Minggu, 21 Agustus 2016

REVIEW ANALISIS STRUKTURAL DONGENG BAJO (HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA)


Salah satu bab dalam buku Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra tulisan Ahimsa-Putra ini memaparkan tentang sebuah dongeng Bajo yang berjudul Pitoto’ si Muhamma’ yang diperoleh dari I.B. Darmasuta (1994), dan kemudian dianalisis menggunakan strukturalisme Lévi-Strauss. Adapun langkah yang dilakukan Ahimsa-Putra dalam menganalisis dongeng Bajo ini adalah: (1) membaca keseluruhan ceritera terlebih dahulu untuk mengetahui pengetahuan dan kesan tentang isi ceritera; (2) membagi ceritera dalam beberapa episode; (3) membaca ulang dengan seksama untuk mengetahui episode-episode yang mungkin diulang dalam ceritera. Di sini Ahimsa-Putra menyebut istilah ceriteme, yaitu sebuah unit yang mengandung pengertian tertentu yang – seperti halnya miteme – hanya dapat diketahui maknanya atau ‘pengertiannya’ setelah ditempatkan dalam hubungan dengan ceriteme-ceriteme yang lain (Ahimsa-Putra, 2012:206). Kumpulan ceriteme ini membentuk episode-episode yang baru terungkap maknanya setelah dihubungkan dengan episode-episode yang lain. Berikut episode-episode dalam dongeng Pitoto’ si Muhamma’ yang dilakukan oleh Ahimsa-Putra beserta analisis strukturalnya secara singkat.

Episode I: “Daeng Manjakari, Hejira, dan Muhamma” dan Realitas Sosial-Ekonomis Orang Bajo
Menurut Zacot (1978), dalam kehidupan sehari-hari orang Bajo mengenal dua kategori sosial dasar yang penting bagi interaksi sosial mereka, yakni orang Sama dan orang Bagai. Orang Bajo menamai dirinya Orang Sama, yang menggunakan bahasa yang sama, dan menyebut orang yang tidak menggunakan bahasa mereka sebagai Orang Bagai atau orang luar (Ahimsa-Putra, 2012: 210). Orang Sama dibedakan menjadi dua kategori, yaitu Bajo Darat dan Bajo Laut. 


Dalam episode ini, DM dilukiskan sebagai orang Bajo Darat yang belajar adat-istiadat orang Bugis-Makassar dan diterima oleh mereka, yang terlihat saat DM disambut dalam permainan sepak raga bersama dengan orang-orang Bugis-Makassar. Sedangkan M sebaliknya. M adalah orang Bajo yang tidak belajar adat-istiadat orang Bugis-Makassar, sehingga M yang datang bersama pengawalnya dianggap sebagai orang asing dan tidak diundang dalam permainan sepak raga. 

Episode II: “DM Pergi Mengantar H Ke Sumur Toraja” dan Realitas Ekologis Orang Bajo
Episode ini menceriterakan perjalanan DM, H, dan seorang pengawal ke sumur Toraja di mana DM berhasil menghadapi segala rintangan berupa angin dan ombak di lautan. Keahlian DM membuat H jatuh hati padanya, namun DM tidak langsung membalas cinta H. Dalam episode ini, tokoh DM dapat ditafsirkan menjadi kebalikan (intervensi) dari episode sebelumnya di mana DM kurang tampak Bajo dibandingkan M. Ini ditunjukkan dari kepiawaian DM dalam hal pelayaran, yang mampu mengatasi segala rintangan meskipun DM adalah orang Bajo yang telah mengenal budaya Darat. Episode ini menampilkan superioritas orang Bajo di lautan. Namun dari sisi lain, episode ini juga menampilkan ketergantungan orang Bajo terhadap daratan yang ditunjukkan oleh keinginan H untuk pergi ke sumur Toraja. Kedudukan sumur sangat penting bagi orang Bajo, karena sumur merupakan tempat di mana orang Bajo memperoleh air tawar yang mereka perlukan untuk kehidupan sehari-hari.

