Sabtu, 20 Agustus 2016

DI BALIK CERPEN "LAKI-LAKI YANG KAWIN DENGAN PERI" (KUNTOWIJOYO)

Laki-laki yang Kawin dengan Peri, cerpen tulisan Kuntowijoyo ini mengisahkan tentang seorang laki-laki bernama Kromo. Sebelum kedatangan menantu tetangganya, kehidupan Kromo berjalan baik dan normal seperti masyarakat lainnya. Namun karena tuduhan menantu tetangga tersebut yang menyebut Kromo berbau busuk, maka seluruh penduduk desa menyadari bau itu dan mengucilkan Kromo dari pergaulan. Kromo akhirnya keluar desa dan tidur di tengah sawah setiap malam hari. Suatu malam Kromo didatangi seorang wanita cantik, dan akhirnya menikah dengan wanita itu di depan penghulu Naib Kecamatan. Beberapa lama kemudian terdengar ledakan keras di tengah sawah. Penduduk menyimpulkan bahwa Kromo telah meninggal. Mereka merasakan penyesalan dan kehilangan. Semenjak itu, terjadilah wabah penyakit di desa itu. Seorang kyai datang dan mengatakan bahwa penduduk desa kurang bersyukur dan menganjurkan untuk bersedekah. Penduduk desa sepakat mengadakan kenduri, layaknya menghormati orang yang sudah meninggal. Namun, yang sudah mati tidak akan kembali lagi.

Cerpen Laki-laki yang Kawin dengan Peri sebenarnya adalah sarkasme penulis terhadap pemerintah pada masa itu. Cerpen ini merupakan sebuah kritikan yang dipenuhi dengan bahasa simbol terhadap birokrasi pemerintahan Orde Baru. Seperti yang kita tahu bahwa gaya pemerintahan Soeharto adalah sistem politik patronase. Sebagai ganti untuk dukungan di bidang politik atau keuangan, Soeharto membujuk para pengkritiknya dengan memberikan mereka posisi yang bagus di pemerintahan maupun kesempatan bisnis yang bagus. Namun, perlakuan pilih kasih ini tidak hanya diberikan pada para pengkritiknya. Selama dekade terakhir pemerintahan Soeharto, anak-anak dan teman-teman dekatnya bisa membentuk sebuah kerajaan bisnis hanya karena kedekatan mereka dengan Soeharto.

Cerita yang dalam kenyataan tidak rasional ini sebenarnya berkaitan dengan salah satu kebijakan rezim Orde Baru, yaitu mengenai Dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI atau peran ganda ABRI adalah doktrin yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua peran, yaitu: (1) peran pertahanan keamanan, untuk menjaga keamanan dan ketertiban negara; dan (2) peran sosial, untuk memegang kekuasaan dan mengatur negara. Peran tersebut dilandasi pemikiran historis bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. TNI dan Polri memiliki hak politik yang didasari oleh pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap warga negara memiliki hak politik dan kedudukan yang sama. Dwifungsi sekaligus digunakan untuk membenarkan militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan Indonesia, termasuk kursi di parlemen hanya untuk militer, dan berada di posisi teratas dalam pelayanan publik nasional secara permanen. Melalui dwifungsi ABRI ini, tentara bisa masuk dalam semua jaring lapisan masyarakat Indonesia. Para perwira militer selama kepresidenan Soeharto memegang posisi kunci dalam semua tingkat pemerintahan di Indonesia, termasuk walikota, pemerintah provinsi, duta besar, perusahaan milik negara, peradilan, dan kabinet Soeharto.

Kromo dalam cerpen Laki-laki yang Kawin dengan Peri ini merupakan simbol dari Soeharto, sedangkan peri merupakan simbol ABRI, hal ini terlihat seperti dalam kutipan berikut: “Sudah, kaki. Kalau bangsa manusia tidak mau mengerti, jangan susah.” (1995: 20). Cerpen yang sarat akan simbol ini jika dibaca sekilas, tak ubahnya seperti cerita mitologi belaka, namun tidak demikian kenyataannya. Kutipan tersebut jika diinterpretasikan adalah ungkapan dari pihak ABRI kepada Soeharto pada awal pemerintahannya. Soeharto yang berasal dari militer, tentu memilih bekerja sama dengan golongannya dibandingkan dengan golongan lain yang belum dia kuasai seluk-beluknya. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa Soeharto dapat memimpin Indonesia selama 32 tahun karena “menyelinapkan” ABRI di setiap elemen masyarakat, sehingga Soeharto bisa berkuasa penuh atas bangsa dan negara Indonesia. Hal ini seperti kutipan berikut: “….. Yang mengherankan adalah rambut Kromo yang tidak putih, meskipun orang sebayanya sudah.” dan juga kutipan berikut: “Itu biasa karena sebayanya malah sudah mati.” (1995: 21).

4 komentar:

  1. Boleh diperjelas bagaimana Kromo Busuk merepresentasikan Soeharto pada zaman Orde Baru

    BalasHapus
  2. Sebutkan unsur intrinsiknya

    BalasHapus
  3. firaas tanya, hubungan nya kromo sebagai Soeharto apa

    BalasHapus