Artikel “Jodoh Orang Batak Karo: Ditentukan atau Tidak?” yang ditulis oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra dan terbit pada tahun 1986 ini membahas perbedaan pendapat antara dua antropolog mengenai struktur sosial orang Batak Karo, yaitu Needham dan Masri Singarimbun. Needham (dalam Ahimsa-Putra, 1986:140) mengatakan bahwa masyarakat Batak dapat digambarkan sebagai masyarakat dengan sistem asymmetric prescriptive alliance dimana antarkelompok kekerabatan dihubungkan melalui perkawinan antaranggotanya, dan hubungan ini bersifat asimetris, dalam arti kelompok pemberi gadis tidak boleh menjadi kelompok penerima gadis terhadap satu kelompok yang sama. Sedangkan pendapat Singarimbun bertentangan dengan Needham, yaitu bahwa masyarakat Batak tidak dapat dilukiskan sebagai masyarakat dengan sistem asymmetric prescriptive alliance karena dalam kenyataan tidak ada kelompok-kelompok kekerabatan yang berupa corporate group, yang tukar-menukar wanita dan mengadakan aliansi, kecuali domestic families (Ahimsa-Putra, 1986:140).
Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa untuk memahami sistem kekerabatan masyarakat Batak Karo, maka penting untuk benar-benar memahami konsep-konsep kategori kekerabatan Batak Karo, seperti: senina, anakberu, kalimbubu, sada bapa, sada nini, turang impal, dan lainnya. Tanpa memahami konsep-konsep tersebut, menurut saya akan sulit untuk memahami penjelasan yang ditulis dalam artikel ini. Dalam artikel ini, Ahimsa-Putra mencoba untuk memperlihatkan struktur hubungan perkawinan masyarakat Batak Karo dengan mengulas beberapa hal yang menjadi perdebatan Needham dan Singarimbun. Artikel ini menjadi seperti sebuah penguatan atas pendapat Needham bahwa masyarakat Batak Karo memang mempunyai struktur hubungan perkawinan yang asimetris atau sistem aliansi prescriptive, namun dengan penjelasan yang menurut saya sangat objektif. Ahimsa-Putra menguraikan penjelasannya secara sistemik, yang saya bagi menjadi beberapa bagian, yaitu: (1) kerangka teori; (2) aturan perkawinan Batak Karo; (3) unit kekerabatan eksogam masyarakat Batak Karo; (4) perbedaan pandangan antara Needham dan Singarimbun; dan (5) simpulan.
Ahimsa-Putra memulai pembahasannya dengan menguraikan kerangka teori mengenai masyarakat unilineal yang eksogam, yang jatuh pada kesimpulan bahwa: (1) jika pertukaran wanita terjadi dalam dua kelompok kekerabatan, maka hubungannya adalah hubungan perkawinan yang simetris (symmetrical connubium); (2) jika pertukaran wanita terjadi dalam lebih dari dua kelompok kekerabatan, ada dua kemungkinan hubungan perkawinan, yaitu: (a) jika seorang pria mengambil jodoh gadis yang merupakan FZD-nya, maka hubungan yang terjadi adalah perkawinan yang asimetris (asymmetrical connubium) tidak sempurna; dan (b) jika seorang pria mengambil jodoh gadis yang merupakan MBD-nya, maka hubungan yang terjadi adalah perkawinan yang asimetris (asymmetrical connubium) sempurna. Sistem perkawinan yang menimbulkan assymmetrical connubium yang sempurna inilah yang kemudian disebut Needham sebagai asymmetric prescriptive alliance system.