Episode III: “H Jatuh Cinta Pada DM” dan Realitas Sosial-Budaya (I) Orang Bajo
Episode ini memaparkan tentang jatuh cintanya H kepada DM karena kepiawaian DM di lautan. H berkata bahwa DM pantas memilikinya, dan ini memerlukan pengetahuan tentang hubungan kekerabatan antara DM dengan H, serta sistem kekerabatan orang Bajo. Masyarakat Bajo memiliki sistem kekerabatan bilateral dengan kecenderungan patrilineal. Perkawinan satu, dua, atau tiga kali sepupu merupakan perkawinan ideal, kecuali dengan sepupu patrilineal parallel. Namun bagi orang Bajo Darat, perkawinan dengan sepupu satu kali, baik sepupu silang maupun parallel dilarang karena hubungan mereka dianggap terlalu dekat. 

Meskipun dalam ceritera ini tersirat bahwa DM memiliki hubungan kekerabatan dengan H sebagai ‘misan’, namun kecenderungan lebih menunjukkan bahwa DM adalah ‘orang lain’ atau ‘kerabat jauh’ H. Episode ini juga dapat ditafsirkan sebagai kekaguman dan keinginan orang Bajo (H) untuk menikah dengan orang Darat atau orang Bajo yang lebih mengenal budaya Darat (DM).

Episode IV: “Perselisihan DM dengan M Di dalam Sumur” dan Realitas Sosial-Budaya (II) Orang Bajo
Episode ini berisi kisah perkelahian antara DM dengan M dan menunjukkan hubungan kekerabatan antara DM, M, dengan H. Dalam masyarakat Bajo yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat Bugis-Makassar, unit kekerabatan yang terpenting adalah keluarga batih. Relasi kekeluargaan merupakan relasi sosial yang sangat penting dan tidak dapat diingkari. Jika seseorang menolak memberikan bantuan kepada kerabatnya yang sedang dilanda kesulitan, padahal dia mampu memberi pertolongan, atau sebaliknya dia menolak bantuan yang diberikan oleh kerabatnya, dia akan terkucil atau lebih buruk lagi dia akan dibunuh oleh kerabatnya yang tersinggung.

Perkelahian DM dengan M dilakukan dalam sebuah sumur. Sumur dalam kisah ini melambangkan sumber kehidupan, dan tafsiran ini diperkuat bahwa perkelahian yang terjadi di dalam sumur tidak membawa kematian bagi pihak-pihak yang berkelahi. Perkelahian berjalan seimbang dan ini berubah setelah terjadi campur tangan pihak ketiga. Ada beberapa hal yang menarik ketika membandingkan episode IV dengan episode II. Pertama, dalam episode II, tokoh DM pergi berdua dengan H ke sumur Toraja disertai seorang pengawal. Sedangkan dalam episode IV, sumur tempat perkelahian itu awalnya adalah sebuah lubang yang kemudian dibuat M menjadi sebesar sumur dan terletak di tepi pantai. Kedua, dalam perjalanan pulang dari sumur keramat, DM berhasil mengatasi rintangan di luar sumur, yaitu rintangan alami berupa ombak, dengan bantuan tokoh ‘saudara kita’ dan ‘mereka’, yang tidak diketahui siapa, dan pertolongan yang diperoleh tidak kelihatan. Sedangkan M berhasil mengatasi rintangan di dalam sumur yang berupa manusia, yaitu DM, dan mendapat pertolongan dari H berupa ‘sehelai rambut semangat’. Ketiga, dalam episode II, H jatuh cinta pada DM dan DM menggandengnya pulang ke rumah. Sedangkan dalam episode IV, H jatuh hati pada M dan M juga menggandengnya pulang ke rumah.

Episode V: “DM Dibunuh Oleh M” dan Realitas Sosial-Budaya (III) Orang Bajo
Episode V menceriterakan tentang kematian DM di tangan M. Untuk memahami episode V ini, perlu dipahami bahwa ada budaya malu yang hidup di kalangan orang Sulawesi Selatan. Permintaan dapat ditafsirkan sebagai pengakuan atas hubungan kekerabatan, dan permintaan ini harus dipenuhi. Menolak permintaan sama artinya dengan mengingkari hubungan kekerabatan yang ada. Siri atau rasa malu dalam masyarakat Sulawesi Selatan biasanya erat kaitannya dengan persoalan wanita. 

