bahkan, dengan posisi dan status sosial ini, mereka dapat pula meraih kedudukan formal dalam institusi formal atau birokrasi, yaitu sebagai Kepala Desa. Dengan demikian, carok dipandang oleh sebagian pelakunya sebagai suatu alat untuk memperoleh kekuasaan (means of power). Upaya nabang yang pada prinsipnya merupakan komodifikasi hukum yang sangat menguntungkan semua pihak yang terlibat – baik secara ekonomi maupun sosial budaya – pada gilirannya semakin memperkuat pandangan carok sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Keberhasilan para pemenang carok dalam upaya nabang justru semakin memperkuat legitimasi sosial mereka sebagai “orang jago”. Selain itu, kebiasaan melakukan upaya nabang merupakan faktor yang ikut berperan mendorong terjadinya dan sekaligus melestarikan eksistensi carok sebagai institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura.

Tingkatan analisis yang dikonstruksikan Dr. A. Latief Wiyata menghalanginya untuk menganalisis isu-isu seperti peran agama dalam carok. Fokus Dr. A. Latief Wiyata pada aturan-aturan normatif seolah mengabaikan bahwa individu seharusnya berpegang pada perintah agama, mengingat betapa kuatnya pengaruh Islam di Madura. Dr. A. Latief Wiyata tidak menjawab pertanyaan yang muncul berkaitan dengan peran agama dan struktur di dalamnya untuk mengatasi carok yang jelas-jelas merusak tatanan kekerabatan dan/atau masyarakat Madura.

1 komentar: