Rabu, 05 April 2017

ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL MASYARAKAT JAWA


Arsitektur tradisional Jawa terbagi menjadi lima tipe, yaitu: Tajug, Joglo, Limasan, Kampung, dan Panggang-pe (Prijotomo (1995: 5). Untuk tipe tajug sebenarnya tidak digunakan sebagai rumah tempat tinggal, namun digunakan sebagai rumah ibadah. Kelima tipe tersebut memiliki bentuk yang berbeda, yang dilihat dari bentuk atapnya. Prijotomo (1995) menyebutkan bahwa keempat tipe rumah tradisional Jawa, yakni: panggang-pe, joglo, limasan, dan kampung merupakan pengembangan dari tipe dasar, yaitu tipe tajug, yang kemudian digunakan untuk hal yang sakral seperti rumah orang mati dan masjid. Dari satu “bentuk dasar” inilah kemudian muncul tipe rumah lainnya. 

Perkembangan varian bentuk rumah Jawa antara lain karena faktor kemampuan ekonomi dan status sosial pemiliknya. Bentuk limasan banyak ditemukan pada rumah yang pemiliknya bisa dikatakan ekonominya cukup, sedangkan rumah bentuk kampung pada umumnya dimiliki orang-orang yang ekonominya pas-pasan (Subiyantoro, 2009: 227-228). Di sini saya secara khusus akan membahas rumah tradisional Jawa tipe joglo karena bangunan ini merupakan induk (“babon”) dari seluruh tipe bangunan Jawa yang ada (Prijotomo, 1995). Nama sesungguhnya dari joglo adalah “Jug-loro (juloro)” yang berasal dari “Tajug-loro” (dua Tajug). Dengan demikian kata Joglo berasal dari pengurangan suku kata“Jug-loro”, nama yang diberikan karena tipe joglo ini mengambil dasar ukurannya dari dua buah tajug yang dirapatkan, lalu dihilangkan “mustaka”-nya diganti dengan kayu memanjang kearah horizontal (“molo”) (Prijotomo, 1995). Perkembangan joglo bermula pada bentuk bangunan panggang-pe, yaitu bentuk bangunan yang hanya terdiri dari satu sisi atap saja yang biasanya miring. Pada tingkatan berikutnya berkembang menjadi bentuk kampung yang terdiri daru dua sisi atap rumah, di mana bagian puncak merupakan pertemuan kedua ujung atap. Kemudian berkembang menjadi bentuk limasan, jumlah atap sudah empat, ada sisi depan belakang dan sisi kiri dan kanan secara berpasangan. Sedangkan joglo merupakan bentuk rumah yang biasa dimiliki kaum ningrat atau bangsawan, yang terdiri dari empat sisi lengkap dengan mala yang ada di antara ujung empat sisi atap (Subiyantoro, 2009: 83).

Perkembangan sejarah joglo tidak terlepas dengan bangunan purba yang disebut "punden berundak", sebuah bangunan suci di mana struktur dan bentuk bersusun memusat semakin ke atas semakin kecil (Sunarningsih, 1999: 32). Bangunan lain yang turut mempengaruhi susunan dan bentuk rumah joglo adalah candi, yang tersusun menjadi tiga bagian, yaitu: bagian atas dinamakan arupadhatu sebagai alam Dewa, bagian tengah dinamakan rupadhatu sebagai dunia manusia, dan bagian bawah dinamakan kamadhatu (Subiyantoro, 2009: 78). Bentuk bangunan candi Hindu bagian atas yang semakin mengecil menyerupai gunungan jika dicermati sama dengan bentuk atap rumah joglo. Subiyantoro (2009: 79) menduga bahwa rumah joglo adalah bentuk transformasi dari candi. Menurut Subiyantoro (2009), bentuk rumah joglo yang banyak menggunakan kayu jati adalah bentuk perkembangan dari rumah sebelumnya yang dibuat dari batu sebagaimana pula untuk membuat candi. 

Bangunan rumah tradisional dapat dilihat dari dua skala, yaitu skala horizontal dan skala vertikal (Djono dkk, 2012). Skala horizontal membicarakan tentang pembagian ruangan, sedangkan skala vertikal membicarakan pembagian bangunan yang terdiri atas: bagian dasar atau kaki (lantai), bagian tengah atau tubuh (tiang, dinding), dan bagian atas atau kepala (atap). Skala horizontal merupakan simbol dari dunia manusia, sedangkan skala vertikal merupakan simbol dari dunia ke-Tuhanan. Dengan kata lain, rumah tradisional Jawa merupakan simbolisasi dari hubungan antara yang nyata dan yang gaib, antara yang bawah dan yang atas, antara bumi dan langit. Rumah merupakan pertemuan antara ke-Tuhanan (transenden) dengan kehidupan duniawi (imanen). Masyarakat Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan sebutan omah yang merupakan bentukan dari dua kata, yaitu: om, yang diartikan sebagai angkasa dan bersifat kebapakan; dan mah yang bersifat keibuan (Mangunwijaya, 1992). Rumah dan bangunan yang dirancang oleh masyarakat Jawa dimaknai sebagai simbolisasi dari jagad manusia yang terdiri dari Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana, 2011).

Mengutip tulisan Djono dkk (2012) bahwa dalam skala vertikal, joglo terdiri dari tujuh tataran dari bawah ke atas berturut-turut, yaitu: pondasi, bebatur, saka guru, sunduk kili, tumpangsari, ander, dan mala. Sedangkan dalam skala horizontal, pembagian ruang joglo terdiri lima ruang, yaitu: pendhapa, pringgitan, dalem, gadri, dan pawon. Ruang dalem posisinya tepat di tengah, diapit bagian depan oleh ruang pendhapa-pringgitan, dan diapit bagian belakang oleh ruang gadri–pawon. Sementara bagian kiri dan bagian kanan ruang dalem terdiri ruang gandhok kiri dan gandhok kanan. Struktur ini merupakan transformasi dari struktur alam (kosmologi) berupa empat arah mata angin, yaitu: (U) utara, (S) selatan, (T) timur dan (B) barat, dan satu titik pusat di tengah, yang merupakan persinggungan keempat arah mata angin tersebut. Dalam terminologi Jawa struktur ini disebut papat kiblat lima pancer.

Rumah tradisional Jawa bukan sekedar tempat untuk berteduh (fungsi praktis), melainkan juga dimaknai sebagai bentuk perwujudan dari cita-cita dan pandangan hidupnya atau fungsi simbolis (Santosa, 2000: 68). Rumah tradisi Jawa memiliki beberapa ruangan yang simetris dan terdapat hierarki ruang di dalamnya. Dari luar terdapat ruang publik yang bersifat umum, semakin ke dalam ruangan yang ada bersifat pribadi (private) (Djono, 2012: 274). 

0 komentar:

Posting Komentar