Jumat, 22 Juli 2016

REVIEW ARTIKEL HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA "FENOMENOLOGI AGAMA: PENDEKATAN FENOMENOLOGI UNTUK MEMAHAMI AGAMA"

Artikel ini dimuat dalam Jurnal Walisongo Vol. 20, No. 2, November 2012. Dalam tulisan ini, Ahimsa-Putra mencoba untuk menjelaskan secara singkat pendekatan fenomenologi yang berkembang dalam ilmu sosial budaya, karena adanya pengaruh dari filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl, dan bagaimana pendekatan tersebut dapat digunakan untuk memahami fenomena keagamaan. Penelitian fenomenologis ditujukan terutama untuk mendeskripsikan dengan sebaik-baiknya gejala sosial budaya menurut sudut pandang subjek yang diteliti. Asumsinya adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kesadaran, memiliki pengetahuan, atas apa yang dilakukannya, serta memiliki tujuan-tujuan berkenaan dengan perilaku atau tindakannya. Kesadaran inilah yang membuat gejala sosial budaya bermakna, tidak hanya bagi peneliti tetapi juga bagi pelakunya. Sependapat dengan Ahimsa-Putra bahwa consciousness akan menghasilkan makna pada individu. Bila individu mengalami kesadaran atas tindakannya, maka akan muncul suatu pemaknaan. Sebaliknya, makna tidak akan muncul apabila individu berada dalam kondisi unconsciousness. Sebagai contoh, dalam agama Islam terdapat kewajiban untuk menunaikan ibadah sholat. Sebagian orang terkadang tidak menyadari mengapa mereka melakukan itu, mengapa sholat diwajibkan untuk seluruh umat Islam. Ketidaksadaran mereka membuat ibadah sholat itu tidak memiliki makna, sehingga acapkali meninggalkan kewajiban tersebut. Sedangkan bagi orang-orang yang menyadari pentingnya sholat, mengapa mereka harus menjalankan sholat dan apa manfaatnya menjalankan sholat, akan membuat sholat itu memiliki makna yang baginya, sehingga mereka enggan untuk meninggalkannya. Jadi, kesadaran akan sesuatu akan melahirkan makna tertentu.

Sehubungan dengan gejala keagamaan, jika pendekatan fenomenologi digunakan untuk memahami gejala tersebut, perhatian utama peneliti akan diarahkan pada kesadaran, pada pengetahuan subjek yang diteliti mengenai perilaku dan tindakan keagamaan yang mereka lakukan. Kesadaran inilah yang kemudian akan dipaparkan dengan sebaik-baiknya, selengkap-lengkapnya, secocok mungkin dengan apa yang dimaksud oleh tineliti. Agar tujuan tersebut dapat dicapai maka peneliti perlu menempatkan dirinya sebagai seorang “murid” yang ingin mengetahui sebaik-baiknya pengetahuan yang dimiliki oleh para tineliti mengenai gejala keagamaan yang mereka terlibat di dalamnya. 

Dalam posisi semacam itu, tidak pada tempatnya kalau peneliti kemudian berusaha menentukan “kebenaran” ataupun “kekeliruan” dari kesadaran atau pengetahuan yang dimiliki para tineliti mengenai gejala keagamaan tersebut. Dengan kata lain, “relativisme agama” merupakan sebuah prinsip penelitian yang perlu diikuti dalam penelitian atas gejala keagamaan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Dalam hal ini, saya sependapat dengan Ahimsa-Putra karena agama merupakan suatu fenomena/gejala sosial-budaya di mana semua gejala sosial-budaya yang ada di dunia ini adalah benar adanya. Tidak ada satu gejala sosial-budaya pun yang keliru karena apa yang terjadi di lapangan adalah sebuah fakta, meskipun kesadaran dan pemaknaan antara individu satu dengan individu yang lain berbeda. Ilmu sosial-budaya bukanlah ilmu pasti seperti halnya ilmu alam. Dengan kata lain, peneliti sosial-budaya tidak akan pernah menemukan “kebenaran absolut” dari gejala/fenomena sosial-budaya yang ada di dunia, termasuk agama.