Selanjutnya, Ahimsa-Putra menguraikan tentang aturan-aturan perkawinan yang berlaku pada masyarakat Batak Karo. Menurut Singarimbun (dalam Ahimsa-Putra, 1986:144), dalam masyarakat Batak Karo terdapat dua macam larangan perkawinan, yaitu: (1) larangan menikah dengan saudara sekandung (senina) dan kerabat-kerabat lain yang termasuk dalam kategori senina, dan (2) larangan bagi seorang pemuda untuk menikah dengan seorang gadis yang saudara pria sekandungnya telah menikah dengan saudara perempuan sekandung si pemuda tersebut. Selain itu, Ahimsa-Putra menambahkan bahwa ternyata orang Batak Karo mengenal bentuk perkawinan ideal dan juga ada larangan perkawinan dengan kerabat dari kategori tertentu. Perkawinan ideal orang Batak Karo adalah perkawinan seorang pria dengan MBD-nya atau seorang gadis dengan FZS-nya, karena perkawinan ini dapat memperkuat atau memperbaharui hubungan anakberu-kalimbubu yang sudah terjalin sebelumnya. Sedangkan larangan perkawinan orang Batak Karo adalah larangan bagi seorang pria untuk menikah dengan seorang gadis yang merupakan FZD-nya. FZD oleh orang Batak Karo dimasukkan dalam kategori turang impal, yaitu saudara sepupu yang seperti saudara kandung sendiri. Pandangan mengenai MBD sebagai jodoh ideal pria Karo dan larangan bagi pria untuk menikahi FZD-nya menurut Ahimsa-Putra merupakan bukti bahwa masyarakat Batak Karo merupakan masyarakat dengan struktur connubium yang asimetris. Masyarakat Batak Karo sangat melarang suatu perkawinan yang akan membuat pecahnya segmen atau unit satu kakek, yang disebut sada nini. Sada nini merupakan unit eksogam yang terbesar dan tertinggi setelah sada bapa, yang terdiri dari keluarga-keluarga beberapa pria yang satu sama lain merupakan parallel cousin.
Menurut Ahimsa-Putra, ada empat hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat antara Needham dan Singarimbun, yaitu: (1) konsep prescriptive; (2) konsep descent group dan corporate group; (3) konsep anakberu-kalimbubu = penerima gadis-pemberi gadis; dan (4) konsep alliance.
Ahimsa-Putra (1986:164) mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara Needham dan Singarimbun timbul karena masing-masing berbicara pada tingkat yang berbeda. Needham berada pada tingkat model yang abstrak, sedangkan Singarimbun mengambil tempat berpijak pada kenyataan hidup sehari-hari. Saya sendiri sependapat dengan Kipp, bahwa mungkin Singarimbun mengambil sudut pandang kenyataan karena dia ingin bertindak sebagai seorang peneliti, bukan sebagai orang Batak Karo. Menurut saya, akan lebih baik jika Singarimbun memposisikan diri di antara keduanya, sehingga dia akan melihat bagaimana cara kerja struktur tersebut dalam mengatur kekerabatan orang Batak Karo, mengapa struktur tersebut terbentuk sedemikian rupa, atau bagaimana struktur tersebut bertransformasi dalam keseharian masyarakat Batak Karo.
Saya pun setuju dengan pendapat Needham dan Ahimsa-Putra bahwa masyarakat Batak Karo mengenal asymmetric prescriptive alliance system memandang MBD sebagai jodoh ideal pria Karo dan larangan bagi pria Karo untuk menikahi FZD-nya, bahkan dengan FZHBD dan FZHFBSD. Kelompok-kelompok kekerabatan pun membentuk suatu aliansi dan merupakan kesatuan yang eksogam (disebut sada nini). Dan pada akhirnya, saya menyimpulkan bahwa jodoh orang Batak Karo sebenarnya ditentukan oleh struktur yang ada dalam masyarakat itu sendiri, meskipun mungkin ada banyak kasus dimana pria Karo tidak menikah dengan MBD-nya karena memiliki pilihan sendiri. Namun demikian, hal ini tidak melunturkan struktur dalam (deep structure) yang sudah ada dan terbentuk dalam masyarakat Batak Karo.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kedudukan aturan perkawinan tersebut saat ini? Bagaimana dengan orang Karo yang memilih menikah dengan bukan orang Karo (suku lain)? Dan berkaitan dengan jodoh ideal, apa yang terjadi apabila ada kasus dimana keluarga tidak memiliki keturunan atau hanya memiliki anak laki-laki? Bagaimana pula kedudukan anak angkat dalam sistem kekerabatan Batak Karo?