Penolakan DM terhadap uluran tangan H dapat ditafsirkan sebagai penolakan orang Bajo yang sudah mengenal budaya Darat terhadap orang Bajo asli, yang dianggap lebih rendah derajatnya; atau bisa juga ditafsirkan sebagai orang Bajo yang telah memBagai memang kurang pantas memperoleh pertolongan dari orang Bajo asli untuk melawan orang Bajo asli. Penolakan uluran tangan H kepada DM membuat DM berada di pihak yang pantas dikalahkan, karena dia adalah pihak yang mempermalukan. Selain itu, DM juga telah membuat M merasa malu karena H, ‘pacar M’, dibawanya ke pulau Keramat. Menurut aturan moral setempat, sebagai pihak yang dipermalukan, M berhak menuntut balas pada DM untuk menghapus malu tersebut. Di lain pihak, M menerima dnegan baik bahkan meminta bantuan H berupa “sehelai rambut semangat”. Dengan bantuan H tersebut, M mendapat dua kekuatan, yaitu kekuatan berupa semangat untuk mengalahkan musuh dan kekuatan berupa kebenaran moral, yaitu menghapus malu yang diperolehnya dan tidak menolak uluran tangan dari kerabat.

Episode VI: “H Jatuh Cinta Pada M” Realitas Sosial-Budaya (IV) Orang Bajo
Episode ini menceritakan tentang jatuh cintanya H kepada M setelah M berhasil mengalahkan DM di dalam sumur. Ada dua pertentangan yang dihadapi orang Bajo (yang diwakili oleh H) berkaitan soal perjodohan, yaitu: (1) keinginan untuk memilih Bajo Darat (DM); dan (2) keinginan memilih Bajo Laut (M) sebagai pasangan hidup.

Episode VII: “M Meninggalkan H” dan Realitas “Ruang” Dalam Budaya Orang Bajo
Episode ini menceriterakan kepergian M meninggalkan H di Pelabuhan Matekne, walaupun M tahu bahwa H telah jatuh hati kepadanya. Orang Bajo, Bajo Laut terutama, memiliki konsep ruang yang berbeda dengan Bajo Darat pada umumnya. Orang Bajo Laut memiliki konsep ruang yang (1) menunjuk pada kelompok sosial yang disebut bido’ (perahu), yaitu sebuah kesatuan sosial yang berada dalam satu perahu; dan (2) menunjuk pada daerah-daerah yang pernah dikunjungi atau mungkin pernah “ditempati”, serta desa-desa Bajo yang ada di berbagai daerah lain, tempat tinggal kerabat-kerabat mereka. Jawaban yang diberikan di akhir kisah Muhamma’ ini bukanlah menempatkan kehidupan orang Bajo Laut dan Bajo Darat di kedudukan yang lebih tinggi ataupun lebih rendah, namun dengan menyodorkan nilai lain yang lebih tinggi, yaitu “pengembaraan”. Kisah ini merupakan proyeksi dari realitas sehari-hari yang penuh pertentangan dan teka-teki yang tidak terpecahkan. Proyeksi ini disampaikan melalui struktur tertentu yang bersifat dialektis. Oleh karena itu, sebuah mitos atau ceritera sebenarnya dapat menjadi model of (model dari) dan model for (model untuk) realitas yang dihadapi manusia (Ahimsa-Putra, 2012: 204-249).

Dari analisis yang telah dilakukan Ahimsa-Putra terhadap dongeng Bajo, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dongeng Pitoto’ si Muhamma’ ini merupakan upaya simbolisasi orang Bajo untuk memahami kontradiksi-kontradiksi empiris yang mereka hadapi sebagai orang yang hidup dari mengumpulan hasil laut. Ahimsa-Putra memperlihatkan bahwa sebuah mitos dapat digunakan sebagai pintu untuk memahami budaya masyarakat pemilik mitos tersebut. Untuk melakukan analisis seperti ini, tentunya kita membutuhkan data-data etnografi yang cukup rinci dan mendalam. Jika dicermati, dongeng Pitoto’ si Muhamma’ ini erat kaitannya dengan sistem kekerabatan orang Bajo. Yang saya lihat di sini adalah bahwa H merupakan jodoh ideal dari M, sehingga M marah dan merasa sangat malu ketika melihat H bersama dengan DM. Budaya malu yang disebabkan oleh wanita dalam dongeng tersebut mengingatkan saya tentang budaya “carok” di Madura, di mana membunuh orang yang telah melukai harga diri seseorang dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan justru dipandang sebagai sebuah prestasi, serta menjunjung martabat orang yang memenangkan pertarungan.

0 komentar:

Posting Komentar