Dalam budaya Indonesia, istilah ‘agama’ sebenarnya memiliki makna yang berbeda dengan makna religion pada umumnya. Selain itu, agama juga berbeda dengan sistem kepercayaan. Dilihat dari sudut pandang tertentu makna agama lebih luas daripada sistem kepercayaan, namun dilihat dari sudut pandang yang lain sistem kepercayaan lebih luas maknanya daripada agama. Di sini, Ahimsa-Putra menganggap bahwa agama lebih luas cakupannya daripada sistem kepercayaan. Sependapat dengan Ahimsa-Putra, menurut saya agama didasarkan pada kesadaran kolektif yang telah menjadi kesepakatan dan kepercayaan bersama, sehingga memiliki makna yang bersifat kolektif pula. Sedangkan kepercayaan masih berupa kesadaran individu yang sudah pasti makna antara individu satu dengan yang lain berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa agama lebih luas cakupannya daripada sistem kepercayaan.

Dalam artikel tersebut, Ahimsa-Putra menyebutkan bahwa perangkat kebudayaan terdiri dari berbagai unsur yang menyatu membentuk semacam gugusan bintang-bintang, yang batas-batasnya tidak begitu jelas tetapi memiliki inti yang jelas. Hubungan antarunsur kebudayaan di sini juga lebih mirip seperti hubungan antara bintang satu dengan yang lain dalam sebuah gugusan bintang, daripada seperti hubungan antarunsur dalam sebuah sistem (2012: 288). Sebenarnya saya tidak begitu memahami kalimat tersebut karena tidak dijelaskan lebih riil dan tidak pula disertai dengan contoh. Menurut pemahaman saya, dalam kalimat tersebut Ahimsa-Putra ingin menyampaikan bahwa hubungan ketujuh unsur kebudayaan universal (bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian) bukanlah seperti sebuah sistem di mana ketujuh unsur kebudayaan tersebut merupakan subsistem-subsistem yang saling berkaitan satu dengan lainnya, sehingga apabila satu subsistem mengalami disfungsi, maka sistem tidak akan berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Ahimsa-Putra lebih memandang unsur-unsur kebudayaan seperti gugusan bintang yang tidak memiliki batas yang jelas, namun memiliki inti yang sama. Atau seperti atom yang memiliki inti yang sama meskipun di dalamnya terdapat proton dan neuron.

Menurut Ahimsa-Putra (2012: 290), unsur yang penting dalam sistem kepercayaan tersebut adalah “keyakinan akan kebenaran pandangan”. Kalau unsur “pandangan” berada dalam “jagad pemikiran”, maka unsur “keyakinan” berada dalam “jagad perasaan”. Adanya keterkaitan antara “yang di dalam pikiran” dengan “yang di dalam perasaan” inilah membuat apa yang di dalam pikiran tersebut, pandangan-pandangan tersebut, menjadi tidak begitu mudah untuk berubah. Saya setuju dengan pendapat tersebut. Apa yang kita lihat secara langsung dan dapat kita rasakan dengan pancaindera akan melekat pada pikiran kita, dan apabila kita sudah yakin bahwa itu benar, maka itu akan menjadi sebuah pandangan yang sangat sulit untuk diubah. Hal ini terjadi karena antara rasio dan hati sudah saling terkait dalam satu mata rantai yang sama, sehingga apabila ingin merubahnya, maka harus memutuskan mata rantai tersebut menggunakan cara tertentu.
 
Dalam kaitannya dengan dunia empiris, deskripsi mengenai dunia ini secara fenomenologis dan sekaligus berdimensi agamawi akan selalu dikaitkan dengan dunia gaib, sebab deskripsi fenomenologis mengenai dunia empiris yang tidak berkaitan dengan dunia gaib akan membuat deskripsi tersebut kehilangan nuansa “keagamaannya”. Sepaham dengan Ahimsa-Putra, saya berpendapat bahwa fenomenologi agama tidak hanya bersentuhan dengan dunia empiris semata, namun juga dengan dunia non-empiris (dunia gaib), karena di dalam agama terdapat berbagai ajaran Tuhan, sementara Tuhan sendiri merupakan sesuatu yang gaib, tidak nampak, dan tidak dapat dilihat dengan mata. Sementara itu, dalam agama Islam misalnya, terdapat penjelasan mengenai makhluk gaib lainnya, seperti jin, syaitan, dan malaikat. Oleh karena itu, fokus deskripsi fenomenologi agama adalah dunia empiris dan dunia tidak empiris (dunia gaib).

0 komentar:

Posting Komentar