Kali ini saya akan menyajikan sebuah contoh tulisan hasil dari membaca etnografi. Buku CAROK : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura karangan
Dr. A. Latief
Wiyata memberikan fokus perhatian terhadap faktor sosio-kultural,
sehingga dalam penelitiannya menggunakan teori-teori ekologi kultural (cultural ecology theory) dan teori materialis kultural (materialist cultural theory),
meskipun tidak
secara kaku, dalam arti tetap disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
Madura. Penelitian ini merupakan penelitian etnografis yang mempelajari
secara mendalam dan holistik salah satu peristiwa sosial budaya yang
terjadi dalam masyarakat Madura, yaitu carok.
Permasalahan
Apakah
carok? Apakah perbedaan antara carok dengan kejahatan lain? Kapan orang
Madura mengambil jalan kekerasan ini? Apa artinya kejadian carok bagi
orang Madura? Apa akibat carok bagi pelaku, korban, dan sanak
keluarganya?
Mengapa tindakan ini ditoleransi? Carok kebetulan merupakan semacam
pertolongan terhadap diri sendiri (self-help). Hanya dengan
membaca judul buku karangan Dr. A. Latief Wiyata ini, terlihat bahwa
masalah yang menjadi pemicu carok selalu dikaitkan
dengan harga diri dan rasa malu. Harga diri dan penggunaan kekuatan
fisik mempunyai hubungan sangat erat dalam masyarakat tertentu. Persona
fisik seolah-olah merupakan penjelmaan dari harga diri. Dengan demikian,
menghina harga diri sama artinya dengan melukai
seseorang secara fisik. Di pedalaman Madura, harga diri orang atau
keluarga masih selalu dipertaruhkan ketika seseorang dalam situasi
kecemburuan, kalau istri atau anak perempuan diganggu, kalau orang
dihina dengan kata-kata atau perbuatan kasar, dan kalau
orang mencuri barang (4).
Dalam dekade terakhir,
carok juga masuk dalam lingkaran kriminal (3 - 6). Jelas bahwa pelaku
kriminalitas ini tidak suka menaati hukum nasional,
dan dalam kelompok ini keberanian dan kekuatan fisik dihargai
tinggi.penyelesaian masalah ini, seperti yang ditunjukkan Dr. A. Latief
Wiyata (109 – 123, 147 – 158), sering dilakukan di depan umum. Selama
pesta meriah yang disebut rèmo,
yang diselenggarakan untuk mengumpulkan uang demi investasi bisnis,
seorang jagoan sering mencoba menghina lawannya di depan para peserta rèmo lain dan memancing kekerasan fisik supaya ada alasan untuk menyerang lawannya itu. tidak mengherankan
bahwa rèmo berkembang khususnya di pedalaman Madura, di mana pengaruh pemerintah tidak kuat (72 – 89).
Solusi/Jawaban
Dr.
A. Latief Wiyata menjawab pertanyaan-pertanyaan besar mengenai carok
dengan
melukiskan secara jelas, baik dari aspek instrumental maupun aspek
ekspresif, tentang tindakan kekerasan orang Madura tersebut. Dr. A.
Latief Wiyata menyebutkan bahwa carok adalah “institusionalisasi
kekerasan” dalam masyarakat Madura. Carok sebagai
institusionalisasi kekerasan, selain mempunyai kaitan dengan
faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi,
agama, dan pendidikan, tampaknya juga tidak dapat dilepaskan dari faktor
politik, yaitu lemahnya otoritas negara/pemerintah
dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan, serta ketidakmampuan
memberikan perlindungan terhadap masyarakat akan rasa keadilan, yang
mengkondisikan orang Madura melakukan carok yang dianggap lebih memenuhi
rasa keadilan mereka. Carok merupakan kekurangmampuan
sebagian masyarakat Madura dalam mengekspresikan budi bahasa, karena
mereka lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk
membunuh orang-orang yang dianggap musuh, sehingga konflik yang
berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah
mencapai rekonsiliasi.
Klaim
Untuk
melihat “pemahaman” dan “penjelasan” dari carok, Dr. A. Latief Wiyata
menggunakan berbagai unit analisis: “nilai”, “kebiasaan”,
dan “konsep”. Predikat sebagai orang jago, misalnya, merupakan
kebanggaan tersendiri bagi para pemenang carok. Karena konsep kebudayaan
antara lain mencakup pula sistem komunikasi, dalam arti antara para
pendukung kebudayaan saling mempertukarkan
simbol-simbol budaya yang bermuatan makna, maka carok bagi sebagian
pelakunya dianggap sebagai alat untuk mengkomunikasikan simbol-simbol
tentang sikap dan perilaku kekerasan pada lingkungan kerabat dan
lingkungan sosialnya. Hal ini tampak pada perilaku hampir
semua pelaku carok., yang dengan sengaja dan penuh rasa bangga
menyimpan benda-benda yang pernah digunakan ketika melakukan carok, atau
dengan sengaja menguburkan korban carok di pekarangan rumah. Tindakan
ini jusru sangat memungkinkan terjadinya tindakan
kekerasan selanjutnya. Dalam konteks ini, carok bukan merupakan cara
penyelesaian konflik, melainkan lebih merupakan proses reproduksi
kekerasan yang akan selalu menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan baru
(carok turunan).
Dr. A. Latief
Wiyata menekankan pada aturan normatif dalam menggambarkan struktur
sosial budaya masyarakat Madura, dan ini menjadi pisau analisa untuk
mengupas beberapa kasus carok yang terjadi di Madura.
Tulisan CAROK : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
merupakan analisis struktural yang berfokus pada model gagasan. Melalui
analisis, deskripsi mendalam, dan bersifat tafsiriah, makna carok dapat
diungkapkan dan dipahami sesuai dengan konteks
sosial budaya Madura. Peristiwa carok sendiri dianggap sebagai imbas
akan adanya struktur sosial dalam masyarakat yang bermata dua, yakni:
“mempertahankan posisi dalam struktur” atau “meraih posisi dalam
struktur”.
Data
Esensi dari tulisan CAROK : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura adalah
memahami secara mendalam arti atau makna peristiwa carok dalam
lingkungan sosial budaya masyarakat Madura. Tulisan ini dapat dikatakan
terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu bagian pertama dua bab (“Pendahuluan” dan
“Kondisi-Kondisi Sosial Budaya Madura”); bagian kedua/bab tengah
(“Kasus-Kasus Carok dan Motifnya”) yang berfungsi sebagai jembatan
antara bagian pertama dan terakhir;
dan selanjutnya bagian ketiga/terakhir (“Makna dan Konteks Sosial
Budaya Carok”), membentuk garis lurus dan simetris “plan”.
Untuk
mendukung
kesimpulan mengenai hubungan konflik kekerasan (carok) dan harga diri
orang Madura, Dr. A. Latief Wiyata menggunakan data visual, observasi,
wawancara mendalam, dan pernyataan dari orang lain. Berkaitan dengan
motif dan pelaksanaan carok, serta penjelasan
tentang respon masyarakat setempat, Dr. A. Latief Wiyata mengumpulkan
enam kasus carok yang pernah terjadi di Madura, yakni tiga kasus
bermotif gangguan terhadap istri (95 – 138), satu kasus bermotif
pertahanan martabat (139 – 152), satu kasus
bermotif perebutan harta warisan (153 – 163), dan satu kasus bermotif
pembalasan dendam (164 – 176). Selain itu, Dr. A. Latief Wiyata
memberikan sketsa visualisasi peragaan carok (Lampiran 12, 248) dan
mengenalkan jenis-jenis senjata tajam untuk
carok (Lampiran 13, 249) yang terdiri dari tiga jenis, yaitu: calo’, are’ takabuwan, dan laddhing/todi’ pangabisan.
Argumentasi/Retorik
Carok
selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan
terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri – terutama gangguan
terhadap anak perempuan atau istri – yang menyebabkan orang Madura malo.
Dalam konteks ini, terlihat bahwa carok sebagai institusionalisasi
kekerasan mencerminkan monopoli
kekuasaan suami (laki-laki) terhadap istri (perempuan). Monopoli
kekuasaan ini, antara lain ditandai oleh perlindungan secara berlebihan (over protection) terhadap istri (perempuan), seperti tampak pada pola pemukiman tanèyan lanjhang (Gambar
5, 45), tata cara penerimaan tamu (khususnya laki-laki), cara berpakaian, dan kebiasaan melakukan perkawinan antarkeluarga (kin group endogamy), khususnya perkawinan di bawah umur (Gambar 6, 56).
Berbicara tentang struktur, selain sebagai
tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri,
carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih posisi
atau status sosial yang lebih tinggi sebagai orang
jago dalam lingkungan komunitas mereka atau dalam lingkungan dunia blatèr.
Bahkan, dengan posisi dan status sosial ini, mereka dapat pula meraih
kedudukan formal dalam institusi formal atau birokrasi, yaitu sebagai
Kepala Desa. Dengan demikian,
carok dipandang oleh sebagian pelakunya sebagai suatu alat untuk
memperoleh kekuasaan (means of power). Upaya nabang
yang pada prinsipnya merupakan komodifikasi hukum yang sangat
menguntungkan semua pihak yang terlibat – baik secara
ekonomi maupun sosial budaya – pada gilirannya semakin memperkuat
pandangan carok sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Keberhasilan
para pemenang carok dalam upaya nabang justru semakin memperkuat legitimasi sosial mereka sebagai “orang
jago”. Selain itu, kebiasaan melakukan upaya nabang merupakan
faktor yang ikut berperan mendorong terjadinya dan sekaligus
melestarikan eksistensi carok sebagai institusionalisasi kekerasan dalam
masyarakat Madura.
Tingkatan
analisis yang dikonstruksikan Dr. A. Latief Wiyata menghalanginya untuk
menganalisis isu-isu seperti peran agama dalam carok. Fokus Dr. A.
Latief Wiyata pada aturan-aturan normatif seolah
mengabaikan bahwa individu seharusnya berpegang pada perintah agama,
mengingat betapa kuatnya pengaruh Islam di Madura. Dr. A. Latief Wiyata
tidak menjawab pertanyaan yang muncul berkaitan dengan peran agama dan
struktur di dalamnya untuk mengatasi carok yang
jelas-jelas merusak tatanan kekerabatan dan/atau masyarakat Madura.
good
BalasHapus